Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)
Dalam beberapa minggu ini, pada ranah pendidikan menyeruak berbagai polemik tentang implementasi pembelajaran tatap muka (PTM). Keterlahiran polemik tersebut berkenaan dengan rencana Kemendikbud untuk melakukan penerapan kebijakan PTM terbatas. Keinginan akan realisasi kebijakan ini terus menyeruak, sejalan dengan kejenuhan berbagai pihak akan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang selama ini tengah berlangsung. Namun, adanya keinginan tersebut masih tetap dibayang-bayangi pula dengan kekhawatiran akan meluasnya penyebaran Covid-19. Penerapan kebijakan PTM terbatas dikhawatirkan akan melahirkan satuan pendidikan sebagai episentrum baru penyebaran Covid-19.
Sudah lebih dari setahun lamanya, pemerintah menerapkan kebijakan implementasi pembelajaran dengan pola PJJ. Dengan penerapan kebijakan tersebut, PTM yang menjadi ciri khas keberlangsungan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan menjadi sebuah keharaman untuk berlangsung pada satuan pendidikan. Fenomena tersebut diterapkan pada sebagian besar satuan pendidikan di Indonesia.
Kebijakan untuk merumahkan siswa sehingga mengikuti PJJ, diterapkan dalam upaya pencegahan semakin merebaknya pandemi Covid-19. Kekhawatiran akan merebaknya pandemi Covid-19 dengan satuan pendidikan sebagai episentrum-nya dilatarbelakangi oleh kondisi psikologis setiap peserta didik yang dalam usianya dimungkinkan abai dengan berbagai aturan seperti yang tertuang dalam protokol kesehatan.
Dalam berbagai referensi, tersampaikan bahwa penerapan kebijakan PJJ dilatari dengan upaya penerapan prinsip kesehatan dan keselamatan menjadi prioritas utama dalam penetapan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan serta mengarah pula pada prinsip mempertimbangkan tumbuh kembang dan hak anak selama pandemi Covid-19. Kedua prinsip tersebut menjadi perhatian semua pihak dalam kebijakan pendidikan yang diterapkan.
Sejalan dengan perkembangan penerapannya, kebijakan penerapan PJJ ternyata menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan peserta didik. Pada satu ranah kesehatan dan keselamatan fisik, peserta didik sangatlah terjaga karena mobilisasi mereka terkekang dengan kebijakan yang diterapkan. Namun, pada ranah kesehatan dan keselamatan psikis, timbul permasalahan yang cukup krusial. Pertumbuhan psikis secara normal dari setiap peserta mengalami pressure yang cukup siginifikan karena beban psikis yang dihadapi saat melaksanakan pembelajaran di rumah.
Sejalan dengan pelaksanaan PJJ yang didominasi pembelajaran di rumah masing-masing peserta didik, melahirkan beberapa permasalahan yang harus dihadapi oleh peserta didik. Dengan intensitas pertemuan yang kurang, bahkan tidak sama sekali antara peserta didik dan guru, ditemukan beberapa permasalahan yang melanda peserta didik. Tidak sedikit ditemukan peserta didik yang mengalami putus sekolah karena mereka dengan terpaksa harus ikut membantu perekonomian keluarga yang terdampak pandemi Covid-19. Masih terbangunnya persepsi masyarakat, terutama para orang tua peserta didik bahwa pelaksanaan PJJ yang di dalamnya terdapat output pembelajaran harus melahirkan hasil sempurna, hasil maksimal. Pemahaman proses pembelajaran yang merupakan proses konstruktivisme seperti yang selama ini dipahami oleh setiap guru belum tersampaikan kepada para orang tua siswa. Belum lagi, terkait dengan heterogenitas kondisi sosial ekonomi dari setiap peserta didik yang mengakibatkan kesenjangan capaian hasil belajar dari setiap peserta didik—kualitas hasil belajar peserta didik dengan kepemilikan fasilitas PJJ moda daring, lebih baik dari peserta didik yang terpaksa melaksanakan PJJ moda luring.
Dalam kapasitas sebagai pelaku utama pembelajaran, setiap guru dimungkinkan sangat memahami bahwa pembelajaran merupakan proses konstruksi atau konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan pemahaman bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Dalam kaitan dengan pembelajaran, esensi dari konstruktivisme ini adalah ide bahwa peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi ini menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar tersebut, pembelajaran yang dilakukan oleh setiap guru harus dikemas menjadi proses merekonstruksi bukan menerima pengetahuan sehingga peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran.
Pemahaman akan pembelajaran sebagai proses konstruktivisme harus didisemenisikan/ditularkan kepada setiap orang tua peserta didik, sehingga saat melakukan bimbingan terhadap anaknya dalam kapasitas sebagai peserta didik, tidak menuntut hasil maksimal—dalam situasi demikian yang dituntut adalah hasil optimal proses pembelajaran yang dijalani oleh peserta didik. Kenyataan akan tuntutan dari orang tua peserta didik tersebut berefek pada ketertekanan psikis peserta didik. Bahkan tidak sedikit disinyalir bahwa penugasan terhadap peserta didik yang harus diserahkan kepada guru, sangat lekat sekali sebagai hasil pekerjaan dari orang tuanya.
Untuk itu, setiap orang tua peserta didik harus diberi pemahaman bahwa tugas mereka adalah memfasilitasi proses pembelajaran dari setiap peserta didik. Mereka memiliki tugas untuk mendorong agar menjadikan pengetahuan sangat bermakna dan relevan bagi peserta didik. Melalui pembelajaran di bawah bimbingan mereka, merupakan pengondisian yang memberi kesempatan kepada peserta didik guna menemukan dan menerapkan idenya sendiri. Mereka harus secara terus memberi kesadarankepada peserta didik agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam proses belajar.
Alhasil, dalam situasi ini, setiap satuan pendidikan dengan guru sebagai motor penggeraknya agar berinisiatif untuk membangun intensitas komunikasi dengan setiap orang tua peserta didik. Intensitas komunikasi ini di antaranya dilakukan guna memberi pemahaman kepada para orang tua peserta didik berkenaan dengan konstruktivisme dalam proses pembelajaran. ****Disdikkbb-DasARSS.