LEARNING LOSS

Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)

Dalam status facebook seorang teman terungkap kegelisahannya saat harus memfasilitasi siswa dengan pembelajaran moda daring. Karena keterbatasan pola pembelajaran daring, diungkapkan bahwa materi yang dapat tersampaikan tidak seoptimal seperti halnya pembelajaran pola tatap muka langsung. Menelaah isi status dengan lebih dalam lagi tertangkap, bagaimana para siswanya tidak mendapat pengetahuan yang banyak ketika keterbatasan mendera.

Namun, yang cukup menyejukkan adalah langkah strategis yang dilakukan para siswanya, mereka mulai intens mengikuti pengajian di masjid, bahkan pesantren yang dekat dengan rumah mereka masing-masing.

Sudah setahun lamanya, sebagian besar siswa melaksanakan pembelajaran dengan didominasi moda daring dan/atau luring. Dengan rentang waktu yang cukup lama ini, timbul kekhawatiran dari berbagai pihak akan nasib siswa yang terdampak oleh kebijakan penghentian pembelajaran tatap muka langsung. Banyak pihak, termasuk Kemdikbud memprediksi akan adanya learning loss ketika pembelajaran yang terdampak pandemi Covid-19 ini tidak disikapi dengan berbagai upaya strategis dari berbagai pihak, termasuk sekolah sebagai ujung tombaknya. Timbulnya learning loss di antaranya akan berdampak pada tidak optimalnya perkembangan kognitif dan karakter siswa.

Sampai saat ini, kran pembukaan sekolah belum juga diberlakukan dengan berbagai alasan. Sekalipun, sektor lain—perekonomian, pariwisata, perindustrian, dan lainnya—sudah dibuka dengan penerapan protokol pencegahan pandemi Covid-19 yang sangat ketat, sektor pendidikan yang di dalamnya terdapat sekolah, belum ada tanda-tanda akan segera dibuka. Alasan yang dikedepankan untuk tidak sesegera mungkin melaksanakan pembelajaran tatap muka langsung di sekolah adalah kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan dan keselamatan warga sekolah.

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena ketika pada satu sekolah terkonfirmasi adanya penyebaran Covid-19, maka sekolah akan menjadi cluster baru dan akan melahirkan kepanikan dan keresahan di kalangan warga sekolah, termasuk orang tua siswa.

Sejak pemberlakukan pembelajaran jarak jauh, sisi penguatan karakter memang tidak secara intensif tersentuh oleh kebijakan pembelajaran yang diterapkan sekolah. Langkah utama yang dilakukan sekolah cenderung pada upaya penuntasan materi sesuai kurikulum yang diacunya—kurikulum dalam kondisi normal, kurikulum dalam kondisi khusus, atau kurikulum yang dikemas tersendiri oleh sekolah.

Sejalan dengan kenyataan tersebut, seakan ada oase di tengah gurun pasir ketika pada beberapa daerah, siswa yang harus suntuk belajar jarak jauh dari rumahnya masing-masing, mengisi waktu luang dengan kegiatan pengajian pada pesantren, majelis ta’lim, atau mesjid yang berdekatan dengan rumahnya masing. Fenomena ini cukup menggembirakan, dengan harapan sisi kosong yang selama ini tidak tersentuh secara optimal melalui pembelajaran jarak jauh dapat terisi melalui pencerahan di pesantren, majelis ta’lim, atau mesjid. Sisi kosong yang dimaksud adalah penguatan karakter siswa.

Pelaksanaan pendidikan keagamaan di pesantren, majelis ta’lim, atau mesjid yang lebih menguatkan sisi religiusitas siswa menjadi alternatif tersendiri di tengah kejumudan akan treatment penguatan karakter siswa melalui pola pembelajaran jarak jauh. Melalui lembaga keagamaan yang berada di sekitar tempat tinggalnya, siswa dapat mengisi ruang kosong yang selama lebih dari satu tahun tidak mendapat sentuhan optimal dari para guru mereka.

Dalam kebijakan penerapan pendidikan terdapat tiga ranah yang menjadi konsentrasi guru. Seorang guru dari setiap mata pelajaran didorong untuk melaksanakan pembelajaran dengan menyentuh ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (gerak) siswa. Dari ketiganya, ranah afektif memiliki hubungan erat dengan penguatan karakter siswa. Untuk melakukan pembentukan karakter melalui sentuhan ranah afektif tersebut, para guru mendapat kesulitan, mana kala pembelajaran dilaksanakan dalam jarak jauh. Karena itu, bisa jadi ranah ini tidak tersentuh secara optimal, seperti halnya ranah kognitif.

Berkenaan dengan itu, kebijakan sekolah yang bisa diterapkan adalah membangun komunikasi dengan lembaga keagamaan tempat siswa tinggal guna turut berperan serta dalam memberikan sentuhan pada sisi religiusitas. Sentuhan pada sisi tersebut dimungkinkan akan memberi efek baik pada pembentukan karakter siswa. Langkah yang dapat dilakukan adalah memberi penugasan untuk mengikuti kajian yang diselenggarakan di pesantren, majelis ta’lim, atau masjid yang berlokasi dekat dengan rumah siswa. Cara ini termasuk aman sehingga tidak beresiko besar akan penyebaran Covid-19 pada siswa. Bila perlu, untuk melakukan pengontrolannya, sekolah menerapkan kebijakan seperti halnya saat berlangsungnya kegiatan bulan Ramadhan. Pada setiap bulan Ramadhan, setiap siswa dituntut untuk menyerahkan evident administrasi keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan di lingkungannya masing-masing.

Dengan penerapan kebijakan ini, learning loss pada sisi penguatan karakter siswa akan sedikit terpecahkan. ****Disdikkbb-DasARSS.