Senandung Gunung Lumbung
Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun
ISBN: 978-623-99576-6-7
Editor:
Dhysa Humaida Zakia
Desain sampul:
Tim Editor
Tata letak:
Ruslan Abdulgani Lubis
Penerbit:
Mandatrama Grafika
Jl. Bojong Koneng Atas No 57, Bandung
email: ruslanbuku74@gmail.com
Website: https://mandatramagrafika.com/
Putri Penakluk Hati
________________
“Aku hanyalah wanita yang diciptakan untuk mendampingi ksatria. Baik buruknya pendampingku, itulah cermin diriku.”
***
Wangsanata telah beranjak dewasa. Ilmu agama dan kanuragannya hampir sempurna. Adipati Ukur Agung semakin menyanyanginya. Adipati berkehendak menyandingkannya dengan putri semata wayang, Nyi Gedeng Ukur.
Di benak Adipati Ukur Agung, kelak yang akan mewarisi kadipaten Tatar Ukur adalah Wangsanata setelah menikahi putrinya. Cita-citanya untuk memisahkan diri dari cengkeraman Mataram diharapkan terwujud lewat tangan calon menantunya tersebut.
Dengan menguasai seluruh tatar Ukur yang terdiri dari sembilan wilayah, yaitu Batulayang, Saunggatang, Taraju, Kahuripan, Medangsasigar, Malangbong, Mananggel, Sagaraherang dan Ukur, diyakini oleh Adipati, Wangsanata akan mampu menggeser kekuasaan Mataram di Parahyangan. Belum lagi ada Umbul, kepala daerah yang menguasai 10.000 tentara Tatar Ukur, akan menjadi kekuatan besar jika dipimpin oleh Wangsanata.
***
“Raden, bersyukurlah kepada Allah. Hari ini, Ayahanda akan memberitakan kabar gembira bagimu,” sabda Adipati Ukur Agung kepada Wangsanata di Balairung Keraton. Di hadapannya, selain Wangsanata, hadir juga para Wedana dan Umbul dari daerah bawahan.
Wangsanata tertunduk diam seribu Bahasa. Tidak berani dia menatap ayah angkat yang dimuliakannya. Baginya, Adipati Ukur Agung, bukan sekedar ayah angkat, namun juga guru dari segala gurunya.
“Ketahuilah anakku, umur mu sudah cukup dewasa. Ilmu agama mu cukup mumpuni. Begitupun dengan kanuragan yang Nanda miliki,” lanjut Adipati. “…kamu dipandang cakap memimpin sebuah lembaga.”
Semua petinggi yang hadir terdiam. Mereka masing-masing menebak arah sabda Adipati. Kebanyakan, mereka menerka arah sabda Adipati dengan memberikan kekuasaan politik kepada Wangsanata. Tatapan pun mengarah kepada pemuda tampan itu. Wangsanata tetap menunduk.
“Lembaga yang aku maksud adalah keluarga. Aku umumkan kepada kalian, para umbul dan senapati yang hadir di sini. Hari ini aku akan menjadikan Raden Wangsanata menjadi calon menantuku,” tandas Adipati.
“Cita-citaku untuk …untuk menjadikan daerah kita menjadi subur makmur dan berada dalam lindungan Allah, kuserahkan kepada anakku Wangsanata,” lanjutnya. Hampir saja keinginan untuk memisahkan diri dari Mataram terucap. Untung saja Adipati dapat menahannya.
Dengan keluhungan ilmunya, Adipati dapat menerka di antara petinggi bawahan terdapat orang titipan Mataram, yang sewaktu-waktu dapat melaporkannya kepada Sultan Agung. Penguasa Mataram itu sangat tidak suka kepada lawan politiknya. Tidak sedikit para bupati yang dieksekusi mati karena melawannya.
Para Umbul riuh mengamini sabda Adipati. Mereka bersyukur atas pilihan junjungannya. Tidak satupun menyanggahnya.
“Ampun Kanjeng Adipati. Sabda baginda sangat melegakan hati hamba. Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Mataram tentu merestuinya,” ucap Umbul Sukapura seraya menyembah.
“Sendika Kanjeng Adipati…” sambung Umbul Limbangan. “Kebijakan Kanjeng sangat tepat. Adinda Wangsanata sangat layak menjadi penerus kejayaan Tatar Ukur.”
Suka cita hati Adipati Ukur Agung mendengar tanggapan para petinggi Tatar Ukur. Wajahnya sumringah. Matanya bersinar bahagia. Ditatapnya Wangsanata yang masih terdiam menunduk.
“Nah. Bagaimana menurutmu anakku?” tanya Adipati Ukur Agung sambil menatap peunuh kasih ke arah Wangsanata yang masih diam dalam tunduknya yang dalam.
