Penulis: Moch. Akbar Maulana, S.Pd.Gr.
(Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 1 Saguling)
Terkadang sedih, saat menyaksikan murid berada dalam posisi terhukum kemudian diceramahi macam-macam dan disuruh bertobat. Penulis justru membayangkan bagaimana jika sebaliknya, Apa ada hukuman bagi guru jika melakukan kesalahan? Apa mau guru berada dalam posisi seperti itu? Tentu semua orang tidak mau, termasuk guru pun pasti tidak mau.
Penulis merasa kondisi psikologis guru dan murid di Indonesia berada dalam konsep yang kurang memiliki ikatan saling menghormati. guru selalu merasa harus dihormati. Ia selalu merasa benar hingga murid terasa kerdil. Sementara murid selalu disalahkan hingga ia tak pernah mampu mengungkapkan gagasan atau perasaannya.
Relasi Guru dan murid dalam Kurikulum merdeka
Dalam Kurikulum Merdeka, kondisi hubungan antara murid dan guru itu adalah teman belajar, tidak hanya sebatas memberikan informasi tetapi membimbing dan membantu mereka seperti yang diungkapkan dalam paparan kurikulum merdeka, pendidik itu adalah orang yang reflektif, gemar belajar, berbagi, dan berkolaborasi. Reflektif yang penulis pahami adalah memahami kondisi psikologi murid.
Menurut ahli perkembangan kognitif, Jean Piaget usia 11-16-setara siswa SMP dan SMA, sudah mampu berpikir secara abstrak dan mengembangkan hipotesis dengan logis, juga sudah mampu memecahkan masalah dan membentuk argumen karena kompetensi operasionalnya berkembang menjadi lebih baik. Dengan kata lain, mereka juga pasti memiliki keinginan, perasaan dan keputusan-keputusan atas berbagai tindakannya. Ia tak mau bahkan tak bisa didikte orang dewasa. Ia hanya manusia yang senang mencoba suatun hal yang menurut mereka keren.
Bedakan antara nakal, salah dan benar. Murid nakal harus dihukum. murid salah harus diajari. murid benar dipuji. Begitupun Guru, Jika guru salah, minta maaf pada murid. Jika guru nakal, hukumlah guru tersebut. Daripada sekedar menghukum dengan memarahi bahkan memukul, lebih baik ajak murid berefleksi-sesuai dengan kurikulum merdeka. Pertanyaan reflektif seperti, apa yang kamu rasakan? Kenapa kamu melakukan seperti itu? Tahukah kamu dampak buruk seperti itu? Hal positif apa yang kamu dapatkan dari melakukan itu? Coba kamu bandingkan, dampak buruk dan dampak baiknya lebih banyak mana? Dengan begitu, terjadi rasa saling menghormati antara guru dan murid.
Belajar Berefleksi
Sebagai guru Kurikulum Merdeka yang memilki peran fasilitator pendidikan, dan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada murid. Guru harus berlatih membimbing dan membantu murid memilih sesuatu, bukan menentukan satu pilihan. kemudian membimbing murid bertanggungjawab dan menerima konsekuensi atas pilihannya. Ajaklah murid menemukan sesuatu hal yang baik, alih-alih hanya menanamkan suatu hal baik. Ajak murid berpikir menggunakan akalnya untuk menentukan mana hal yang baik dan yang buruk. Esensial bukan sekedar ritual.
Pada saat guru menanamkan kebaikan misalkan tentang larangan merokok, bahaya membawa motor, namun logika berpikir murid berkata sebaliknya. ia akan menganggap gurunya tidak memahami dirinya. jika guru berefleksi dengan murid dan menyampaikan resiko dan keuntungan dari sebuah aturan serta menemukan argumentasi yang tepat untuk menangkal argumentasi murid tentang alasannya melakukan hal itu, logika berpikir murid akan bekerja untuk menemukan pilihan yang terbaik dan terjadi sinergi saling menghormati antara guru dan murid.
Cara pandang seperti itu sedang diupayakan oleh pemerintah melalui kurikulum merdeka. Harapannya agar tidak ada lagi kekerasan dari guru kepada murid ataupun sebaliknya, agar tidak ada lagi kondisi saat murid merasa terhukum dan dipermalukan oleh guru, karena sungguh, menjadi orang yang terhukum dan dipermalukan itu tidak menyenangkan.
Akhirnya, daripada berbagi pesan dan amanat untuk menghormati guru. Cobalah sesekali sampaikan pesan tentang menghormati Murid. Karena sebetulnya itulah yang diperlukan. Agar tercipta saling menghormati antara guru dan murid. ***