[responsivevoice voice=”Indonesian Female” buttontext=”bacakan”]Oleh: Ema Damyanti
“…biarkan mereka menggunakan smartphone dan kuota internet yang mereka miliki untuk mencari solusi dari permasalahan yang mereka temukan. Ajarkan kepada mereka bahwa mereka adalah orang-orang penting yang akan menyelamatkan negara, menyelamatkan bumi.”
Adanya wabah virus corona bagi dunia pendikan memberikan kesadaran bahwa kini teknologi memang dibutuhkan untuk menegatasi permasalahan belajar jarak jauh. Smartphone pun menjadi kebutuhan primer bagi berlangsungnya pembelajaran. Terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi saat pembelajran jarak jauh dengan berbasi internet, kita semua mengakui bahwa teknologi dan internet merupakan cara yang harus ditempuh agar pembelajaran bisa berlangsung.
Berbicara tentang pembelajaran dengan smartphone sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum terjadinya pendemi Covid-19, beberapa guru dan instansi pendidikan sudah menggunakan smartphone sebagai sarana belajar siswa. Akan tetapi, penggunaan smartphone sebagai sarana pembelajaran belum begitu mendapatkan sambutan positif, karena kurangnya pemahaman terhadap penggunaan smartphone sebagai sarana belajar. Justru yang masih kental terasa adalah bahayanya smartphone bagi anak-anak didik kita.
Pendapat tentang bahayanya smartphone bagi anak-anak didik kita memang bukan tanpa alasan. Kita tentu sudah merasakan bahwa smartphone sudah menjadi salah satu kebutuhan dasar bagi sebagian besar umat manusia. Setiap orang hampir tidak pernah lepas dari smartphone. Hasil penalitian membuktikan bahwa penggunaan samprtphone pada usia prosduktif di Indonesia menghabiskan waktu delapan jam/hari. Di tengah pendemi covid ini tentu hal tersebut justru semakin meningkat. Anak-anak kita memegang smartphone dengan games online dan lain-lain pada setiap kesempatan bahkan di sekolah yang longgar dalam aturan membawa smartphone, bisa kita jumpai saat istirahat anak-anak didik kita, mahasiswa kita, bahkan guru-guru dan Ibu rumah tangga dipastikan sedang memegang smartphone.
Bahaya smartphone bisa ditinjau dari berbagai sudut kelilmuan seperti kesehatan, pornografi, kriminalitas, psikologis, dll. Pembicaraan tentang hal tersebut bisa menjadi sebuah diskusi panjang yang sulit sekali ditemukan solusinya karena kenyataannya durasi penggunaan smartphone pada usia produktif justru semakin bertambah panjang. Kita cukupkan saja pembicraan tengang hal ini sebagai pengetahuan kita masing-masing.
Hal yang ingin disoroti pada tulisan ini adalah, bagaimana kita melakukan pembelajaran di era smartphone? Bagaimana kita manfaatkan teknologi dan internet untuk kebermanfaatan bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi semua umat manusia pada umumnya? Secara otomatis, mindset guru tentang pendidikan sepertinya harus mulai berubah. Kita harus mulai berani “melupakan” bahwa belajar itu guru berbicara di depan kelas, memberikan penjelasan, dan siswa mengerjakan tugas yang sudah tertera di buku-buku baik secara kelompok atau pun individu. Kemudian guru menilai hasil kerja siswa. Kenapa penulis berani mengatakan harus “melupakan”. Anak-anak didik kita sekarang sudah lahir di era digital. Yang kita hadapi adalah generasi yang lebih banyak menatap layar smartphone daripada mendengarkan guru bercuap-cuap. Konsentrasi mereka sudah “dicuri” secara alamiah oleh robot-robot pintar yang berada di dalam genggaman mereka.
Jika pembelajaran masih dengan pola lama, guru akan mengalami “kejengkelan” yang tidak akan berkesudahan karena sedikitnya perhatian siswa dengan pembelajaran yang disajikan. Lihat saja pembelajaran jarak jauh dengan berbantuan teknologi saja, orang tua yang berperan menjadi guru, mengirimkan banyak keluhan di media sosial tentang “sulitnya” mengendalikan anak-anak generasi digital itu untuk duduk diam memegang buku dan pensil lalu mengerjakan tugas. Kita harus mulai “move on” untuk tidak memaksakan pembelajaran dengan cara itu. Di tengah segala kekhawatiran kita sebagai guru dan orang tua tentang bahaya smartphone, mari kita terus memikirkan cara yang tepat agar anak-anak kita tetap belajar dan mencintai ilmu pengetahuan.
