Oleh: Ilman Fatuh Rahman A.F
Kampanye ekoliterasi (melek lingkungan) yang digaungkan belum membuahkan hasil yang diharapkan. Bencana ekologis yang melanda hari ini adalah konsekuensi minimnya ekoliterasi. Banjir, longsor, kesulitan air hingga pemanasan global adalah problematika di depan mata kita.
Sampai kapan pun sektor pendidikan tetap berada pada puncak piramida pencegahan dan penanganan bencana ekologis. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dengan salah satu temanya gaya hidup berkelanjutan menjadi media ekoliterasi yang bisa dilaksanakan di sekolah. Setiap sekolah adalah adiwiyata seharusnya menjadi paradigma. Tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah sehingga memiliki tanggung jawab dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Ruh mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup harus tetap dipelihara dengan mengintegrasikannya pada bahan ajar yang beririsan langsung dengan upaya pelestarian alam. Implementasi “merdeka belajar” dapat dimaknai secara kontekstual oleh guru untuk secara leluasa mengangkat tema aktual terkait fakta kerusakan lingkungan.
Selanjutnya, membidik ranah afektif siswa agar tidak abai dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Berani berbuat sesuatu sekecil apa pun untuk penyelamatan lingkungan. Sehingga slogan “buanglah sampah pada tempatnya” tidak lagi berkutat pada kognisi siswa, melainkan afeksi dan psikomotornya.
Implementasi ekoliterasi kita mulai dari ruang di mana guru mengajar. Guru selalu dihadapkan pada realita kecerdasan majemuk (multiple inteligence) diantara siswanya. Sayangnya fakta ini belum diamini oleh guru sepenuhnya sebagai kenyataan yang harus diakomodasi dalam setiap praktik pembelajaran. Penerimaan akan kecerdasan majemuk terakomodasi oleh kegiatan yang beragam pula seperti membaca, mendengar, melihat, berbicara dan melakukan. Aktualisasi “merdeka belajar” yang paling efektif dan padat makna adalah dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk berbicara dan melakukan sesuatu (learning by doing).
Pakar pendidikan Vernon A Magneson (2007) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa level kualitas pembelajaran tergantung sejauh mana siswa terfasilitasi dalam berbagai aktivitas belajar “Kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan kita lakukan”.
Terkait ekoliterasi, maka proses membayangkan lingkungan adalah pembuka dari pengetahuan metakognif. Menerapkan strategi untuk menyelidiki, mendiskusikan, berpikir kritis, membayangkan dan membangun suatu diskusi tentang lingkungan. Secara singkat siswa diajak memahami bagaimana sumber-sumber alami di bumi tetap lestari, serta semua orang selamat, berumur panjang dan sehat.
Proyek sederhana berkaitan dengan ekoliterasi yang membidik dengan tepat ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan pernah diilustrasikan secara sederhana oleh Evelyn William English (2017) tentang air. “Para siswa diistruksikan menuangkan air ke dalam gelas. Mintalah para siswa memperbincangkan tentang penampakan air itu. Ini membuat mereka berfikir tentang betapa air sangat penting dalam kehidupan kita. Siswa kemudian diminta untuk memasukkan sejumput kecil tanah ke dalam gelas itu. Siswa digiring untuk mengungkapkan bagaimana perasaan mereka apabila harus meminum air yang tercemar ini. Menjelaskan pula tentang hal-hal apa yang bisa menambah pencemaran. Aktifitas belajar dengan mengomunikasikan dan melakukan ini selanjutnya mampu membantu mereka menghasilkan ide-ide dan produk baru seperti metode daur ulang dan penyulingan.
Merdeka belajar merupakan kombinasi model pengetahuan metakognitif, data serta fakta menggiring siswa untuk mampu menelurkan gagasan secara kritis dan kreatif hingga penyelesaian masalah. Mengajak siswa untuk membuka pola pikiran serta mengaktualisasikan peranannya dalam menanggulangi masalah degradasi lingkungan. **
Penulis, Guru dan Wakil Kepala SMP Negeri 4 Cisarua Kabupaten Bandung Barat.