Oleh : Achmad Jumaydi. S.Pd,Gr
(Guru SBK di SMPN 4 Cipongkor)
Terkadang siswa tidak mampu mengungkapkan apa yang sebenarnya dialami. Hal itu karena dirinya terlalu tenggelam pada kebiasaan, yang menjauhkan dirinya dari bagaimana berpikir kritis. Masing-masing memiliki kondisi yang khas.
Latar Belakang
Sering sekali kita mendapati siswa memiliki masalah dalam belajar. Entah itu tidak mengerjakan tugas, sulit dalam berkonsentrasi, diam terpaku ketika presentasi di depan kelas. Bahkan hanya sekedar membacakan materi di bangkunya sendiripun mereka kesulitan.
Hambatan di atas menunjukan bahwa siswa tidak terbiasa dalam berpikir kritis dalam kesehariannya. Sering juga kita mendengar bahwa setiap siswa itu unik, spesifik dan autentik. Namun, pada praktiknya di sekolah, sisi manusiawi mereka mengalami degradasi. Seiring dengan intervensi kurikulum yang kurang menggali pada esensi, tentang mengapa mereka harus bersekolah.
Penulis mengambil hipotesa bahwa kondisi seperti itu disebabkan adanya trauma psikologis pada masa lalunya. Pendidikan di keluarga juga tidak kalah pentingnya, karena di sana adalah masa pembibitan kader manusia unggul.
Namun sayangnya indeks literasi kita yang rendah membuat tidak terbiasa hidup dengan ilmu. Kehidupan di keluarga terkadang kurang mengakomodasi kemampuan perkembangan psikologis anak. Tidak sedikit kita melihat orang tua yang kurang menghargai anaknya saat beragumentasi. Padahal mungkin saja mereka sedang dalam masa-masa keemasannya.
Di sisi lain, kita menganggap berdedebat dengan orang tua dianggap tidak sopan. Begitupun ketika di dalam kelas, siswa yang bertanya sering dianggap bodoh oleh lingkungannya. Problematika semacam itu akan berimplikasi pada padamnya daya nalar kritis mereka. Dalam hal ini peran Pendidikan mempunyai andil besar. Tulisan ini berupaya agar problem solving menjadi sebuah budaya yang harus dilestarikan.
Langkah Penyelesaian
Penulis yang mengampu mata pelajaran SBK mencoba mengantisipasi hambatan-hambatan di atas melalui pendekatan seni.
Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of the American Art Therapy Association dikatakan bahwa, melakukan aktivitas kreatif selama 45 menit dapat mengurangi stress. Hal ini karena adanya pengurangan kadar kortisol ketika seseorang berkegiatan seni.
Berkaitan dengan hal itu maka penulis berinisiatif membuat suatu pendekatan dalam belajar yang dapat lebih menyentuh daya nalar kritis siswa. Agar lebih eyechatching dan mudah diingat, Penulis menamakan pendekatan ini dengan sebutan RAGAMBEJA, akronim dari ‘Rasakan, Gambarkan, Bebaskan, dan Jelaskan’. Kata itu juga bisa dilihat dari dua padanan kata dari kosakata bahasa Sunda, yakni ragam dan beja.
Secara filosofis, makna di atas adalah menggali berbagai macam informasi yang keluar dari mulut siswa tentang kehidupannya, sehingga akan banyak informasi yang beraneka ragam tentang kehidupannya. Praktiknya ada empat dimensi yang akan dilalui oleh si siswa.
1. MERASAKAN.
Rasa adalah ranah spiritual yang sangat penting untuk dibangun pada diri manusia. Kepekaan manusia terhadap diri, lingkungan dan kepada Tuhannya akan terbangun ketika kita terus melatih kesensitifan dalam merasa.
Teknisnya, siswa akan disuruh untuk mereview kembali memori apapun tentang dirinya. Tentang apa yang menjadi sebuah harapan, keinginan, cita-cita, atau mungkin hal-hal yang memilukan di dalam dirinya, seperti perceraian orang tua, tindak kekerasan di dalam keluarga, kisah percintaan dan lain sebagainya.
Semua itu haruslah bersumber dari originalitas ingatan yang ada pada dirinya. Di sini kemampuan guru dalam men-stimulus siswa untuk berpikir dan merasakan kenangan. Hal itu sangatlah penting mengingat ini adalah kemampuan yang melibatkan batin. Oleh karena itu proses ini harus dilakukan seintim mungkin, sehingga chemistry siswa dengan masa lalunya mulai terbangun. Misalnya siswa dirangsang untuk mengingat kembali dirinya ketika masih digendong oleh orang tuanya, atau ketika hadiah yang paling berkesan yang diberikan orang tuanya. Mereka biasanya akan tersentuh.