Mari kita mengalah dengan kenangan masa lalu kita tentang gaya belajar pola lama. Mari kita buat perubahan revolusioner untuk anak-anak didik kita. Kita ubah ruang-ruang kelas dari aturan kaku, bawa anak-anak kita ke luar kelas, bawa ke pasar, bawa ke tempat pembuangan sampah, bawa ke tempat orang-orang bertani, bawa ke tempat-tempat majlis talim, bawa ke pabrik-pabrik. Biarkan mereka mengabadikan setiap tempat yang mereka kunjungi dengan smartphone. Tapi ingat, beri mereka pertanyaan pemantik tentang permasalahan nyata di sekeliling mereka atau arahkan mereka menemukan apa hal yang menganjal dari segala yang mereka lihat, dengar, dan saksikan, dan biarkan mereka menggunakan smartphone dan kuota internet yang mereka miliki untuk mencari solusi dari permasalahan yang mereka temukan. Ajarkan kepada mereka bahwa mereka adalah orang-orang penting yang akan menyelamatkan negara, menyelamatkan bumi. Atau mereka seperti di dunia games merupakan penumpas kejahatan dengan cara menyelesaikan permasalahan nyata yang mereka lihat, dengar, dan saksikan.
Ajarkan mereka memakai fasilitas smartphone untuk saling terhubung dengan teman-temannya dalam rangka membicarakan permasalahan yang mereka temukan. Lain waktu berceritalah Anda sebagai guru tentang hal menarik yang pernah ditemukan dan berikan mereka waktu untuk merenungkan, membicarakan apa yang mereka temukan dari cerita yang Anda sampaikan. Lain waktu ajaklah mereka menonton film yang ada kaitannya denga materi yang diajarkan dan ajak mereka melihat berbagai ulasan film yang sudah dibuat dan mintalah pendapat mereka tentang hal itu. Sebenarnya materi pembelajaran dibuat kan bukan hanya sekedar agar bisa dihapal dan dimengerti. Materi pemebelajaran disusun agar siswa memilki wawasan tentang segala hal yang akan ada manfaatnya dalam kehidupan mereka kelak.
Pembelajaran karakter bukan hanya hal abstrak yang menjadi hapalan dan slogan yang terus didengung-dengungkan anak didik. Pendidikan karakter adalah pembiasaan berulang-ulang yang kita bentuk pada anak didik. Mari kita ajarkan mereka untuk membuang sampah pada tempatnya, mari kita pikirkan cara agar pembiasaan itu melekat pada diri mereka. Misal dengan operasi semut tiap pagi. Mari ajarkan anak-anak disiplin waktu dengan terlebih dahulu guru-guru berdiri menyambut siswa setiap pagi. Mari ajarkan mereka sabar mengantri dengan pembiasaan masuk kelas satu persatu atau berwudu di mushola dan tidak boleh ada yang mendahului. Tidak mengapa menyuruh anak-anak mengupload pembiasan harian yang dilakukan di sekolah, buat vlog, dan lain-lain, tentang aturan sekolah dengan cara yang ditentukan oleh guru. Jika tidak ingin membiarkan anak-anak kita memegang smartphone setiap saat, mari kita ajak mereka mengatur waktu menggunakannya daripada dengan menyitanya. Beri waktu mereka kapan bisa menggunakannya dan untuk apa menggunakannya. Beritahu mereka apa yang tidak boleh dilakukan dengan smartphone mereka pada jam pelajaran dengan konsekuensinya.
Ah, semua tulisan di atas hanyalah sebuah imajinasi penulis dengan sedikit rasa panas di dada memikirkan bagaimana seharusnya membuat anak-anak didik yang sudah tercuri perhatiannya oleh smartphone agar mau belajar. Tentu saja bukan hal ideal dan masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, pada kesempatan ini penulis ingin memantik siapa saja yang peduli dengan pendidikan untuk memikirkan bagaimana cara terbaik mendidik siswa di era smartphone. Mari kita memikirkan cara terbaik agar mereka mau belajar daripada kita sekedar memperdebatkan pola penulisan RPP atau cara penulisan Penguatan Pendidikan Karakter di RPP. Anggap saja hal tersebut persoalan “khilafiah” seperti halnya salat subuh memakai qunut dan tidak. Kita simpan debat tentang hal itu, cukup saling menghargai saja. Kita lanjutkan diskusi tentang bagaimana cara mendidik mereka agar menjadi generasi harapan bangsa yang bermanfaat dan bermartabat di tengah perubahan teknologi yang terus melesat.
Profil Penulis:
Ema Damayanti lahir di Bandung, 29 April 1980. Sedang menyelesaikan studi di Magister Pendidikan bahasa Indonesia IKIP Siliwangi Bandung. Pengajar di SMP Negeri 2 Cililin sejak tahun 2009 hingga sekarang dan Jurnalis Newsroom. Pendidikan yaitu SD Banyuresmi Rongga, SMP Negeri Gununghalu, SMU Negeri 1 Cimahi, dan S1 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Penulis saat ini tinggal di Warung Awi, Cililin bersama suami dan seorang anak. Pengalaman menulis didapat pertama kali saat mengikuti pelatihan menulis yang diadakan Penerbit MediaGuru tahun 2017. Pernah menulis buku memoar yang berjudul Embun di Atas Daun Teh. Buku Antologi Esay Huruf-huruf Menari Memapah Sastra. Antologi Cerpen, Tersenyumlah Tangisku dan Antologi Puisi, Nyanyian Rindu
[/responsivevoice]
Mantap! Keren!