Oleh: DIAN Savitri, S.Pd.
(Guru Bahasa Inggris SMPN 5 Cipongkor)
Hampir dua tahun program Tantangan Membaca Bandung Barat (TMBB) berjalan. Persoalan minat baca di Indonesia selalu menjadi sorotan utama, terutama minat baca anak. Studi yang dilaksanakan oleh Central Connecticut State University bertajuk ‘Most Literated Nation in The World’ menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Miris bukan? Indonesia menduduki peringkat satu dari bawah. Salah satu dampak negatif yang kini menjadi masalah besar adalah merajalelanya hoax atau berita bohong. Penyebaran informasi yang salah bahkan dilakukan anak-anak remaja melalui media sosial seperti Facebook dan Whatsapp.
Kemudian, apa yang harus dibaca anak-anak? Jawabannya adalah semua hal, bisa dari surat kabar, majalah dan buku. Sementara di sekolah bisa dimulai dari membaca buku-buku di perpustakaan. Dari begitu banyak buku bacaan yang tersedia di perpustakaan,ada satu hal yang cukup mengusik pemikiran penulis, yakni isi buku. Ternyata ungkapan don’t judge the book by its cover benar-benar berlaku. Dilihat dari judul dan gambar sampul buku, memang terlihat ramah anak. Namun ketika dibaca lebih jauh, ditemukan cerita mengenai perceraian, anak yang ditinggal orang tua, hingga anak yang harus mengalami kaki buntung.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan isi cerita seperti itu. Hanya saja jalan ceritanya terlalu dramatis, mirip cerita sinetron di televisi. Bukankah lebih baik jika cerita untuk anak setingkat SMP dibuat sederhana, namun penuh makna? Jangan sampai anak tidak menangkap amanat yang tersirat di dalam cerita, sebaliknya meniru perlakuan yang tertulis di cerita. Bagi penulis, cerita seperti itu agak mengerikan. Bagaimana jika akhirnya buku-buku semacam itu juga beredar di perpustakaan sekolah dasar? Lebih disayangkan lagi karena peredaran buku tersebut adalah produk yang tertera di dalam daftar bantuan pemerintah. Padahal guru di sekolah pun belum tentu membaca semua buku yang dikirim tersebut.
Daripada memakai buku yang sudah tersedia, lebih menarik jika anak-anak diberdayakan menulis cerita. Tidak perlu membuat satu buku utuh. Misalnya, mengajak siswa untuk menulis cerita pendek maupun dongeng (bisa berupa legenda, mitos dan fabel). Kemudian mengumpulkan tulisan mereka menjadi satu buku. Nah, karya inilah yang nantinya diletakkan di perpustakaan sekolah-sekolah. Bagaimana dengan penerbitannya? Sebab penerbitan buku juga memakan biaya yang tidak sedikit. Untuk hal ini diperlukan kerjasama dari pemerintah dan sekolah. Sehingga yang ada adalah buku dari anak, oleh anak dan untuk anak.
Hal tersebut penulis anggap sangat menarik jika dilaksanakan, karena di samping guru dapat mengawasi isi cerita, sisi kreatif, kemampuan menulis anak pun akan lebih terasah. Pengalaman penulis, cukup banyak anak yang kebingungan membuat karangan. Meskipun itu hanya melanjutkan sebuah paragraf, mereka terlihat sulit membuat kelanjutan cerita itu. Padahal tidak ada istilah salah dan benar dalam berimajinasi. Oleh karenanya, kegiatan tersebut dapat dijadikan alat pengasah kreativitas anak, khususnya dalam menulis.**
(Editor Newsroom: Adhyatnika GU)
Biodata Penulis
Dian Savitri, lahir 28 tahun yang lalu di Kudus dan sekarang tinggal di Bandung Barat.
Sejak 2017 ditugaskan sebagai Guru Bahasa Inggris di SMPN 5 Cipongkor Bandung Barat. Pernah berkelana ke Ende, Nusa Tenggara Timur sebagai guru Bahasa Inggris (juga) di SMKN 6 Ende. Peran reporter kampus pun pernah dilakoni ketika masih berstatus mahasiswa, dan beberapa kali mengirim liputan kegiatan ke Harian Kompas. Penerjemah (freelance) sejak 2015 sampai sekarang.
IG: @deeansavitri.