Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
(Kepala SMPN Satu Atap Lembang)
Adalah menarik saat seorang penulis mengungkapkan ide dan gagasaannya. Di naskahnya, terdapat banyak pembelajaran yang dapat dipetik oleh pembaca. Karena, sesungguhnya ide dan gagasan yang baik haruslah bermakna. Dalam arti, harus ada nilai persuasif yang menggiring pembaca untuk memahami pesan yang disampaikan penulis.
Terdapat banyak jenis karya sastra yang tersebar di tengah-tengah kita. Tentu semua hadir untuk mewadahi ide dan gagasan penulis. Salah satu di antaranya, fiksi historis.
Dari istilahnya saja, pembaca bisa menebak terdapat sejarah yang akan dikupas dalam naskahnya. Namun, kenapa harus ditambahkan label fiksi? Bukankah catatan sejarah harus berdasarkan fakta yang ada, tidak sembarangan?
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa fiksi historis merupakan kreativitas penulis dalam menuangkan ide dan gagasan sebuah kisah seorang tokoh berdasarkan bahasa, yang terkadang tidak baku, sendiri. Biasanya, bahkan tokoh-tokoh yang hadir dinaskahnya cenderung rekayasa penulis.
Kendati sebagian besar kreativitas penulis, namun naskah yang disusun penulis tidak menyimpang dari peran tokoh sentral di fiksi historis.
Salah satu yang contoh naskah fiksi historis yang akan diangkat penulis, adalah Senandung Gunung Lumbung. Naskah yang dikemas dalam sebuah novel ini, telah terbit dan ber ISSB 978-623-99576-6-7.
Senandung Gunung Lumbung merupakan naskah fiksi historis yang diambil dari cerita epik perjuangan tokoh legendaris Parahyangan, Dipati Ukur. Di dalamnya memuat romantika perjalanan heroik sang Adipati dalam menunjukkan jati diri orang Sunda yang memiliki “wiwaha”.
Sesuai dengan ciri khas teks fiksi historis, kisah ini dibumbui oleh kreativitas penulis dalam menceritakan tokoh dan suasananya. Sebagian besar merupakan rekayasa penulis, termasuk sejumlah tokoh yang terlibat dalam buku ini. Tentu dengan tidak menghilangkan keagungan Dipati Ukur yang telah mewarnai indahnya sejarah perjuangan Tatar Sunda dalam menegakkan keadilan dan kebesaran nama Sunda itu sendiri.
Dalam menyusun buku ini, penulis mengambil dari berbagai sumber terpercaya dari para tokoh Sunda, dan referensi lainnya. Walaupun terdapat banyak versi tentang ketokohan Dipati Ukur, termasuk banyak buku yang telah memuat kisah tokoh ini, namun penulis tetap memegang alur kisah yang diyakini dapat menambah khasanah karya sastra.
Senandung di Gunung Lumbung, kini dapat dimiliki oleh para pecinta karya sastra di toko-toko buku kesayangan, atau juga dapat dipesan di laman https://mandatramagrafika.com/catalogue/senandung-gunung-lumbung/ . Dan, bagi yang berkenan untuk menyimak Ssenandung Gunung Lumbung secara online dapat membaca kisahnya di laman ini secara berseri. Salam Literasi! ***