Oleh: Euis Lesmini Djuanda
(Kepala SMPN 5 Gununghalu)
Pertengahan Maret 2021 ini, genap satu tahun, sekolah sekolah dihampir seluruh penjuru tanah air bahkan penjuru dunia belum dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) secara utuh akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Tak lama setelah PTM ditiadakan sementara, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan, sampai tingkat satuan pendidikan, dengan segala kondisi dan keterbatasan berusaha untuk mencari solusi dan memberikan dukungan agar pelayanan pendidikan tetap dapat diterima oleh setiap peserta didik.
Dalam hitungan hari, dengan waktu yang singkat, ditambah ketidaksiapan sumber daya manusia dan sarana penunjang, akhirnya sekolah secara drastis beralih menggunakan moda daring sebagai jawaban. Pembelajaran berbasis daring dianggap menjadi satu solusi yang memungkinkan agar pembelajaran terus berjalan tanpa tatap muka. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pembelajaran moda ini mulai menunjukkan beberapa kendala yang cukup serius. Sekolah dan guru mulai mencari bentuk lain untuk meyakinkan bahwa pembelajaran harus terus berlangsung dan peserta didik tetap belajar.
Berbagai upaya yang sudah dilakukan hingga saat ini, tampaknya belum mampu menyamai keunggulan dari pembelajaran tatap muka yang sudah begitu melekat dalam kultur pendidikan kita. Tentu hal ini bukan tanpa alasan. Selain faktor sarana dan prasarana (Hand Phone, pemenuhan data/kuota, jangkauan sinyal) ternyata daring belum sepenuhnya engaging (melibatkan) siswa. Keterlibatan siswa di sekolah sekolah non-perkotaan atau daerah 3T bahkan mungkin di sekolah sekolah di kota malah cenderung menurun. Bahkan yang terjadi di pedesaan, mulai menunjukkan sinyal adanya keinginan peserta didik untuk putus sekolah (drop out). Beban yang harus dipikul oleh keluarga melalui pembelajaran daring dianggap cukup memberatkan. Belum lagi dipandang dari sisi guru. Merubah kebiasaan dan persiapan mengajar dari tatap muka ke daring bukanlah hal yang mudah. Pengemasan materi, cara penyampaian secara online, sistem penilaian, hanya dalam waktu singkat semua berubah dengan begitu cepat. Merubah kultur dan imaji bahwa KBM tercipta karena hadirnya siswa dan guru dalam kelas. Yang terjadi, ternyata tidak semua guru siap untuk itu. Beberapa karakter mata pelajaran nyatanya terlalu sulit disampaikan secara daring. Hal ini tentu merupakan tantangan sekaligus momentum dimana keprofesionalisme-an seoorang guru sedang diuji. Bersyukur, para guru dibebenjokeun bahwa selama pandemik sekolah bisa mengunakan kurikulum darurat bahkan diperbolehkan untuk menyederhanakan lagi kurikulum darurat tersebut sesuai keadaan dan kebutuhasn sekolah masing masing. Dan yang lebih menyejukkan, ketika kesehatan dan keselamatan peserta didik menjadi prioritas bukan ‘mengejar’ kurikulum.
Tidak sampai hanya disitu, pembelajaran daring ini, sayangngnya, mulai menunjukkan gejala yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya, yaitu: learning loss – hilangnya minat belajar siswa.
The Education and Development Forum (2020) mengartikan bahwa learning loss adalah situasi dimana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan baik umum atau khusus atau kemunduran secara akademis, yang terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau ketidakberlangsungannya proses pendidikan.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh terganggunya proses pendidikan formal.
Dalam setahun ini, 75% sekolah di seluruh dunia, sempat bahkan masih belum membuka kembali pembelajaran tatap muka. Data dari berbagai penelitian, terdapat tiga masalah pokok akibat dari sekolah tidak melakukan tatap muka:
1. Penurunan Tingkat Keinginan Belajar
Dengan tidak pergi sekolah, kebanyakan peserta didik merasa seperti tidak memiliki alasan dan motivasi yang cukup kuat untuk belajar. Ketika biasanya guru memperhatikan mereka secara langsung di kelas, tingkat keinginan belajar mereka relatif lebih terjaga. Tetapi saat tidak ada guru, biasanya kesadaran belajar ini pun menurun. Tinggalah orang tua di rumah berjuang lebih keras agar mereka tetap semangat belajar disamping meyakinkan mereka ada dalam kondisi aman dan sehat.
