Prof. Dinn Wahyudin, MA
(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)
Musamus merupakan ikon bagi Masyarakat Merauke. Musamus itu unik. Sebuah kata yang menunjukkan ciri khas masyarakat Merauke, karena musamus tak banyak ditemukan di berbagai penjuru Dunia ini.
Musamus atau sarang semut sejatinya bukanlah sarang yang dibuat koloni semut. Musamus ini merupakan sarang yang dibuat oleh sejenis serangga atau rayap yang dikenal dengan istilah ilmiahnya Macrotermes sp. Musamus bisa berukuran sangat besar, bahkan mencapai ribuan kali serangga pembuatnya. Musamus bisa mencapai tinggi 5 meter dengan diameter lebih dari 2 meter. Strukturnya berbentuk kerucut dan dibangun oleh koloni rayap dari rumput kering dan lumpur serta liur rayap sebagai bahan perekatnya.
Musamus bisa terus tumbuh dengan pembentukannya mencapai 5 meter. Mengapa musamus unik? Karena rumah semut ini hanya ada di tiga Lokasi di Dunia. Pertama, rumah semut ini ada di kawasan wilayah Merauke Provinsi Papua Selatan. Rumah semut sejenis ini juga terdapat di padang savana wilayah Papua Nugini, savana bagian Australia Utara, dan savana Afrika Barat.
Seperti ditulis Indonesia Kaya (2023), rayap jenis ini terkenal mandiri dan mampu membangun rumah mereka sendiri tanpa bermaksud merusak pemukiman manusia. Dengan anatomi tubuh yang kecil namun berkat cara hidup berkoloni, rayap-rayap tersebut mampu membuat rumah yang kokoh, khas, dan kuat untuk bertahan di berbagai cuaca ekstrem sekalipun.
Musamus terbentuk dari bahan dasar rumput kering, tanah, dan air liur rayap pembuatnya. Dengan bentuk yang menjulang tinggi ke atas permukaan tanah, tekstur permukaan sarang ini berlekuk-lekuk dan berwarna coklat kemerahan seperti warna tanah tempatnya berada. Rongga atau lorong yang berada di bagian dalamnya berfungsi sebagai tempat tinggal rayap sekaligus ventilasi yang menjaga kestabilan suhu agar tetap hangat. Keberadaan Lorong tersebut yang diyakini membuat musamus terlindung dari perubahan suhu yang ekstrim, bahkan kebakaran hutan sekali pun.
Begitu istimewanya kata ‘musamus’, satu satunya universitas negeri kebanggaan warga Papua Selatan melabelkan musamus sebagai nama universitas. Itulah Universitas Musamus Merauke. Universitas ini merupakan Perguruan Tinggi Negeri di Kota Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang berdiri pada tanggal 22 November 2010. Universitas ini merupakan peralihan status dari Sekolah Tinggi Teknik Merauke menjadi Universitas Musamus Merauke. Nama musamus melekat sebagai nama universitas, dengan tagline moto universitas “Jangan tanya kerjaku, tetapi lihatlah hasil karyaku”. Itulah makna filosofis musamus yang diadopsi dari koloni rayap yang banyak terdapat di kawasan Merauke untuk berjuang tanpa lelah, bekerjasama, berkolaborasi dan terus menerus membangun rumahnya yang menjulang tinggi.
Gotong royong
Bagi Masyarakat Merauke, musamus adalah ikon. Kehidupan rayap dengan musamus yang dibangunnya menjadi inspirasi warga setempat. Menjelang Pilkada 2024 pada tanggal 24 November 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Merauke membuat maskot berbentuk Rayap Musamus. Maskot rayap semut ini diberi nama Supamer singkatan dari kata SUkseskan PilkadA MERauke. Maskot Supamer ini tampil dengan gaya khas suku setempat di Merauke, yaitu suku Marind yang mengenakan hiasan kepala dari bulu kasuari dan manik-manik. Alasan KPU memilih rayap musamus menjadi maskot kebanggaan dalam Pilkada 2024 ini, juga terispirasi oleh cara kerja rayap dalam membangun rumah koloni musamus. Supamer ingin seperti semangat musamus, yang memiliki cara kerja yang sifatnya bersama-sama, gotong royong atau sabilulungan tanpa merusak di sekitar.
Semangat ini pula yang melandasi semangat kerja pemerintah daerah dan masyarakat Merauke Papua Barat. Melalui moto Izakod Bekai Izakod Kai (satu tujuan satu hati satu tujuan). Hal ini memberi makna bahwa pemerintah daerah dan masyarakat Merauke secara kolektif berkomitmen untuk menyatukan hati, guna mencapai satu tujuan yaitu cita cita meraih kemakmuran bersama. Kesejahteraan lahir bathin bagi seluruh warga. Kabupaten Merauke merupakan salah satu kabupaten dan juga ibukota Provinsi Papua Selatan. Kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten terluas sekaligus paling timur di Indonesia. Jumlah penduduk Kabupaten Merauke berjumlah 243.722 jiwa pada 2023. Kabupaten Merauke ini berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini.
