ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM FILOSOFI PENDIDIKAN INKLUSIF (1)


Oleh: Nani Sulyani (Kepala SMP Negeri 3 Saguling)

Jika mendengar kata inklusi (atau inklusif), sebagian besar masyarakat, akan langsung menghubungkannya dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan Inklusif dipahami sebagai pendidikan untuk sekolah khusus atau SLB.

“Apakah di sekolah bapak/ibu ada peserta didik (siswa) ABK?” Ketika menerima pertanyaan tersebut, maka warga sekolah bersegera melakukan identifikasi. Semua guru diwajibkan mengamati, adakah yang berbeda dengan siswa pada umumnya, dari sisi fisik, inteligensi, perilaku atau sosial? Seringnya, jawaban yang dikemukakan adalah: peserta didik kami semuanya normal.

Sebagian orang beranggapan bahwa ABK sepadan dengan anak yang berkelainan atau anak penyandang cacat (disabilitas). Padahal, anggapan seperti ini tidaklah tidak tepat. Pengertian ABK mengandung makna yang lebih luas. Dalam hal ini, ABK terbagi ke dalam dua kategori, yaitu ABK permanen dan ABK temporer (bersifat sementara).

Anak berkebutuhan khusus dalam kategori permanen adalah mereka yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal sebagai akibat langsung dari kondisi kecacatan. Dalam PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.

Lain halnya dengan ABK yang bersifat sementara (temporer) adalah mereka yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Contoh kondisi ABK temporer di antaranya adalah anak-anak penyandang post traumatic syndrome disorder (PTSD) akibat bencana alam, konflik antar suku/warga, korban kerusuhan, anak yang kurang gizi, anak yang lahir prematur, anak dari keluarga prasejahtera, anak yang mengalami depresi, anak korban kekerasan internal ataupun eksternal, anak yang kesulitan konsentrasi, anak yang malas belajar/ sekolah, anak yang tidak bisa membaca karena keliru metoda pembelajaran, anak berpenyakit kronis, dan sebagainya.

Membaca contoh di atas dan mengamati kondisi di sekolah saat ini, maka kecenderungannya ternyata banyak yang tergolong ke dalam ABK temporer. Mengapa disebut temporer? Kondisi yang disebutkan di atas cenderung terbentuk karena lingkungan. Anak berada dalam lingkungan dan pembiasaan yang tidak tepat. Oleh sebab itu, solusi untuk pengentasan masalah ini pun dapat dilakukan melalui pengondisian positif di lingkungan sekitarnya, terutama lingkungan sekolah dan keluarga.

Mereka yang terkelompok ke dalam ABK temporer akan berada dalam kondisi yang memprihatinkan jika tidak segera ditangani. Kasus-kasus yang menyangkut hambatan belajar di sekolah membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus yang dirancang melalui keterlibatan pihak sekolah dan orang tua.

Apakah ABK selalu dikaitkan dengan kondisi hambatan belajar? Tidak. Justru hal yang sering luput dari pengamatan para guru adalah ABK dengan kategori anak jenius ataupun anak berbakat (gifted). Mereka cenderung potensi yang luput diberikan perhatian khusus karena dianggap tidak menjengkelkan/trouble maker, sehingga potensinya tetap terpendam. Para guru cukup menyebutnya sebagai anak pintar. Padahal, mereka pun membutuhkan perlakuan khusus dan kesempatan belajar lebih untuk merangsang kemampuan kognitifnya. Saya contohkan di sini adalah Maya Nabila (21 tahun) yang merupakan mahasiswa termuda program S3 MIPA ITB. Sosok berikutnya Nur Wijaya Kusuma (15 tahun) merupakan mahasiswa termuda Teknik Elektro UGM. Maya dan Nur Wijaya adalah contoh ABK berbakat gifted.
Hal yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini adalah bahwa di setiap satuan pendidikan pada dasarnya memiliki ABK. Oleh sebab itu, perlakuan khusus kepada peserta didik lebih ditekankan kepada konsep filosofis pendidikan inklusif daripada labeling sebagai penyandang sekolah inklusif. Filosofi Pendidikan inklusif merupakan layanan pendidikan khusus yang berupaya memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan kemampuan dan kebutuhanya..

Filosofi Pendidikan Inklusif di satuan pendidikan adalah sebuah kondisi dimana seseorang/sekelompok siswa diperlakukan sama dengan siswa pada umumnya dengan pemahaman intergral terhadap latar belakangnya termasuk sudut pandang yang dimilikinya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Sumber Bacaan:
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129-130.