Di sisi lain, jika tanpa ada dorongan yang kuat dari guru, siswa cenderung akan melalaikan tugasnya, dan substansi dari proses ini tidak akan tercapai. Proses ini juga harus ditunjang dengan persiapan teknis yang memadai.
Biasanya penulis lakukan dengan memperlihatkan tayangan-tayangan yang menyentuh sanubari dan membangkitkan kenangan masa lalu si siswa melalui media elektronik atau media cetak. Selain itu, penulis juga mengajak siswa untuk berinteraksi dengan alam dengan merasakannya melalui alat inderawinya sambil terpejam.
Proses stimulasi berpikir dan membangkitkan sensitivitas dalam merasa.
2. MENGGAMBARKAN
Ini adalah tahapan teknis dimana siswa akan memvisualisasikan memorinya pada sebuah bentuk rupa gambar. Tahap ini juga merupakan sebuah proses kemampuan teknis menggambar yang terakumulasi dari kelas VII dulu, ketika mereka belajar bentuk-bentuk dasar dalam materi Gambar Bentuk.
Pada tahap ini, siswa akan melakukan eksperimen-eksperimen bentuk dari berbagai macam media yang dieksplorasi. Mulai dari media basah seperti spidol, media kering seperti arang, hingga media eksperimen seperti dari getah pohon dan lainnya. Media-media itu sebagai pilihan yang akan memudahkan membangun korelasi antara memorinya dengan bentuk visual yang ditampilkan. Pada proses ini juga siswa akan disuruh mengeksplorasi bentuk di alam nyata sebagai referensi bentuk yang akan dituangkan dalam karyanya.
3. MEMBEBASKAN
Tahap ini adalah tahap pemutakhiran dari tahap sebelumnya. Di tahap ini siswa akan diminta melakukan ekpresi-ekspresi bentuk yang menurutnya relevan dalam mewakili apa yang menjadi konten dalam ingatan yang diangkatnya.
Pada materi ini siswa dibebaskan menjajal sebebas-bebasnya dalam menciptakan sebuah bentuk ekspresif dengan berbagai media dan teknik seperti pointilis, arsir, dusel dan teknik-teknik lainnya yang ada dalam seni lukis. Proses ini juga harus merujuk pada prinsip-prinsip seni rupa yang dipelajarinya, yakni, Unity, Balance, Rythme, Komposisi, Proporsi, Center of interest, harmoni, Gradasi, dan Kontras.
Karena ini adalah seni rupa murni, maka kreatornya akan berekpresi dan membangun sebuah estetika bentuk dari imajinasi-imajinasi yang merupakan manifestasi dari apa yang disimpannya selama ini. Hal-hal yang menjadi hambatan dalam tahap 2 akan lebih dicairkan dalam tahap ini.
Mungkin siswa akan tetap mengalami kesulitan dalam membuat bentuk terutama yang cara belajarnya dengan hanya audio, namun penekanan dalam seni rupa murni tidak terlalu mempedulikan bentuk yang perfeksionis, terkadang siswa akan menuangkannya hanya dengan coretan-coretan yang tidak karuan. Namun, selama itu merujuk pada sebuah gagasan yang bersumber dari pengalaman pribadi, maka peran seni murni sudah terpenuhi. Dari sinilah peran seni akan menjadi sebuah pendekatan alternative yang berfungsi sebagai media terapi sederhana.
4. MENJELASKAN
Ini adalah tahap puncak dari rangkaian proses pendekatan RAGAMBEJA. Di tahap ini siswa akan menjelaskan apa yang sudah dialaminya kepada teman-temannya. Akan ada banyak sekali cerita unik dan menarik yang hadir menghiasi seisi ruang kelas. Namun, pastilah kita menemukan siswa yang masih enggan dalam menceritakan isi yang dituangkan dalam karyanya. Tentunya dengan berbagai alasan yang mengganggunya, seperti makna karyanya berupa aib, malu, insecure, tidak bisa membangun narasi verbal dan lain sebagainya.
Hal tersebut tidaklah menjadi persoalan dan tidak perlu untuk dipaksakan, mengingat tujuan dari proses ini adalah membangun daya kritis. Daya kritis sudah terbangun ketika si siswa mampu menuangkan gagasan pribadinya pada sebuah karya lukis. Selama dia sudah mau melakukannya dengan penuh kejujuran maka poinnya sudah berhasil.
