Oleh : BUDHI SLAMET SAEPUDIN, S.Sos
(Pelaksana Bidang SMP Dinas Pendidikan KBB)
Masih segar dalam ingatan kita kasus bom Surabaya pada Mei 2018 lalu yang banyak merenggut korban jiwa dan menyebabkan kerugian materi yang tidak sedikit. Mencermati maraknya aksi terorisme dewasa ini yang banyak diberitakan media masa maupun media sosial tanah air memunculkan kekhawatiran yang mendalam pada setiap diri warga negara Republik ini. Hal ini diperparah dengan adanya berita di mana pelaku teror melibatkan juga anggota keluarganya yang dengan berani mengakhiri hidup mereka dengan meledakan diri menggunakan bom yang melilit di tubuh.
Terlepas dari semua spekulasi yang berkembang, hal ini menjadi sebuah realita yang sulit diterima akal sehat dan membuat miris siapa saja yang mengetahui kejadian itu. Kita menyaksikan bagaimana anak-anak yang polos menjadi korban radikalisasi orang tuanya. Sebuah eksploitasi anak-anak yang notabene masih duduk di bangku sekolah, tetapi kini menjelma sebagai aktor pelaku aksi teror. Semua menguatkan keyakinan kita bahwa faham radikal telah begitu dekat dengan kehidupan kita dan dengan mudah dicekokan ke diri anak-anak yang masih lugu.
Adakah yang salah dengan kejadian ini hingga anak yang mestinya sedang sibuk menimba ilmu di bangku sekolah harus dikorbankan oleh orang tuanya? Benar, bahwa filter pertama faham radikal adalah keluarga, lantas kalau sumber kekacauan ini justru beranjak dari keluarganya, kemudian siapa yang berdiri menjadi filter kedua? Saat tangan orang tua mereka justru menyeret ke pintu kematian.
Bila kita rajin membuka file lama tentang cerita panjang teror bom di Indonesia yang melibatkan remaja dan anak sekolah, di sana banyak dijumpai fakta bahwa di saat anak remaja yang sedang labil dan sedang kritis mencari jati diri menemukan sebuah pemahaman sesat tentang hal-hal yang sebelumnya tidak ditemui dalam pembahasan umum di sekolah maupun di lingkungan bermainnya. Seperti pertanyaan “Tindakan apa yang bisa menjadi jalan tol menuju Surga?” Minimnya informasi tentang pertanyaan di atas menjadikan banyak anak remaja mencari sendiri jawabannya.
Ketika pencarian figur narasumber yang diharapkan bisa memberi pencerahan tetapi justru bertemu dengan mereka yang salah jalan dan memanfaatkan keingintahuan para remaja tersebut dengan pemikiran dan faham radikal yang mereka yakini, dengan dijanjikan surga akhirnya para remaja itu dengan sukarela bersedia dijadikan “pengantin” untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Bila sebelumnya aksi teror melibatkan anak remaja tanggung, kini dalam kasus bom Surabaya pelaku memanfaatkan anak-anak kecil yang masih dibawah umur yang masih duduk di sekolah dasar dan menengah yang dalam keseharian masih dalam asuhan dan bimbingan belajar para guru. Lantas dengan munculnya fenomena seperti ini di mana posisi dan peran sekolah yang diharapkan ke depannya?
Sekolah adalah dunia kedua anak-anak setelah keluarga dan lingkungan teman bermainnya. Sekolah memiliki otoritas untuk memberikan pencerahan secara legal formal bagi setiap hal yang diyakini bisa merubah anak menjadi lebih baik dan tumbuh kembang dengan pesat yang kesemuanya didasarkan pada acuan kurikulum pendidikan yang disepakati. Pemberian pendidikan karakter dengan menanamkan nilai religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas dengan menyisipkan materi anti radikalisme dan deradikalisasi bisa dimulai dari bangku sekolah dengan berbagai program pengajaran yang memasukan esensi daripada nilai-nilai kebersamaan dan pluralisme.
Saatnya kini dalam pendidikan Agama dan PPKn mempertegas pesan moral dan hal-hal krusial yang menjadi sumber keingintahuan anak didik sehingga diharapkan anak-anak mendapat jawaban yang benar akan keingintahuannya. Sudah saatnya pula sekolah diberdayakan menjadi garda terdepan dalam usaha anti radikalisme dan deradikalisasi faham-faham yang dinilai bertentangan dengan kesepakatan pendahulu kita yaitu Pancasila dan UUD 1945. Lembaga sekolah, idealnya dapat dijadikan alat cegah dini dan deteksi dini bila ada perilaku anak yang berbeda dari teman lainnya dalam pemahaman agama, bagaimanapun juga perilaku anak adalah cerminan perilaku orang tuanya. Selain itu dengan pemberian materi anti radikal dan deradikalisasi yang intens dan terarah akan dapat memunculkan integritas anak dan sifat kritis dalam menyikapi setiap situasi yang berkembang disekitarnya.
Terakhir, walaupuan kita semua telah sepakat bahwa perang melawan faham terorisme adalah tanggung jawab bersama semua elemen bangsa yang berkomitment untuk tetap mempertahankan tegaknya Republik ini, tetapi dalam prakteknya diperlukan keterlibatan aktif yang terus menerus semua lini dalam masyarakat yang secara proaktif ikut berperan demi terjaminnya kedamaian di negeri ini. Semoga, dengan kebersamaan semua elemen anak bangsa, kedepanya kita akan memiliki generasi penerus yang lebih baik dari kita sekarang yang berbudi pekerti luhur dan saling sayang menyayangi dalam kebhinekaan, jayalah negeriku, jayalah Indonesia.
(Artikel ini pernah dimuat dengan judul yang sama di Gurusiana).
Mantap! Radikalisme dan sejenisnya perlu kebersamaan!
Maksudnya kebersamaan dalam mengatasi radikalisme dan sejenisnya tersebut!