Oleh : Dra. Nani Sulyani, M.Ds
Kepala SMPN 3 Saguling
Wisata ke Jogja? Ah, paling juga ke Malioboro dan Candi Borobudur. Begitu komentar saya di dalam hati ketika Pengurus MKKS Sub Rayon 02 merencanakan acara refreshing yang dikemas dalam rangkaian kegiatan Paturay Tineung tiga kepala sekolah yang purnabakti. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari satu malam 18-20 Oktober 2018 ini dikondisikan menjadi kegiatan indoor dan outdoor. Acara formal/ceremonial diselenggarakan di Ballroom Grage Ramayana Hotel, sementara acara outdoor dilaksanakan dengan mengunjungi beberapa objek wisata seputar kota Jogjakarta.
Mengendarai KA LODAYA malam, rombongan kami yang berjumlah sekira lima puluh orang, hampir memenuhi satu gerbong kereta. Tiba di stasiun pukul 03.15 WIB, bus wisata sudah menunggu di parkiran sudut jalan. Setelah transit di Hotel Matahari untuk rehat, mandi, dan sarapan pagi, tepat pukul 07.00, kami melanjutkan perjalanan menuju Bukit Manoreh.
“Bapak dan ibu, kita menuju ke Bukit Menoreh. Siapkan mental ya, kita uji nyali. Pokoknya jalannya nanjak terus. Nanti kita ganti mobil pake jeep,” ucap Mbak Della, salah seorang tour leader kami dari Syahira Tour and Travel. Kedua tour leader kami wanita, bagi saya pribadi sangat menginspiratif, mungkin kapan-kapan bisa diundang menjadi narasumber untuk kegiatan career day.
Weiis pake jeep nih? Mata saya membeliak, mendadak terjaga. Mengedarkan pandangan mata ke sekeliling, kami adalah rombongan KS yang mayoritas Jelita (jelang lima puluh tahun) dan Lolita (lolos lima puluh tahun), bahkan enam puluh tahun. Mendengar bahwa kita akan mengendarai mobil jeep, berbagai komentar pun bermunculan. Entah, menurut saya sepertinya sebagian besar penumpang memiliki perasaan yang hampir sama: H2C, alias harap-harap cemas membayangkan duduk di kursi jeep offroad.
Benar saja, tiba di dusun Soropati, mobil jeep dengan tutup bagian atasnya terbuka, sudah nangkring di base camp. Empat penumpang di jok belakang dan satu orang di samping driver. Delapan mobil jeep siap meluncur menuju lokasi.
“Dipake maskernya, Bu. Pegangan ya, hati-hati, soalnya jalannya nanjak terus,” driver kami membuka percakapan.
Begitulah, namanya juga bukit, kami melewati jalan yang menanjak seperti dalam lagu anak-anak:’ Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Kiri-kanan kulihat saja, banyak pohon…’ Ups, bukan, di sini tak ada pohon cemara, tetapi barisan pepohon kayu kolonjono, kayu bersiak dan pohon kelapa yang dibudidayakan masyarakat di antara alang-alang. Semua pohon tampak meranggas, kekeringan karena musim kemarau.
Delapan jeep yang berkonvoy cukup menimbulkan suara menderu-deru. Debu halus beterbangan di udara diseret ban mobil kami. Penumpang terlonjak-lonjak mengikuti naik turunnya jalan. Bagi warga Bandung Barat, udara Yogjakarta memang terasa cukup menyengat.
“Nanti kalo ibu ke sini lagi, enaknya musim hujan. Di sini indah sekali, tidak ada debu, hawanya juga sejuk, tidak panas begini,“ sang driver menjelaskan alasan mengapa kami dibekali masker.
Menurut saya, meskipun tanjakannya cukup menantang dan hanya dapat dilewati oleh satu kendaraaan saja, namun jalan menuju bukit Manoreh sudah rapi dan disemen. Penumpang hanya diminta berpegangan pada besi di mobil jeep, namun tetap disilakan duduk menikmati pemandangan. Deg-degan? Tentu. Bagaimana pun, beberapa kali kami harus menahan napas ketika driver mengubah tuas gigi roda. Ditambah, kami adalah sekumpulan puan jelita syantiik yang siap ber-histeria, memekakkan telinga driver.
Kurang lebih tiga puluh menit, kami tiba di lokasi. Objek wisatanya bernama Pule Payung, terletak di Dusun Soropati – Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. Berada di ketinggian sekitar 500 mdpl, objek wisata Pule Payung resmi dibuka mulai Maret 2017 lalu. Nama Pule Payung berasal dari nama sebuah pohon yang menjadi ikon tempat wisata ini, yaitu pohon pule/pulai/kayu gabus/lame/lamo/jelutung (alstonia scholaris) yang cabangnya melebar ke samping seperti payung, dan tumbuh di lokasi ini. Berdasarkan informasi di media, bagian daun dan kulit kayu pohon pule yang dikeringkan dapat menjadi obat untuk penyakit malaria dan radang tenggorokan.
