Dadang A. Sapardan
(Kabid Pembinaan SD, Disdik Kab. Bandung Barat)
Saat ngobrol ringan dengan beberapa orang tua siswa, tecetus kekhawatiran mereka dalam menghadapi Asesmen Nasional (AN) yang akan diikuti oleh anak-anaknya. Kekhawatiran timbul karena takut terhadap rendahnya capaian nilai dari anak-anaknya sehingga akan berdampak pada kesulitan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Kekhawatiran tersebut wajar adanya karena setiap orang tua harus menyiapkan sedini mungkin agar anaknya dapat melanjutkan pada pendidikan lanjutan yang didambakan. Dalam pandangan mereka, capaian nilai pada AN akan menjadi faktor yang dapat menentukan diterima atau tidaknya anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti halnya perlakuan pada hasil Ujian Nasional (UN).
Asesmen Nasional (AN) merupakan upaya penerapan kebijakan Kemendikbud yang dianggap strategis guna mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar setiap peserta didik. Selain itu, kebijakan ini menjadi upaya nyata dalam mendongkrak capaian score Programme for International Student Assessment (PISA) dari peserta didik Indonesia.
Pada pelaksanaannya, AN mengeksplorasi kompetensi literasi, numerasi, dan karakter. Asesmen kompetensi literasi diharapkan akan dapat mendorong kemampuan siswa untuk dapat bernalar tentang bahasa sekaligus dalam kaitan dengan penggunaannya dalam berbagai konteks. Asesmen kompetensi numerasi merupakan upaya yang dilakukan untuk mendorong kemampuan bernalar dalam bidang matematika. Survei karakter merupakan langkah yang dilakukan untuk mendongkrak terbangunnya karakter positif pada siswa terutama lima karakter utama yang menjadi basis implementasi Penguatan Pendidikan Karakter. Kelima karakter utama tersebut, yaitu religiusitas, nasionalisme, mandiri, gotong royong, dan integritas.
PISA yang adalah program yang dirancang dan diimplementasikan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Program ini merupaka langkah guna mengukur kemampuan siswa pada jenjang pendidikan menengah. Selama ini, capaian score PISA merupakan indikator yang merefleksikan keberhasilan pengelolaan pendidikan dan menjadi rujukan sebagian besar negara tentang penerapan konsep pendidikan pada masing-masing negara. Pengukuran PISA dilakukan sebagai evaluasi terhadap kinerja siswa pada jenjang pendidikan menengah, terutama terhadap tiga bidang utama, yaitu matematika, sains, dan literasi.
Kenyataan, memperlihatkan bahwa fenomena capaian aksesbilitas termasuk ranah yang cukup menggembirakan. Dari tahun ke tahun, APK dan APM menunjukkan trend kenaikan. Kebijakan pendidikan yang diterapkan telah mendorong terjadinya peningkatan akses pendidikan dasar dan menengah, sehingga prosentase usia satuan pendidikan yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan terus mengalami peningkatan dengan angka yang cukup signifikan. Namun, kenyataan tersebut tidak berbading lurus dengan capaian pada ranah kualitas pendidikan. Sampai saat ini, kualitas pendidikan berdasarkan berdasarkan indikator yang menjadi tautannya belum memuaskan berbagai pihak. Indikator yang nyata adalah capaian score Programme for International Student Assessment (PISA) dari para siswa yang menjadi sampelnya. Hasil survei PISA tahun 2018 yang diikuti oleh siswa Indonesia sebagai menjadi sampelnya, menggambarkan bahwa 60% sampai dengan 70% siswa masih berada di bawah standar kompetensi minimum pada bidang matematika, sains, dan literasi. Ketiga bidang tersebut menjadi objek penilaian dalam penetapan skor PISA.
Melalui pelaksanaan AN inilah, Kemendikbud berharap banyak akan terjadi akselerasi peningkatan kualitas pendidikan yang dipicu oleh kualitas pembelajaran. Pasca pelaksanaan AN, para pengelola pendidikan—guru, kepala satuan pendidikan, dan dinas pendidikan—berkewajiban menerapkan kebijakan strategis dalam upaya melakukan perbaikan. Dasar penetapan kebijakan tersebut adalah capaian AN. Dengan kata lain, hasil AN digunakan sebagai dasar diagnosis dalam upaya melakukan perbaikan pembelajaran.
Pelaksanaan AN memiliki perbedaan mendasar dengan pelaksanaan UN. Selama ini, UN dilaksanakan pada ujung dari jenjang pendidikan setiap peserta didik, sehingga UN menjadi simpul dari kebijakan pembelajaran yang dilakukan oleh para guru. Hasil capaian UN dijadikan sebagai bahan diagnosis oleh satuan pendidikan dan dijadikan sebagai refleksi capaian prestasi siswa. Sedangkan AN akan dilaksanakan saat peserta didik berada di kelas pertengahan pada setiap jenjangnya. Peserta didik yang terlibat dalam AN hanyalah sampel dari sekian banyak populasi. Dengan demikian, tidak semua peserta didik terlibat atau diikutsertakan pada pelaksanaan AN.
Pelaksanaan pada pertengahan jenjang pendidikan tersebut bukan tiada maksud, tetapi mengarah pada dua harapan. Sesuai dengan substansi pelaksanaannya, AN yang dilakukan dapat dijadikan data otentik oleh para pemangku kepentingan dalam upaya perbaikan mutu pembelajaran. Untuk satuan pendidikan, hasil AN dapat dijadikan dasar perbaikan mutu pembelajaran yang dilaksanakannya. Demikian pula untuk dinas pendidikan, hasil AN dapat digunakan guna penetapan kebijakan intervensi dalam mendongkrak mutu pembelajaran pada seluruh satuan pendidikan di bawah binaannya. Selain itu, pelaksanaan di pertengahan jenjang pendidikan ini dimaksudkan guna menghindarkan diri dari pemanfaatan hasil AN untuk dasar seleksi peserta didik dalam melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih tinggi.
Dengan demikian, pelaksanaan AN tidak dapat dipersamakan dengan pelaksanaan UN serta hasilnya tidak diperlakukan sama pula. Karena itu, kekhawatiran para orang tua yang selama ini merebak terkait dengan perlakuan hasil AN setiap anaknya harus disingkirkan jauh-jauh. ****Disdikkbb-DasARSS.
Sangat bermanfaat 👍🏼
Mantab
Bisaka Asesmen dilaksanakan berkala seperti halnya UTS/PTS, jadi Asesmen tidak diselenggarakan secara nasional, yang terpenting tujuan hakiki dari pada Asesmen tercapai yaitu mengukur sejauh mana keberhasilan sekolah dalam pembelajaran.
terima kasih pak