Oleh: Dra. N. Mimin Rukmini, M.Pd
Guru Bahasa Indonesia SMPN I Cililin
“Nak, jangan main di situ, nanti ketabrak motor!” “Nggak Bu, saya main di pinggir jalan, kok.” Dua contoh kalimat tersebut sering penulis dengar baik di desa saat pulang kampung, maupun di kota atau lingkungan sekitar rumah, dan di tempat umum. Miris juga, lafalnya terdengar lafal bahasa Sunda, namun kalimat yang terucap kalimat bahasa Indonesia. Sebetulnya, melihat dari segi struktur, kalimat termasuk struktur bahasa Indonesia, namun masih terpengaruh bahasa Sunda. Kata ketabrak, sebenarnya struktur dari bahasa Sunda katabrak. Kalau bahasa Indonesia, seharusnya kata tertabrak. Mengapa demikian? Entahlah, apakah ini yang disebut gengsi bahasa? Gengsi menggunakan bahasa Indonesia atau malu berbahasa Sunda?
Dua puluh satu (21) Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional yang dicanangkan UNESCO 17 November 1999. Hari Bahasa Ibu ini bermula dari pengakuan terhadap Hari Gerakan Bahasa yang dirayakan di negara Bangladesh. Sungguh luar biasa, bagaimana Bangladesh mempertahankan bahasanya.
Indonesia memiliki sekitar 600 bahasa daerah (BD). Dari 600 BD tersebut terdapat delapan BD utama yang memiliki jumlah penutur terbanyak. Jumlah delapan BD ini pun mengerucut menjadi tiga BD, yakni bahasa Jawa, Sunda, dan Bali (Alwasilah, 2006: 69) dalam http://ymulya.wordpress.com. Semakin tinggi jumlah penutur suatu bahasa daerah atau bahasa ibu, akan semakin tinggi kemungkinan untuk tidak punahnya bahasa tersebut. Demikian sebaliknya, jika bahasa ibu semakin ditinggalkan penuturnya, semakin tinggi pula kemungkinan punahnya.
Kita bangga dengan keberagaman jumlah BD ini. Demikian pula penutur bahasa Sunda, termasuk urutan tiga besar. Tinggal bagaimanakah melestarikan dan menguatkan agar bahasa Sunda tetap eksis dan abadi menjadi bahasa daerah.
Seperti bahasa daerah lainnya yang terancam punah, bahasa Sunda pun demikian. Punahnya suatu bahasa karena ditinggalkan penuturnya. Penutur bahasa daerah atau bahasa ibu beralih menggunakan bahasa kedua atau bahkan bahasa ketiga. Lambat laun anak cucu yang selayaknya diajarkan bahasa ibu, langsung diajarkan bahasa kedua dari orang tua. Hal ini terjadi karena adanya pernikahan antar suku bangsa atau di dalam suku bangsa yang sejenis.
Lain halnya dengan pernikahan antar suku bangsa yang berbeda, yang anak-anaknya tidak mengenal bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Ada di antara kita, pernikahan dari satu suku yang sama, yakni suku Sunda, bahasa dalam keluarga justru menggunakan bahasa kedua, bahasa Indonesia. Anak-anak tidak diperkenalkan dengan bahasa ibu, bahasa Sunda. Penulis prihatin dengan keadaan ini. Anak sebenarnya lebih cepat menguasai bahasa kedua, dibandingkan dengan bahasa Sunda. Artinya, bahasa kedua tak diajarkan pun, anak pasti akan lebih cepat menguasi bahasa tersebut. Bahasa kedua mulai terdengar dan digunakan anak, saat anak mulai masuk sekolah TK atau play grup.
Hal tersebut, bukan isapan jempol belaka, namun pengalaman anak-anak dari keluarga, teman, atau sahabat yang walaupun di rumah berbahasa ibu, di sekolah anak- anak langsung bisa menyesuaikan diri dengan bahasa kedua. Oleh karena itu, sebaiknya bahasa ibulah yang pertama yang harus diterima dan digunakan dalam dalam keluarga.
Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2003 tentang penggunaan bahasa daerah bahasa Sunda pada lembaga pemerintahan, memberikan ruang gerak yang positif bagi penggunaan bahasa ibu. Bahasa ibu sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya, dengan perda ini diharapkan keberadaannya lebih bergengsi. Bukan sekadar gengsi melainkan juga bangga dan tetap lestari.
Penggunaan bahasa Ibu sejatinya dimulai dari lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang berlatar belakang Suku Sunda tidak ada alasan untuk tidak menggunakan bahasa Sunda. Baik bahasa Sunda yang bernada kasar, biasa, maupun bahasa Sunda halus.
Kita merasa bangga bahwa dari sekitar 600 bahasa daerah di Indonesia, pengguna atau penutur bahasa Sunda masih termasuk tiga besar. Artinya, penutur bahasa Sunda masih banyak, apa pun undak-usuk bahasa atau tingkatan bahasanya. Bahasa Sunda masih tetap digunakan, dan sejatinya kita lestarikan.
Keberadaan bahasa daerah tertentu bergantung pada penuturnya. Semakin banyak penuturnya, akan semakin lestari bahasa daerah itu. Sebaliknya, semakin sedikit penuturnya, semakin mendekati pula kepunahan bahasa daerah tersebut. Akankah bahasa Sunda mendekati kepunahan, seperti bahasa daerah lain? Tidak, asalkan diusahakan pelestrian penggunaannya, sebagai berikut.
Satu, bahasa ibu adalah bahasa pertama dan utama. Perkawinan yang hanya terjadi di antara satu Suku Sunda diusahakan secara langsung dalam keluarga mengunakan bahasa Sunda. Anak dikenalkan terlebih dahulu pada bahasa ibu bahasa Sunda baru kemudian bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
Dua, penegasan kembali Perda atau payung hukum tentang penggunaan bahasa Sunda, hari Rabu di lembaga formal atau di sekolah. Penggunaan bahasa daerah di sekolah, tidak terbatas hanya pada kelas awal saja, tetapi di kelas menengah maupun perguruan tinggi.
Apresiasi yang tinggi, penulis sampaikan kepada Kadisdik Bandung Barat, Bapak Imam Santoso yang telah menegaskan kembali dan menghimbau penggunaan bahasa Sunda melalui surat tanggal 18 Februari 2019. Surat himbauan ini adalah langkah nyata pelestarian dan bangga berbahasa Sunda. Hal ini salah satunya relevan dengan kalimat dalam surat himbauan tersebut “Urang Sunda Kudu Nyaah kana Basa Sunda” dan “Ulah Era Nyarita ku Basa Sunda”.
Tiga, membudayakan cinta membaca buku berbahasa Sunda, sebagai bagian dari kegiatan penumbuhan budi pekerti, yakni kegiatan membaca senyap sebelum pembelajaran dimulai. Saat membaca senyap, peserta didik dipariasikan dengan membaca buku-buku berbahasa Sunda. Alangkah lebih seru, apabila hari Rabu selain berbahasa Sunda dalam pembelajaran, presentasi buku bahasa Sunda pun dilaksanakan hari Rabu tersebut.
Empat, buku berbahasa Sunda masih terbatas. Oleh karena itu, menumbuhkan kebiasaan membaca diakhiri dengan kebiasaan menulis, sangatlah bijaksana. Pembiasaan menulis ini disesuaikan dengan tingkat potensi dan kemampuan peserta didik.
Lima, Pemangku kepentingan yang berwenang memberi ruang yang memudahkan bagi penulis buku berbahasa Sunda saat mau menerbitkan buku yang mereka tulis. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak buku, semakin banyak pula peluang pelestarian bahasa Sunda bagi penuturnya.
Terakhir, apa pun kegiatan dan penanggulangannya, teladan menggunakan bahasa Sunda, adalah yang paling utama. Bahasa Sunda akan tetap lestari, mana kala kita orang Sunda tetap bangga menggunakan, dan cinta bahasa Sunda. Semoga!
Sumber:
Alwasilah, A. Chaedar.2006. Pokoknya Sunda Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Kiblat Buku Utama.
http://ymulya.wordpress.com, diunduh tanggal 24 Februari 2018.
http://googleweblight.com, diunduh tanggal 24 Februari 2018