Pada tahap ini guru juga memberikan opsi. Penulis sendiri memberikan opsi sebagai berikut: dipresentasikan di depan kelas, dipresentasikan di depan teman-teman dekat, dipresentasikan di depan kamera saja. Atau dipresentasikan kepada dirinya sendiri.
Untuk memancing motivasi supaya si siswa mau mempresentasikan di depan kelas, maka penulis guru akan memberikan reward sederhana bagi yang mau memperesentasikan di depan kelas. Tidak hanya itu penulis juga menginstruksikan agar presentasi itu bisa di-record dan disajikan di media sosial.
Hasil
Pendekatan “Ragambeja” yang diimplementasikan pada siswa kelas IX di SMPN 4 Cipongkor ini menunjukan hasil yang memuaskan. Sebagian besar siswa begitu antusisas dalam berkarya seni, terlebih bagi mereka yang mempunyai bakat dan kegemaran di bidang ini. Walaupun sebagian besar mereka kesulitan dalam mengejawantahkan isi karyanya, namun poinnya mampu diangkap dengan jelas. Hasil karyanyapun dapat menjadi khazanah kekayaan seni di sekolah.
Metode ini memang bukanlah barang baru. Umumnya, ketika proses berkarya selesai, guru SBK akan menyuruh mempresentasikan di depan kelas. Namun, titik tekan dari pendekatan ini adalah pada merangsang otak untuk berpikir lebih kritis dalam mengungkapkan segala keresahan dalam hidupnyanya.
Penulis merasa berhasil ketika pendekatan ini mampu menyentuh dan membangkitkan motivasi siswa yang semangat belajarnya rendah. Untuk siswa yang malu mengungkapkan hasilnya, penulis berikan pilihan untuk menceritakan melalui pesan pribadi. Mereka mampu dan mau dalam mengungkapkan isi hatinya dengan bahasa sederhana dan apa adanya. Ada yang menggambarkan tentang percintaan, ada yang mengungkapkan tentang ketidakharmonisan keluarga, adapula yang menceritakan tentang keinginannya untuk segera bekerja setelah berhenti sekolah.
Penulis menganggap bahwa jika kita melihat lebih dalam dari apa yang ditampilkan siswa secara visual karyanya, maka di sana terdapat banyak sekali cerita yang tak terverbalkan. Mengesankan bahwa gambar tersebut hidup dan bercerita secara langsung. Tentu saja semua ini tidak hanya dilakukan cukup hanya sekali, kendati demikian percobaan di awal ini sudah mampu mengasilkan banyak hal baru dan memuaskan.
Semua ketercapaian itu tidak terlepas dari kesiapan guru dalam men-setting skenarionya. Tahap selanjutnya sebenarnya penulis ingin agar siswa dapat akrab dengan teknologi dan memanfatkannya yang akan memberikan value bagi kehidupannya nanti, seperti membuat video tutorial melukis dengan menggunakan teknik cor dan lain-lain. Namun sayang proses itu belum sempat terrealisasi mengingat situasinya membatasi mobilitas kita di sekolah. Walaupun demikian tidak menyurutkan langkah penulis dalam terus mengembangkan pembelajaran ini. Penulis juga tetap menaruh harapan besar terhadap cara ini sebagai alternatif mengembangkan kepribadian siswa.
Simpulan
Penulis meyakini membangun kepercayaan diri haruslah diawali dari kejujuranya terhadap diri yang diawali dengan melatih rasa. Proses ini mendorong siswa agar menjalankan fungsi-fungsi kodrati yang kadang dilupakannya, seperti berpikir dan berkebebasan.
Memang tidak ada hasil yang sempurna dalam setiap ikhtiar. Namun, langkah ini dapat menjadi alternatif dalam menggali potensi dan perkembangan psikologis siswa di usia SMP. ***
Catatan: Tulisan di atas lebih lengkap dapat disimak di Buku Kumpulan Best Practice Guru yang segera akan terbit.
PROFIL PENULIS
Achmad Jumaydi, lahir 15 Agustus 1989 di Sukabumi. Saat ini berdomisili di Cililin Bandung Barat menempuh pendidikan terakhir di UPI Bandung bidang studi Pendidikan Seni Rupa (2007). Mengikuti program SM3T (Sarjana Mendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal) di Aceh Timur (2013). Mengikuti Pendidikan Profesi Guru berasrama selama satu tahun di UNJ (2015,) Mengampu Pelajaran SBK dan Prakarya. Penulis merupakan PKS kesiswaan di SMPN 4 Cipongkor. Aktif dalam kegiatan literasi di KBB. Menjadi Duta Kepemudaan di Subud Youth Activities International (SYAI) yang diselenggarakan di Jerman (2018).
Editor: Adhyatnika Geusan Ulun