2.Meningkatnya kesenjangan
Pembelajaran melalui moda daring atau distance learning (Pembelajaran Jarak Jauh) membuka peluang adanya disparitas atau kesenjangan belajar peserta didik. Peserta didik yang memiliki fasilitas belajar yang baik, dukungan keluarga yang utuh, hampir pasti memiliki tingkat keberhasilan dan keterlibatan yang baik dalam belajar. Tidak dipungkiri, banyak peserta didik yang minim fasilitas dan dukungan keluarga yang kurang, tetap bersemangat dalam belajar, namun tentu ini situasi yang anomali. Kurang efektifnya tes formatif, ditiadakannya berbagai evaluasi, cukup membuat peserta didik dan guru kehilangan acuan seberapa jauh pembelajaran dikatakan berhasil.
3. Kemungkinan Putus Sekolah (Drop Out)
Ketidakpastian akan kapan sekolah kembali normal berakibat pada munculnya kebosanan yang mendorong beberapa peserta didin ingin berhenti sekolah. Alasan ketiadaan fasilitas, kebingungan menghadapi tugas/PR yang dianggap terus menerus dan memberatkan, juga kebosasanan membuka jalan untuk para siswa yang hidup ditengah keterbatasan untuk memilih bekerja sehingga dapat meringkankan beban keluarga dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Tentu ini harus kita hadapi dengan penuh empati, terutama mereka yang sudah duduk di kelas/tingkat akhir masa pendidikannya. Waktu dan tenaga yang sudah mereka berikan akan terbuang percuma.
Bagaimana learning loss ini bisa kita minimalkan? Banyak ahli menyarankan beberapa strategi yang bisa ditempuh walau pun tentu saja semua perlu penyesuaian sesuai dengan kondisi sekolah masing masing. Adapan strategi tersebut antara lain:
1. Optimizing teaching and learning supports and resources during school closures. Strategi ini menjelaskan bahwa sekolah perlu mengoptimalkan segala upaya untuk mendukung berlangsungnya kegiatan belajar mengajar dan juga dukungan dalam bentuk keberagaman sumber belajar selama sekolah tidak melakukan tatap muka. Intinya, ketiadaan pembelajaran tatap muka seyogyanya tidak begitu mengurangi esensi pembelajaran termasuk di dalamnya bagaimana guru dan sekolah tetap dapat memantau sikap dan juga karakter siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan cara misalnya: (1) merancang pembelajaran yang variatif, sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat siswa juga cukup efektif bila dilakukan secara online atau pembelajaran jarak jauh; (2) Lakukan pendekatan yang baik sehingga siswa termotivasi untuk terlibat aktif dalam pembelajaran. Hal ini bisa bersifat sedikit memaksa seperti cek kehadiran, atau bisa saja dngan mengusung kegiatan belajar yang berbasis PAIKEM termasuk didalamnya pendekatan sosial dan akrab misalnya tegur sapa guru dan siswa via WA atau Sosmed lainnya; (3) Gunakan pendekatan lain bila terindikasi terdapat siswa yang memiliki keterbatasan komunikasi secara online. Penggunaan pembelajaran melalui TV, modul, atau buku referensi perpustakaan bisa menjadi allternatif; (4) koordinasi dan komunikasi antara sekolah dan orang tua untuk meyakinkan bahwa siswa terlibat dalam pembelajaran, penyelesaian tugas termasuk kontrol orang tua dalam penggunaan gawai.
2. Offsetting the learning loss when schools reopen. Memperbaiki hilangnya minat belajar peserta didik saat sekolah kembali dibuka. Rentang waktu yang lama tanpa tatap muka mungkin banyak menimbulkan permasalahan baru, terutama terkait pencapaian pengetahuan dan keterampilan siswa. Sokolah dalam hal ini bisa membuat semacam jam tambahan bagi siswa yang terindikasi sangat tertinggal dalam pelajaran (dilihat dari kualitas hasil pembelajaran yang terkumpul). Hal ini, tentu saja dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan atau bila semua faktor memungkinkan, peserta didik dapat menggunakan sebagian hari libur semester atau libur kenaikan kelas mereka di sekolah untuk mengejar ketertinggalan mereka yang tentu perlu dengan kordinasi yang tepat bersama para guru di sekolah.
Sumber: ttps://www.ukfiet.org/2020/the-covid-19-induced-learning-loss-what-is-it-and-how-it-can-be-mitigated/ diakses pada tanggal 25 Februari 2021
Bismillah kenapa nga ada konsep sekolah alam yang disana lebih banyak menitikkan belajar pada kearifan lokal budaya maupun estetika dan etika pembelajaran.
Semenjak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, banyak aspek kehidupan terdampak terutama dalam bidang pendidikan. Saya memiliki artikel terkait, silahkan kunjungi web berikut https://www.unair.ac.id/site/article/read/3006/kata-pakar-unair-tentang-pengaruh-pandemi-terhadap-penggunaan-jaringan-internet.html