CERPEN GURU: Ema Damayanti, M.Pd
(SMPN 2 Cililin)
Sore itu, awan hitam bergelayut tepat di atas sekolah tempatku mengajar. Namun, hujan belum turun. Jam dinding di ruang guru menunjukkan pukul 15.42 menit. Aku sedang asyik menuliskan daftar siswa dan guru yang tidak hadir di meja piket, ketika seorang siswi datang ke ruang guru.
“Assalamualaikum, Ibu…,” seorang siswi melongok dari balik pintu ruang guru. Gurat wajahnya tampak seperti awan mendung sore ini. Air matanya sudah hampir tumpah.
“Waalaikumsalam… Ada apa Neng, Sini masuk. Aayo duduk dulu!”. Aku hampiri anak berkerudung putih itu. Lalu, aku gandeng tangannya untuk duduk.
Sebelum bicara anak itu sudah menangis. Sambil sesenggukan dia berkata, “Ibu, aku kesal.. teman-teman tidak mau diatur. Aku sudah bicara baik-baik agar mereka jangan berisik. Tapi mereka ga nurut. Aku bentak malah mereka mengejekku Ibu.”
Aku mulai mengerti. Anak ini sepertinya KM dan di kelas sedang jam kosong. Dia tampak putus asa ketika harus mengendalikan 35 manusia-manusia unik di kelasnya.
“Jangan sedih ya. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Sebagai KM, sudah hebat. Sekarang Ibu temani kamu ke kelas ya.” Anak itu mengangguk setuju.
***
Dari kejauhan, kelas 7E sudah terdengar sangat gaduh. Suara orang-orang berlari-lari diiringi celoteh, teriakan sangat ga nyaman didengar. Sesampainya di kelas, kulihat pemandangan kelas yang semerawut. Beberapa anak laki-laki berlarian melewati meja. Anak perempuan berkelompok sedang ngobrol sambil makan jajanan diiringi gelak tawa. Kertas-kertas yang dibentuk bola dilempar ke segala arah.
“Assalamualaikuuuuuuuuuum!” Aku ucapkan salam dengan lebih lantang.
Kelas pun hening. Mereka mulai beringsut ke bangku masing-masing. Aku tak ingin marah. Apalagi setelah melihat wajah-wajah polos tanpa merasa bersalah.
“Sekarang pelajaran apa? Ada di antara kalian yang dititipkan tugas dari gurunya?” tanyaku dengan menurunkan intonasi suara.
Aku baru tahu, tampaknya guru mengajar di kelas 7E ini tidak masuk dan sama sekali tidak memberikan kabar dan juga tugas. Akhirnya, Aku minta mereka untuk menggambar saja.
“Gambarkan hal yang kalian rasakan hari ini, apa saja yang terbesit di benak kalian, ya!”
Mereka boleh membeli kertas HVS di kantin atau di buku catatan pun tidak apa-apa.
“Siswa yang sudah selesai menggambar, langsung ibu beri nilai ya.”
Anak-anak terlihat semangat. Tampaknya tugas menggambar cukup menyenangkan bagi mereka.
“Ibu tunggu kalian di sini ya sampai kalian selesai menggambar.”
Aku tatap seisi kelas yang kini sudah terkendali. Semua murid tampak asyik dengan gambar masing-masing. Anak yang menangis tadi tampaknya sudah mulai kembali ceria.
***
Entah karena cuaca mendung, perasaanku mulai melodramatis. Aku merasa sangat bersalah. Ya, kadang aku pun izin tidak masuk kelas karena suatu kepentingan apalagi saat sakit tidak bisa dipaksakan. Ketika aku tidak masuk kelas, sepertinya situasi seperti ini pasti sama terjadi. Tangisan anak tadi yang menginginkan teman-temannya disiplin membuat hatiku terusik.. Anak itu tentu sangat ingin menegakan aturan, kedisiplinan di kelas, tapi dia kelelahan sendiri. Ingin aku berkata dan memeluknya, “Semua bukan salahmu Nak, tapi hanya kelalaian Ibu sebagai guru.”
Aku adalah gurunya. Aku yang seharusnya mengasuh, mengayomi, membimbing mereka. Ketika aku membiarkan kelas kosong apalgi hanya untuk ngobrol di ruang guru misalnya dan mereka menjadi liar, membuatku merasa sangat bersalah. Sementara saat mereka liar, kita sering memarahi mereka dan menganggap mereka anak-anak yang kurang ajar. Sebenarnya, siapakah yang menyebabkan mereka liar???
“Astaghfirullah.” Tidak terasa kini air mataku menitik. Aku keluar kelas sejenak. Tarik nafas dan mengusap air mata.
“Bu, aku sudah selesai,” kata seorang anak lelaki mengikutiku keluar sambil menyodorkan sebuah gambar sekolah, dan di luar banyak anak-anak bermain bola.
“Wah gambar yang menarik. Apa tema gambarmu ini?”
“Jam Kosong Bu.”
“Ide kamu keren,” sahutku sambil memberi tepukan di pundaknya.
Waktu pelajaran masih 15 menit lagi menuju pulang. Aku melanjutkan komentarku terhadap gambar anak itu.
“Nah biar lebih bagus lagi. coba beri warna. Pinjam ya sama temanmu yang bawa. Setelah etelah diberi warna ibu beri nilai!”
“Baik Bu,” sahutnya sambil berlari lagi ke bangkunya. Aku pun hendak masuk ke kelas lagi, tapi terdengar suara memanggil.
“Ibu… Ibu!” seorang anak berteriak dari jauh dengan panik. Aku menghampirinya.
“Ibuuu… Di kelas ada yang berkelahi. Cepat Ibu ke kelas kami!”
Aku segera bergegas mengikuti langkah anak itu. Padahal, satu jam yang lalu, kelas 8A sudah kuberi tugas.
“Duarrr!”
Terdengar petir menggelegar mengiringi langkah kam yang bergegas. Sepertinya langit sudah tidak tahan ingin memuntahkan isinya.
***
Profil Penulis
Ema Damayanti. Lahir di Bandung, 29 April 1980. Ia menjadi pengajar di SMP Negeri 2 Cililin sejak tahun 2009 hingga sekarang. Pendidikan yang pernah dia tempuh yaitu SD Banyuresmi, SMP Negeri Gununghalu, SMU Negeri 1 Cimahi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Magister Pendidikan bahasa Indonesia IKIP Siliwangi Cimahi.
Di samping mengajar, Ia merupakan Calon Guru Penggerak Angkatan 4. Pengalaman menulis didapat pertama kali saat mengikuti pelatihan menulis yang diadakan Penerbit MediaGuru tahun 2017 dan melahirkan sebuah buku memoar yang berjudul Embun di Atas Daun Teh (2017), Essay Pendidikan Jangan Lagi Ditelan Paus (Media Guru 2020), Pembelajaran Sesuai Kebutuhan Murid dengan Alur Papatet (Teras Kencana, 2022).
Pewarta: Adhyatnika Geusan Ulun