Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
“…‘”Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu…”
Bangsawan yang Merakyat
Adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, bangsawan Pakualaman, yang lahir dari keluarga kaya di masa kolonialisme Belanda, yang menanggalkan gelar keningratan demi kecintaannya kepada rakyat. Bukti kuat keinginannya untuk mendedikasikan seluruh jiwa dan raga bagi bangsa Indonesia, dipilihlah nama Ki Hajar Dewantara.
Keberaniannya menentang kebijakan pemerintah kolonial yang mendiskriminasi pendidikan mengakibatkan dia diasingkan Belanda. Tetapi api semangatnya tidak pernah padam. Sehingga dalam pengasinganpun tetap menggelorakan ‘pendidikan untuk semua’.
Keprihatinan Ki Hajar Dewantara atas perlakuan pemerintah Kolonial di bidang pendidikan sangat menyesakkannya. Hanya bangsa penjajah, kaum bangsawan, dan kalangan kaya saja dapat menikmati pendidikan. Sehingga hal ini mendorongnya mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat. Semangat inilah yang menjadikannya sebagai Bapak Pendidikan.
Spirit Ki Hajar Dewantara
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang “ing ngarsa sung tulada” (di depan memberi teladan), “ing madya mangun karsa” (di tengah menjadi penyemangat), dan “tut wuri handayani” (dari belakang memberi dukungan), menjadi spirit luar biasa bagi perkembangan pendidikan Indonesia. Bahkan filosofi terakhirnya menjadi slogan abadi pendidikan Indonesia.
Menarik saat menggali dalamnya makna filosofi di atas. Ada energi tersendiri menyeruak di setiap jiwa insan pendidik. Ide tentang ‘di depan memberi teladan’ mengandung arti bahwa setiap individu adalah guru. Sehingga, dengan predikat itu semua orang harus dapat menjaga sikap, menjaga perilaku, menjaga kehormatan diri dan kemuliaan akhlak. Hal ini dikarenakan keteladanan terkait erat dengan akhlak. Dan akhlak sangat bergantung sejauh mana seseorang pandai menjaga kehormatan dan kemuliaan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang beradab dan menjaga kesopansantunan.
Karena semuanya akan diduplikasi oleh anak didik, maka sudah sepatutnya guru menjaga marwah label yang melekat di dirinya. Sehingga karisma yang terpancar dari seorang guru adalah wibawa sebagai orang tua kepada anaknya, yang melindungi. Sekaligus laksana hubungan antar sahabat yang saling menghargai dan berbagi. Tanpa ada jarak yang memisahkan.
Berikutnya adalah setiap guru harus dapat menjadi sumber penyemangat anak didiknya. Makin besar energi positif yang dikeluarkan seorang guru akan berbanding lurus dengan capaian prestasi siswanya.
Kemudian, seorang pendidik harus memberikan dukungan atas kreativitas, inovasi dan hal-hal lainnya yang sifatnya menuju perbaikan diri dari seorang siswa. Hal ini erat kaitannya dengan peran guru dalam mendukung aktivitas anak didiknya baik secara spiritual, moral, maupun emosional. Sehingga akan tercipta harmonisasi dan sinergitas guru dengan siswanya.
Dalamnya pemikiran Ki Hajar Dewantara ini tidak sebatas retorika, tetapi telah menjadi jiwa dari pendidikan karakter, budaya dan memelopori sistem pendidikan nasional saat ini.
Ki Hajar Dewantara dan Covid-19
Sangat menarik ketika mengaitkan filosofi Ki Hajar dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini. Keluasan pemikirannya seakan menjawab permasalahan yang dihadapi sekarang. Kegelisahan yang melanda dunia pendidikan hari ini ternyata telah digambarkannya, yakni semua orang adalah guru yang harusnya mengedukasi siapapun dalam memahami situasi yang terjadi. Selain itu, peran guru sebagai panutan hendaknya menggambarkan pribadi yang patut diteladani dalam hal ’stay at home’ ‘work from home; termasuk dalam hal menyampaikan informasi yang benar, lengkap dan bertanggung jawab. Sehingga semua orang akan merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam berkaktivitas dan berkarya, termasuk menjalankan ibadahnya.