“Ampun beribu ampun Ayahanda. Titah paduka sangat membahagiakan hati hamba. Namun…” ragu-ragu Wangsanata meneruskan kata-katanya. Di dalam hatinya dia memiliki cita-cita untuk membebaskan Jembung Luhur dari Mataram, namun tidak kuasa menolak titah ayah angkatnya. Lagi pula aku belum mengenal Nyi Gedeng Ukur, hatinya bergumam.
Ya, meskipun Wangsanata dan Nyi Gedeng Ukur berada dalam asuhan Adipati Ukur Agung, namun keduanya tidak pernah saling bertemu. Maklum, sang Putri selalu ada di Keputren, sedangkan Wangsanata berada di Peguron Rangga Gede.
“Namun apa anakku?” tak sabar Adipati menanti jawaban Wangsanata.
“Mohon ampun Ayahanda. Apakah hamba layak dijadikan menantu? Sementara hamba hanyalah seorang yang belum memiliki harta yang cukup untuk membahagiakan calon istri hamba. Terlebih, mohon ampun, hamba sampai saat ini belum bisa membalas kebaikan budi paduka yang mulia…” turur Wangsanata.
“Hahahaaah…, sudah kuduga. Kamu memang seorang yang berbudi pekerti luhur. Tidak salah aku memilih mu menjadi calon menantu,” sambut Adipati bahagia. “Ananda tidak boleh berkata tentang hutang budi. Karena dengan menerima permintaanku saja, semuanya akan lunas,” sambung Adipati.
***
Adalah Nyi Gedeng Ukur beserta dayang-dayang sedang bersenda gurau di Keputren. Kebiasaan ini dilakukan setelah Nyi Gedeng Ukur selesai mandi dan sarapan. Sebagian dari dayang sudah mendengar kabar sabda Adipati Ukur Agung.
“Dududuh…yang mau nikahaaaan, hehehe…,” canda dayang Surti. Tangannya mencolek gemas ke tangan Nyi Gedeng Ukur.
“Apaan sih, si bibi? Siapa lagi yang mau nikahan…,” Nyi Gedeng Ukur merenggut manja. Sang Putri memang sudah mendengar selentingan tentang perjodohannya dengan Wangsanata. namun dia belum pernah ketemu sama sekali.
“Alaaah….pura-pura nggak tahu kan? Hihihi,” sahut para dayang kompak. Semua tertawa. Sang Putri hanya tertunduk malu. Pipinya memerah dadu. Bibir mungilnya senyum dikulum. Matanya menyipit. Pikirannya melayang, seperti apakah pemuda yang akan menjadi pilihan ayahandanya. Di dalam benaknya tertanam sabda ayahandanya yang selalu menasihati agar selalu mengabdi pada pendamping hidup. Itulah yang menjadi panduannya, sehingga sang putri memiliki prinsip –Aku hanyalah wanita yang diciptakan untuk mendampingi ksatria. Baik buruknya pendampingku, itulah cermin diriku.
***
Dari kejauhan, di balik gerbang Keputren, tertangkap sosok bayangan yang berjalan tergesa-gesa. Nyi Gedeng Ukur dan para dayang terdiam sejenak. Bi Cucu, dayang paling tua, segera menuju gerbang. Dibukanya gerbang tergesa-gesa.
“Siapa di luar?!” teriaknya lantang. “Akan ku panggilkan punggawa jika tak menjawab!”
Pemuda itu berhenti. Tidak berani dia menoleh ke belakang. Kepalanya tertunduk malu. Tubuhya gemetar.
“Pangeran…?” giliran Bi Cucu gemetar. Sosok itu sangat dikenalnya. Dia adalah Wangsanata.
“Iya Bi….maafkan aku…” jawab Wangsanata. “…aku tidak sengaja mendengar obrolan kalian…” katanya sambil tetap tidak menoleh. Hatinya berdegup kencang. Ternyata calon pengantin yang diintipnya tadi adalah seorang yang cantik jelita.
***
“Siapa bi?” tanya Nyi Gedeng Ukur di balik gerbang. Bi Cucu menoleh kepada Wangsanata. Diberinya isyarat dengan telunjuk ke bibirnya. Bi Cucu diam kebingungan.
“Anu Nden ….anu,” jawab Bi Cucu terbata-bata.
“Anu apa? Siapa tadi?” kembali Ny Gedeng Ukur bertanya. Dikeluarkannya kepala ke arah luar Keputren.
Kedua pandangan beradu. Gemetar seluruh tubuh dua insan. Wangsanata langsung menunduk, diikuti Nyi Gedeng Ukur. Hati mereka berdebur layaknya ombak laut selatan yang dahsyat. Seketika semua terdiam tanpa bahasa. Nyi Gedeng Ukur telah menaklukan hati Wangsanata. ***