Oleh: Sri Sunarti, S.Pd., M.Pd
(Kepala SMPN 4 Sindangkerta)
Coaching adalah sebuah proses dimana coach membantu coachee agar coachee dapat menemukan solusi dari masalah yang dihadapi melalui pertanyaan-pertanyaan yang memberdayakan.
Proses coaching melibatkan interaksi antara coach (pembimbing) dan coachee (yang dibimbing) yang mana coach memberikan dukungan, arahan, dan umpan balik kepada coachee agar coachee mampu mencapai tujuan yang diharapkan.
Hubungan coach dan coachee adalah kemitraan yang setara, tidak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah sehingga coach mampu membantu coachee dalam mencapai tujuannya tanpa menunjukkan otoritas yang lebih tinggi.
Selain itu, pada proses coaching ditekankan pada bertanya reflektif dan mendalam agar seorang coach dapat menginspirasi coachee untuk menggali potensi dan memetakan situasinya sehingga menghasilkan pemikiran dan ide-ide baru yang dapat digunakan oleh coachee untuk mencapai tujuannya.
Dalam praktik coaching, seorang coach biasanya menggunakan model TIRTA yang merupakan kepanjangan dari:
- Tujuan, merupakan tahap awal pembicaraan yang mana kedua belah pihak antar coach dan coachee menyepakati tujuan pembicaraan yang akan Tujuan pembicaraan ini idealnya berasal dari coachee
- Identifikasi, Dimana coach melakukan penggalian potensi, kekuatan, kesempatan, peluang dan kemungkinan hambatan yang akan dihadapi coachee dalam meraih tujuannya.
- Rencana aksi, merupakan pengembangan ide dan alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat.
- Tanggungjawab, yaitu membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk Langkah selanjutnya, apa dan siapa yang dapat membantu serta bagaimana tindak lanjut dari sesi coaching.
Penulis selaku kepala sekolah sangat tertarik mempelajari praktik coaching dan cara penerapan model TIRTA. Coaching ini sangat penting bagi penulis selaku kepala sekolah maupun selalu pribadi, dan rekan sejawat. Dengan menerapkan coaching, kita bisa memfasilitasi murid dan rekan kerja jika mereka memiliki masalah dalam proses pembelajaran.
Di sekolah kami, praktik coaching telah penulis terapkan pada guru-guru di SMP Negeri 4 Sindangkerta pada saat kegiatan observasi pembelajaran. Sebelum pelaksanaan observasi pembelajaran penulis dan guru yang akan diobservasi melaksankan coaching Pra-observasi yang membicarakan tentang tujuan pembelajaran, area pengembangan yang hendak dicapai, serta strategi yang dipersiapkan untuk mencapai tujuan.
Setelah pelaksanaan observasi pembelajaran kami melaksanakan coaching kembali terkait proses pembelajaran yang telah berlangsung. Kami membicarakan tentang refleksi dari guru yang diobservasi, kompetensi yang dimuncukan, hal-hal yang sudah baik dan yang perlu diperbaiki, langkah-langkah kongkret yang dapat dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran serta rencana tindak lanjut yang akan dilakukan oleh guru yang diobservasi.
Hal positif yang dapat penulis peroleh setelah mempelajari dan melaksanakan praktik coaching yaitu penulis mampu mengenali kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh guru. Selain itu penulis juga merasa lebih nyaman ketika memposisikan diri sebagai coach saat berdiskusi dengan guru, gurupun merasa nyaman dan lebih terbuka dalam berdiskusi.
Melalui pertanyaan yang memberdayakan guru mampu menemukan Solusi dari masalah yang mereka hadapi dalam pembelajaran sehingga proses coaching mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah kami. Sangat berbeda situasinya ketika seorang kepala sekolah memposisikan dirinya sebagai mentor atau trainer, yang mana guru merasa sedang berhadapan dengan atasan dan pembicaraan menjadi kaku dan terkesan formal.
Coaching dapat dilakukan di dalam atau di luar sekolah secara berkolaborasi Antara guru dan murid, antara guru dan guru, atau antara guru dan kepala sekolah. Sekolah merupakan tempat strategis sebagai kondisi, situasi dan konteks local tempat mempraktikkan proses coaching.
Coaching yang menggunakan model TIRTA dalam proses aplikasi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sekolah, guru dan murid. Coach seyogyanya memiliki kemampuan komunikasi yang tepat, cermat dan focus, mampu memposisikan dirinya sebagai pendengar aktif dan mampu mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan efektif untuk mengarahkan terhadap pemahaman, rencana aksi dan tanggung jawab dalam diri coachee.
Dalam praktik coaching di lingkungan sekolah haruslah mampu melibatkan seluruh warga sekolah (murid, guru, tenaga kepegawaian dan kepala sekolah). Mereka adalah parter yang dapat membantu kita dalam memperaktikkan proses coaching model TIRTA. ***