Terbayar sudah rasa lelah kami, ketika disuguhi indahnya panorama di sekitar Pule Payung. Angin berhembus lembut menyentuh kulit, serta udara bersih dan sejuk memenuhi rongga dada. Pepohonan besar nan rindang berdiri kokoh memayungi kami yang duduk beristirahat di bangku taman. Dari puncak bukit, pandangan mata tertuju pada Waduk Sermo yang mempesona, menghampar di kaki bukit. Berpadu dengan alam yang hijau, serta gugusan bukit Menoreh, tempat wisata ini tampak begitu menakjubkan. Bisikan syukur atas kebesaran Illahi tak henti terucap dari bibir kami. Kami seolah bukan sedang berada di sisi kota Gudeg, namun berada di angkasa.
Selain pemandangan indah, yang dihasilkan dari perpaduan antara bukit hijau, Waduk Sermo dan langit biru, Pule Payung kaya dengan spot foto yang menggoda. Jika pernah berwisata ke The Lodge, Maribaya-Lembang, beberapa wahana/objek menarik untuk swafoto terdapat pula di sini. Bedanya, terdapat pada backdrop-nya. Jika di The Lodge adalah pohon pinus, maka di sini adalah hamparan Waduk Sermo.
Beberapa wahana tersebut, di antaranya spot angkasa, lollypop, wolu, sky bike, sky swing, kursi langit dan flying fox. Sepeda angkasa (Zip Bike), adalah wahana berfoto berupa sepeda dalam track tali yang tergantung. Pengunjung seolah sedang bersepeda di angkasa. Wahana ini dilengkapi dengan tali pengaman yang optimal, sehingga aman dinaiki. Terdapat juga ayunan angkasa (Sky Wing), pengunjung seolah sedang bermain ayunan di angkasa. Menurut petugas/crew Pule Payung, spot foto ayunan merupakan favorit wisatawan.
Puas berfoto di Pule Payung, tour leader meminta kami kembali ke dalam mobil jeep untuk melanjutkan perjalanan menuju Waduk Sermo. Kembali menaiki jeep, tentunya kami harus siap menghadapi medan offroad. Menuju arah waduk, jalanan menurun dan agak memutar, sekaligus sebagai rute arah kembali ke base camp.
“Karena Kemarau, waduknya kering. Maaf, Bu, pegangan yang kuat, lokasinya nanjak-mudun,” driver kami kembali mengingatkan.
Tak berapa lama, sorak sorai pun meluncur dari bibir kami ketika jeep berhasil melewati beberapa gundukan tanah kering dan pasir. Terkadang ada keraguan, bagaimana jika mobil terhenti di tengah tanjakan, aduh. Namun, sang driver nampaknya cukup piawai memutar stir ke kiri dan kanan, sehingga yang tersisa adalah keseruan yang spontan dilontarkan. Jalanan menuju rute pulang, tentu sebaliknya. Sebelumnya, nanjak tak henti, sekarang menapaki turunan yang curam.
Akhirnya kami tiba di Waduk Sermo. Waduk Sermo Kulonprogo adalah bendungan irigasi yang membendung kali Ngrancah, diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 November 1996. Sebagai sumber air bersih untuk PDAM dan untuk air irigasi persawahan daerah Wates dan sekitarnya, Waduk Sermo diklaim merupakan bendungan terbaik di Indonesia karena kualitas air yang dihasilkannya memiliki sedimentasi yang sangat sedikit berkat kondisi hutan di sekelilingnya yang terawat.
Berfoto di antara antara mobil jeep yang gagah perkasa, dengan latar belakang Waduk Sermo dan dalam suasana penuh kegembiraan, menjadi puncak petualangan kami di hari pertama. Abaikan bahwa kami adalah Lolita dan jelita, karena yang penting, kami telah berhasil menaklukan tantangan alam Bukit Menoreh. Cekrekk! Hasil foto kami layaknya episode di sebuah stasiun televisi, My Trip, My Adventure.
Kami kembali ke base camp, menumpang bus wisata untuk melanjutkan perjalanan menuju jantung kota budaya, di tengah kawasan Malioboro. Sekitar pukul 15.30, kami sudah berada di Grage Ramayana Hotel untuk persiapan acara ceremonial Paturay Tineung KS purnabakti.