Oleh: N. Mimin Rukmini
Guru SMP Negeri I Cililin
Betapa dahsyat perjuangan BungTomo dan pasukannya saat 10 November 1945. Pertempuran di Surabaya ini adalah perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang saat itu baru berdiri beberapa minggu saja. Melalui Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tonggak sejarah dari Yang Maha Pemurah bahwa setelah tiga setengah abad baru bisa menyatakan kemerdekaan. Sungguh luar biasa para pahlawan Surabaya saat itu. Pertempuran 10 November 1945 adalah pertempuran sebagai bagian dari Revolusi Nasional Indonesia. Hari Nasional ini ditetapkan melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959.
Pahlawan terdahulu, bekerja keras dan berjuang menumpas dan mempertahankan kemerdekaan. Mereka angkat senjata, mengorbankan jiwa dan raga demi tanah air dan bangsa tercinta. Lalu, bagaimanakah cara kita mempertahankan kemerdekaan di zaman now? Di antaranya melalui membangkitkan literasi dan membudayakan peduli lingkunganlah. Sasisabu Surabaya melalui tulisan H. Saihu (Gurusiana, 10/11/2018) menjadikan Hari Pahlawan sebagai Kebangkitan Literasi. Mengapa tidak, kita juga sama, jadikan momen Hari Pahlawan sebagai kebangkitan Literasi dan juga kebangkitan peduli lingkungan. Berlomba dalam kebaikan adalah hal yang seharusnya dilakukan dan diimplementasikan.
Makna kebangkitan lebih dari sekadar bangun dari keterpurukan, tetapi bangkit, berdiri, bila perlu berlari mengejar cita-cita. Kebangkitan literasi tak dapat ditunda lagi. Literasi yang meliputi literasi membaca, menulis, numerasi, media, saint, dan digital, sejatinya terus kita galakan di berbagai ranah, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Di sekolah umpamanya, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) terus dibudayakan melalui tiga strategi, yakni pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Mohon maaf, boleh jadi, di sekolah tertentu belum tersentuh dengan apa yang disebut GLS. GLS sudah terlaksana, namun masih terbatas dengan sarana dan prasarana yang ada. Misalnya, ketersediaan buku yang masih sangat terbatas.
Sudah selaiknya, GLS dilaksanakan dari pembiasaan membaca senyap selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai. Lalu dilanjutkan dengan kegiatan pengembangan salah satunya kegiatan readhaton. Semua warga sekolah membaca buku secara bersama-sama, diakhiri oleh presentasi beberapa siswa atau guru, mengemukakan hasil membaca yang telah mereka lakukan. Demikian pula literasi pembelajaran, guru diharapkan menyisipkan kegiatan literasi di dalam setiap skenario pembelajaran. GLS bercirikan lingkungan yang membudayakan membaca dan menulis, serta memajang hasil kerja atau hasil karya siswa. Pojok baca beserta bahan bacaannya tersedia di lingkungan kelas, ataupun halaman sekolah. Demikian pula Pohon Gerakan untuk Literasi Sekolah (Pohon Geulis), menambahkan keindahan dan semarak GLS, pada sekolah pelaksana GLS. Mengapa perlu GLS? Abad 21 menuntut sumber daya manusia (SDM) yang kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif (4K). Kecakapan tersebut tak akan diperoleh andai tidak berliterasi. Kebangkitan tak mungkin terjadi pula jika tidak ditopang oleh karakter. Oleh karena itu, PPK perlu menjadi dasar pelaksanaan literasi tersebut.
Lantas, mengapa perlu kebangkitan peduli lingkungan? Bencana alam, banjir bandang dan sejenisnya terus terjadi. Lingkungan terdekat kita, umpanya banjir wilayah Cimahi dan Dayeuh Kolot, membukakan pemikiran bahwa peduli lingkungan perlu segera dibuktikan. Realisasi cinta tanah air adalah dimulai dari yang sederhana, peduli lingkungan. Hal dimaksud adalah peduli lingkungan dengan memperhatikan kebersihan, keindahan, dan kesehatan lingkungan.
Kegiatan sanitasi sekolah merupakan wujud peduli kebersihan, keindahan, dan kesehatan lingkungan. Hal yang dapat dilakukan selain yang utama mewajibkan siswa membuang sampah pada tempat yang tersedia, di antaranya adalah dengan kegiatan reduce, reuce, dan recykle. Produksi sampah yang menggunung setiap hari bisa dilakukan dengan gerakan menguranginya (reduce), gerakan anti menggunakan stirofoam. Di sekolah kami, dianjurkan saat jajan siswa membawa mangkuk sebagai pengganti stirofoam. Walau belum menyadarkan semua siswa, gerakan jajan menggunakan mangkuk sudah dimulai sejak tahun 2016. Betul memang, dengan menggunakan mangkuk, produksi sampah semakin hari semakin berkurang. Gerakan peduli lingkungan lainnya, berupa pemilahan sampah gelas dan botol plastik. Siswa sendiri yang memilah dan mengumpulkan dari masing-masing kelas, kemudian ditampung di tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sampah hasil memilah, lalu dijual ke pengepul, dan uangnya masuk ke kas OSIS yang digunakan untuk kegiatan OSIS. Prinsip dari, oleh, dan untuk OSIS adalah cara efektif penumbuhan budi pekerti peduli lingkungan.
Tak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Pahlawan kemerdekaan telah nyata mendobrak belenggu penjajahan dan ketidakadilan. Pahlawan di zaman now kita lah tulang punggung menuju bangsa yang literat, bermartabat dan berkarakter. Peduli lingkungan karena cinta tanah air adalah sosok pahlawan masa sekarang dan masa depan. Semoga!
Sumber: Ditjen Dikdasmen: 2016. Materi Umum dan Pokok. Jakarta: Kemdikbud.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Hari_nasional, diunduh tanggal 8 November 2018.