Berita : Elis Lisnawati
CILILIN-(NEWSROOM) Gerimis pagi mengiringi kami tim literasi SMPN 1 Cililin untuk melaksanakan kegiatan literasi wisata ke Guha Pawon selasa 04 Desember 2018. Tiga angkot telah siap di sekolah sejak pagi untuk bisa mengantarkan 20 orang siswa dengan 10 guru perintis yang bertindak sebagai pembimbing dalam kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut, selain sebagai pelaksanaan program literasi sekolah, juga sebagai ajang refreshing baik bagi siswa maupun bagi guru. Bagi siswa, kegiatan ini dimanfaatkan sebagai sarana merefresh pikirannya setelah seminggu lamanya berkutat dengan soal-soal PAS dari 11 mata pelajaran, sedangkan bagi guru, sebagai sarana relaksasi setelah beres pengoreksian hasil pekerjaan siswa sebelum masuk ke pengolahan nilai sampai pada pengisian e-raport yang cukup melelahkan.
“Terimakasih untuk Bapak dan Ibu guru serta anak-anak SMPN 1 Cililin yang telah hadir di sini, di situs sejarah Guha Pawon,“ kata Yeti, selaku pengelola wisata alam Guha Pawon yang sekaligus juga sebagai guru di SMPN 3 Cipatat sesaat rombongan tiba di lokasi.
Lebih lanjut beliau menguraikan tentang pengelolaan wisata alam Guha Pawon, perjuangan beliau mengelola Guha Pawon, hingga menjadi seperti apa yang terlihat sekarang ini. Kini, kondisi wisata alam Guha Pawon terlihat lebih asri karena disekelilingnya telah ditanami tumbuhan hijau, hingga berbagai penghargaan diperoleh oleh pihak pengelola.
“Kerja keras yang kami lakukan untuk memperkenalkan situs sejarah ini berbuah hasil dengan banyaknya orang yang berdatangan kesini untuk berkunjung, sampai melakukan penelitian terhadap situs sejarah ini,“ tandas Yeti sebelum rombongan memasuki mulut Goa.
Wisata Guha Pawon merupakan wisata keindahan alam dan keragaman budaya yang bernilai ilmiah. Nilai strategis Guha Pawon ini sangat berkaitan dengan pengembangan dan aplikasi berbagai jenis ilmu pengetahuan baik yang berbasis ilmu kebumian, biologi, kehutanan, pertanian, ekologi, arkeologi, sosial, budaya dan hukum. Guha Pawon sendiri memiliki panjang 38 m dan lebar 16 m, sedangkan tinggi atap guha tidak dapat diketahui secara pasti karena saat ditemukan bagian atap guha sudah runtuh. Lantai guha hanya tersisa sebagian kecil di sisi Barat karena sudah digali oleh masyarakat setempat untuk pengambilan fospat dengan kedalaman 4-5 m.
Ditemani gerimis, kami mulai memasuki gerbang goa dengan disambut bau khas kotoran kelelawar yang lumayan menyengat, tak ketinggalan terlihat di atas goa kelelawar berkerumun menyambut kedatangan kami. Jalan licin dengan bebatuan membuat kami harus berhati-hati dalam menapaki langkah demi langkah, ditambah gelapnya goa cukup membuat langkah kami terhambat, senter sebagai salah satu perlengkapan yang kami bawa menjadi sesuatu yang sangat berguna keberadaannya.
Ditemani pemandu, kami menyusuri gelapnya goa hingga bisa melewati bagian-bagian goa dengan sesekali terdengar penjelasan dari Hendi sang pemandu yang sudah 16 tahun menekuni pekerjaannya.
“Ini adalah 7 manusia purba yang ditemukan di sini, meski hanya berupa replika saja namun cukup membuktikan bahwa mereka pernah hidup di sini,“ ujar Hendi menunjuk pada satu tempat yang berisi tulang belulang manusia purba yang ditemukan di Guha Pawon.
Lebih lanjut Hendi mengungkapkan sejarah singkat Guha Pawon “Salah satu alasan kenapa di sebut Guha Pawon karena disini ditemukan banyak perkakas rumah tangga,” demikian ujar Hendi menanggapi pertanyaan salah satu siswa yang menanyakan asal usul nama Guha Pawon.
“Namun demikian, ada alasan lain tentunya di balik pemberian nama Guha Pawon tersebut,” demikian Hendi menegaskan.
Sesaat kami terpaku mendengar penjelasan sang pemandu yang menceritakan segala sesuatu tentang Guha Pawon mulai dari bagian goa yang ada, beserta fungsinya sampai kepada penelitian yang dilakukan para ahli terhadap situs sejarah ini. Tidak hanya dari dalam negeri tapi peneliti dari luar negeri pun sempat singgah di sini untuk melakukan penelitian.
Proses pelapukan kimiawi secara karbonasi di daerah karst (kapur) ini membentuk pemandangan yang indah baik dalam bentuk stalaktit yakni jenis speleothem (mineral sekunder) yang menggantung dari langit-langit guha kapur atau stalagmit tetesan endapan yang ada dibawahnya. Semua proses alam ini membuat kagum kita selaku manusia terhadap sang Maha Pencipta. Bentuk rasa syukur senantiasa hadir atas semua yang ada di muka bumi ini. Semuanya tentu memiliki manfaat dan berguna bagi kehidupan manusia.
“Menjaga dan melestarikan apa yang ada, itu yang harus dilakukan agar sumber sejarah yang ada tidak punah ditelan waktu,” pungkas Hendi mengakhiri tugasnya sebagai pemandu siang itu.