Oleh: Nani Sulyani (Kepala SMPN 3 Saguling)
Dalam tulisan Wawan Kuswandi yang bertajuk School Branding dan Inovasi Sekolah, sedikit diulas tentang teori Kecerdasan Majemuk atau Kecerdasan Jamak (Multiple Intellegences). Teori ini diadopsi oleh Munif Chatib dalam mengembangkan alat riset bernama Multiple Intellegences Research (MIR), yakni sebuah alat riset yang digunakan untuk mengetahui kecerdasan dominan pada siswa dan telah gunakan oleh banyak sekolah di Indonesia.
Teori kecerdasan majemuk ini ditemukan dan dikembangkan oleh Howard Gardner, seorang psikolog perkembangan dan professor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University Amerika Serikat tahun 1983. Teori ini mengubah pandangan sebelumnya tentang kecerdasan manusia. Howard Gardner berpendapat bahwa pada dasarnya manusia memiliki beragam kecerdasan. Pada setiap manusia, volume/keunggulan kecerdasan ini bersifat variatif dan dapat berkembang jika mendapatkan stimulan yang positif.
Teori kecerdasan majemuk dilandasi pemikiran bahwa kecerdasan tidak terbatas pada intelektual semata yang diukur oleh tes IQ. Akan tetapi, kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah/persoalan nyata dan dalam berbagai situasi yang kompleks. Disebutkan, mereka yang memiliki kecerdasan tinggi adalah apabila dapat menyelesaikan permasalahan kehidupan (solutif), dan dapat menghasilkan produk inovasi bersandarkan pada budaya atau masyarakat tertentu.
Dalam teori Kecerdasan Majemuk terdapat sembilan kecerdasan (pada saat ini telah berkembang menjadi sepuluh kecerdasan) yang dapat dieksplorasi, yakni:
a. “Kecerdasan linguistic/berbahasa” adalah kemampuan untuk menggunakan, mengolah dan merangkai kata-kata secara efektif, baik secata lisan maupun tertulis.
b. “Kecerdasan matematis-logis” adalah kemampuan untuk menangani bilangan dan perhitungan, menemukan pola penghitungan, serta pemikiran logis dan ilmiah. Menunjukkan kertarikan pada angka atau bidang sains.
c. “Kecerdasan ruang-spasial” adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang-spasial secara tepat. Kemampuan membayangkan berbagai bentuk atau gambar.
d. “Kecerdasan musical” adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.
e. “Kecerdasan kinestetik-badani” adalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan.
f. “Kecerdasan interpersonal (people smart)” adalah kemampuan untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain.
g. “Kecerdasan intrapersonal (self smart)” adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptatif berdasarkan pengenalan diri itu.
h. “Kecerdasan naturalis” adalah kemampuan untuk memelihara alam/lingkungan; kemampuan untuk memahami dan menikmati alam; dan menggunakan kemampuan tersebut secara produktif.
i. “Kecerdasan spiritual” adalah kepekaan atau kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam tentang eksistensi manusia dan hal-hal yang menyangkut spiritual.
Mendalami teori ini mengantarkan pada pemahaman bahwa “setiap manusia terlahir cerdas”. Yang membedakannya adalah kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya. Sebagian mungkin cenderung lebih cerdas pada bidang matematik-logis, namun kurang cerdas pada bidang spiritual. Contoh lain lagi, sebagian siswa kita mungkin cerdas pada bidang kinestetik (atlit), namun cenderung kurang sebanding dengan kecerdasannya di bidang bahasa/linguistic.
Oleh sebab itu, teori ini sangat relevan digunakan di dunia pendidikan karena memungkinkan pendidik untuk mengekplorasi kemampuan siswanya tidak terbatas hanya pada kecerdasan intelektual saja (gifted), akan tetapi juga pada kecerdasan keberbakatan (talented). Teori ini sangat menghargai eksistensi manusia dan memberikan harapan bahwa dengan pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang tepat para pendidik dapat memunculkan potensi/ bakat siswa yang terpendam.
Dewasa ini, para pendidik hendaknya sudah harus menjauhi pemikiran bahwa sebutan “anak pintar” hanya ditujukan pada mereka yang mendapatkan nilai terbaik pada bidang akademik saja. Akan tetapi hendaknya para pendidik juga mengapresiasi bahwa “anak yang cerdas” juga diberikan pada mereka yang menunjukkan bakat pada bidang lain.
Melalui implementasi teori kecerdasan majemuk ini para guru dapat merancang/mendesain pembelajaran berdasarkan kecenderungan kecerdasan yang dimiliki para siswa. Misalnya kepada mereka yang berkecenderungan memiliki kecerdasan linguistik, pengayaan dapat diberikan melalui sumber bacaan/bibilioterapi. Akan tetapi, pada mereka yang berkecenderungan cerdas secara kinestetik, maka pengayaan dapat diberikan melalui penugasan projek/by project/demonstrasi.
Sumber Bacaan:
Howard Gardner; Kecerdasan Majemuk, (Lydon Saputra-terjemahan); Tanggerang; Interaksara 2013
Mantap