Oleh: Defi Firman Suparyana, M.Pd
(SMA Negeri 1 Ngamprah)
Pengembangan kegiatan pembelajaran yang dibuat dalamn aksi nyata ini bersumber dari kegiatan yang dikenal pada kegiatan sekolah kami yaitu NGACA (Ngamprah Berbicara), kegiatan yang berpusat pada siswa dengan mengumpulkan permasalahan yang dialami oleh siswa. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh DPS OSIS SMA Negeri 1 Ngamprah ataupun oleh walikelas dalam kegiatan perwalian. Dalam kegiatan Ngaca yang dilakukan dalam kelas ini pada saat pelaksanaan kegiatan refleksi pembelajaran yang membahas tentang pola pembelajaran guru di dalam kelas.
Dalam kegiatan Ngaca tersebut siswa menyampaikan beberapa keluh-kesahnya, diantaranya: (1) Guru yang mengajar menggunakan ceramah yang monoton; (2) Metode ceramah ekspositori mendorong siswa bertanya/ berpendapat namun penggalian pengetahuan atau kompetensi terpusat pada konten materi akibatnya materi sulit disampaikan dengan tepat waktu; (3) Penyajian guru kurang jelas /Bahasa yang tidak ramah anak; (4) Siswa lebih mudah dengan gaya Bahasa anak (tutor sebaya); dan (5) Guru menyadari bahwa tidak ada kegaiatan yang mengarahkan pada pengembangan kompetensi siswa.
Pada suatu kesempatan yang lain CGP mengumpulkan kembali siswa untuk membahas masa depan siswa. Ada anak yang menyampaikan pertanyaan tentang kegiatan dikampus seperti apa dan bagaimana penulis sebagai mahasiswa pada saat itu menangani permasalahan tersebut. Pada saat itu CGP menyampaikan bahwa dalam beberapa kegiatan pembelajaran di kampus yang mengarahkan pada presentasi terutama dalam kegiatan sidang. Pertanyaan lain dari siswa yang mengarahkan kepada wawancara kerja. Hai inilah menjadi pemikiran bahwa komunikasi salah satunya melalui presentasi perlu dikembangkan.
Sebagai CGP yang sering dianggap sebagai CGP yang Out of the Box memiliki ganjalan bagi pengembangan kompetensi siswa dengan adanya keterampilan yang terabaikan, diantaranya: (1) Keterampilan literasi digital cenderung diabaikan karena tidak ada koreksi; (2) Kemampuan nalar tidak terbimbing dengan tidak dibatasinya kedalaman minimal konten mata Pelajaran; (3) Penyampaian materi monoton. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa kegiatan presentasi siswa biasanya tidak disertai analisis kedalaman materi, Teknik penyajian maupun media yang akan digunakan. Selain itu kegiatan presentasi siswa hanya berlangsung hanya satu kali presentasi. Dengan pemikiran-pemikiran di atas, CGP berupaya mengembangkan pembelajaran yaitu Pembelajaran Presentasi berbasis Proyek (P3).
Hasil kajian CGP, dikembangkan PjBL menjadi:
- Starting learning with essential questions, hal ini berkaitan dengan permasalahan konten yang akan dipresentasikan oleh siswa;
- Designing a plan for the project, berupa merancang teknik/strategi menyampaikan materi;
- Creating the schedule, yaitu merancang jadwal diskusi dan bimbingan (5 kelas, 6 kelompok);
- Monitoring students and project progress, sebagai proses pembimbingan kedalaman materi, memilih sumber materi, strategi penyajian, media pendukung, alat evaluasi, teknik komunikasi dan presentasi; dan
- Assessing the outcome, and evaluating, melalui refleksi dari teman sekelas dalam penyajian, dan refleksi kedalaman materi dari guru.
Berikut ini perbedaaan yang mendasar P3 dengan PjBL adalah:
- Adanya kegiatan presentasi (sebagai proyek utamanya), bagaimana menyampaikan materi dengan lengkap dan akurat yang mudah diterima dan dipahami oleh teman-temannya
- Diberikan kesempatan untuk menyajikan ulang apabila penyajian kurang dapat dipahami oleh teman-temannya atau adanya materi yang belum tersampaikan.
Hasil yang di dapat dari pengembangan pembelajaran tersebut:.
- Penyajian presentasi yang variatif (Drama/Tari/Seminar/Kuis/Talkshow dll)
- Kedalaman materi minimal melebihi ekspektasi, salah satu contoh proses infeksi virus flu hingga jenis protein yang terlibat.
- Literasi digital dan nalar kritis yang berkembang pesat, ditandai dengan berbagai buku sumber dibandingkan dengan buku rujukan dan berbagai sumber internet dikaji ulang dengan buku kedokteran bahkan dengan wawancara petugas kesehatan.
- Reflektif, refleksi proyek dan pembimbingan benar-benar dimanfaatkan untuk perbaikan presentasi selanjutnya.
- Kolaboratif, melibatkan kerja sama dalam kelompok dan antar kelompok dengan tema yang sama yang berbeda kelas.
- Mandiri dan bertanggung jawab, setiap siswa memiliki tugas dikerjakan sebelum didiskusikan, lebih dari 90% siswa menjalankan tugasnya sesuai dengan kesepakatan, 10% harus melalui restitusi.
Kompetensi yang didapat
- Tanggung Jawab, dengan minat konten yang siswa pilih sendiri mendorong siswa untuk bertanggung jawab akan pilihannya. Hal ini termasuk pula dalam proses pembagian tugas dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memiliki kewajiban berkontribusi dalam menguatkan materi dalam kelompok secara keseluruhan dan memberikan dampak penguasaan seluruh anggota kelas. Ketidakpahaman anggota mengantarkan kualitas presentasi yang kurang baik yang akan direfleksikan dalam refelksi mandiri serta refleksi teman sebaya. Proses refleksi ini juga menjadi penguatan rasa tanggung jawab siswa.
- Mandiri, penyadaran seberapa jauhnya mencari informasi dan apa kontribusi diri dalam kelompok selain melatih kolaboratif juga adanya penekanan bahwa siswa harus mandiri.
- Hasil penyajian dapat mempengaruhi kompetensi yang dimliki oleh setiap anggota kelas. Dengan demikian semua siswa memiliki kontribusi dalam melakukan refleksi sebagai upaya memperbaiki kemampuan komunikasi rekan lainnya.
- Kolabolatif, dengan kedua hal diatas sudah sangat jelas bahwa tanggung jawab dan refelsi dapat muncul apabila siswa saling berkolaborasi.
- Berpikir kreatif, dengan diarahkan bahwa penyajian informasi ini perlu dikemas dan disampaikan secara bebas namum memiliki titik tolok ukur bahwa setiap anggota kelas harus memiliki persepsi yang selaras dengan penyaji. Hal ini sudah barang tentu membutuhkan kreativitas yang tinggi.
- Kompetensi literasi Digital, upaya menggali informasi yang akurat dan terpercaya adalah modal dari proses penyajian informasi yang baik. Hal ini diperlukan kompetensi yang mengiringinya, yaitu kompetensi literasi digital.
- Bernalar kritis, upaya menggali informasi dengan kompetensi literasi digital bukanlah hal mudah. Hal ini diperlukan daya nalar kritis yang tinggi. **