Khusus dunia pendidikan, situasi yang memprihatinkan seperti saat ini hendaknya disikapi secara bijak. Ini adalah momentum untuk berkreasi seperti filosofi Ki Hajar yang mendorong semua orang untuk berkarsa dan berkarya. Sesungguhnya berkreasi di era digital sekarang ini adalah keniscayaan, dan sangat terbuka kesempatannya. Terdapat banyak layanan digital yang dapat dimanfaatkan dalam menghidupkan terus proses belajar mengajar. Sehingga gelora semngat belajar tidak pernah padam di setiap anak bangsa.
Di sisi lain, masa pandemi yang berkepanjangan ini juga harus menjadi tonggak pembuktian kepedulian seorang guru dalam dedikasinya di dunia pendidikan. Guru sebagai teladan, guru sebagai motivator, dan sebagai generator pendidikan haruslah diaktualisasikan saat ini. Hal ini menjadi satu keharusan untuk dilakukan, mengingat vitalnya peran guru sebagai agen perubahan yang akan menghasilkan generasi unggul dalam peradaban bangsa.
Sesungguhnya ide Ki Hajar Dewantara bukanlah sekedar kata-kata indah yang menghiasi slogan dunia pendidikan, tetapi harus menjadi karya nyata dalam setiap langkah pendidik. Sehingga hal ini tidak hanay sekedar bermanfaat bagi diri, namun akan dirasakan maslahatnya oleh sebanyak-banyaknya masyarakat.
Belajar Tegar dari Ki Hajar
Perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam mengangkat harkat dan martabat Bumiputera sungguhlah berat. Tantangan yang diterimanya bukan hanya dari eksternal saja, tetapi juga dari internal. Tidak sedikit kaumnya menghambat perjuangan mulia ini. Tetapi tegarnya Ki Hajar dalam mempertahankan prinsip perjuangannya berbuah lahirnya ‘pendidikan untuk semua;, yang tidak lagi meng’kasta’kan pendidikan di antara kalangan priyanyi dengan kaum cacah, kaum bangsawan dengan rakyat jelata, serta kalangan penjajah dengan bumiputera.
Pandemi Covid-19 saat ini adalah tantangan nyata dalam merealisasikan cita-cita ‘pendidikan untuk semua’ di atas. Saat sebagian besar dari anak bangsa tidak mempunyai kesempatan belajar secara daring dikarenakan keterbatasan ekonomi. Sama seperti kesempatan Bumiputera yang terpinggirkan dalam hal mendapatkan hak pendidikan di zaman Kolonial.
Di sisi lain, masih banyak insan pendidik yang bertugas di daerah menjadi semakin terjepit akses informasi karena pemberlakuan PSBB. Sama terjepitnya dengan orang tua yang harus memilih antara membelikan kuota demi mengikuti terus kegiatan belajar mengajar atau kebutuhan keluarga.
Hambatan internal lainnya adalah terbatasnya kompetensi guru di daerah. Hal ini dikarenakan terbatasnya kesempatan mengikuti peningkatan kompetensi pembelajaran dibandingkan dengan yang lainnya. Belum lagi permasalahan klasik di bidang sarana dan prasarana yang relatif tidak sebanding dengan yang ada di perkotaan.
Gambaran di atas adalah contoh kecil handicap yang terjadi sekarang ini. Oleh karena itu ketegaran Ki Hajar Dewantara dalam menghadapi tantangan di masa penjajahan haruslah diteladani. Saat Ki Hajar menulis di surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker pada 19 Juli 1913, “Als ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), yakni Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.
Akhirnya, di Hari Pendidikan Nasional ini, sudah saatnya ditumbuhkembangkan kembali api semangat Ki Hajar yang senantiasa tegar dalam berbagai keadaan, tangguh dalam menghadapi cobaan, dan senantiasa berupaya untuk ‘memerdekakan’ pemikiran belajar yang ‘memanusiakan manusia’. Kekuatan prinsip dalam menjaga girah perjuangan mencerdaskan anak bangsa yang diwariskannya janganlah terputus. Slogan ‘Tut Wuri Handayani’ hendaknya menjadi spirit ekstra dalam mendorong dan mengeluarkan seluruh potensi yang dimiliki. Sehingga roda pendidikan terus bergulir. Menggelinding sejalan dengan cita-cita Ki hajar Dewantara ’Pendidikan untuk semua‘, Pendidikan yang dapat dinikmati oleh semua orang. ***
Profil Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun.
Kereeen! Htr nuhun Kang! Informatif, dan menjadi spirit untuk terus belajar. Alhamdulillah