Provinsi Papua Selatan terdiri dari 4 kabupaten, 74 distrik, 13 kelurahan, dan 674 kampung. Pada tahun 2020, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 513.617 jiwa dengan total luas wilayah 127.280,69 km. Bandingkan denga luas Provinsi Jawa Barat dengan luas 35.377,75 km dengan 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jumlah populasi penduduk (2023) mencapai 49.572.395 jiwa. (BPS, 2023).
Etnis suku Kanum
Salah satu suku yang mendiami wilayah Merauke adalah Orang Asli Papua (OAP) masyarakat lokal yaitu suku Kanum atau Kanume. Kelompok etnis ini mendiami kawasan Taman Nasional Wasur, sebuah Kawasan hutan nasional yang sangat luas dan terletak di dataran rendah dengan topiografi rawa rawa, hutan, dan padang luas savana. Suku Kanum ini bermukim di perkampungan hutan atau di tepian rawa rawa yang membentang luas di wilayah Kabupaten Merauke sampai perbatasan dengan Papua Nugini. Suku Kanum diyakini sebagai bagian dari sub suku Marind, namun mereka memiliki bahasa daerah (mother tongue) atau bahas ibu tersendiri, yaitu Bahasa Kanum. Dalam kekeluargaan masyarakat Kanum terdapat beberapa marga antara lain Ndimare, Sanggra, mayuwa, Gelambu. Mereka umumnya tinggal di Kawasan Taman Nasional Wasur. Dalam kehidupan sehari hari, mereka mendiami kampung kecil samping rawa atau di hutan pinggiran Taman Nasional Wasur.
Seperti dituturkan Ketua Adat Kampung Yanggandur Rawa Biru, bapak Herman B Mbanggu, untuk mencukupi kehidupan sehari hari, suku Kanum umumnya bermata pencaharian berburu hewan liar, yang banyak hidup di kawasan hutan antara lain babi hutan, rusa, dan satwa sejenis kanguru atau walabi. Anak laki-laki remaja dibawa orangtuanya ke hutan, bagaimana cara berburu hewan liar. Ketika ayahnya mengintip hewan liar, anak laki lakinya mengikuti dari belakang. Mereka mengendap ngendap, dan ketika bertemu dengan hewan liar, dengan cekatan ujung panah melesat mencapai target sasaran. Dalam beberapa menit ujung panah atau tombak menempel di badan babi hutan atau rusa, sampai akhirnya binatang buruan tersebut tersungkur lunglai kehabisan darah.
Untuk memenuhi makan pokok keluarga, seperti dituturkan Ketua Adat Kampung Yanggandur Rawa Biru, bapak Herman B Mbanggu, Masyarakat suku Kanum Ketua Adat Kampung Yanggandur Rawa Biru, bapak Herman B Mbanggu mengambil tanaman yang tumbuh subur dari alam seperti sagu dan ubi ubian. Mereka sudah mencoba membudidayakan tanaman sagu dan umbi-umbian seperti gembili. Jenis tanaman tersebut masih dikategorikan sebagai makanan pokok. Di beberapa kampung, masyarakat adat suku Kanum sudah mulai membudidayakan ubi kayu dan menanam pohon pisang.
Sekolah
Ada sejumlah Sekolah Dasar di wilayah distrik Rawa Biru Kabupaten Merauke yang dihuni oleh warga lokal suku Kanum. Salah satu sekolah dasar yaitu SD YPPK St Fransiskus Yanggandur yang terletak di kampung Yanggandur distrik Rawa Biru. Seperti dituturkan salah seorang guru SD YPPK, Edmundus Yuali, di sekolah tsb terdapat 3 orang guru PNS dan 3 orang guru honor. Sekolah ini dibina oleh gereja dan bekerja sama dengan Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katholik (YPPK) St Fransiskus. Siswa sekolah ini umumnya anak anak dari keluarga suku Kanum, yang bermukim di sekitar distrik Rawa Biru. Sebagai sekolah yang mayoritas siswa berasal dari keluarga etnis lokal Kanum, kami melaksanakan pembelajaran di sekolah sesuai dengan kurikulum yang telah ditentukan oleh Pemerintah, juga secara bertahap kami mendidik siswa untuk menjadi penganut agama Katholik yan baik. Kami ajarkan etika, agama, dan muat lokal bahasa Kanum.
Para siswa umumnya bisa bahasa Indonesia, dan tak bisa bercakap dengan bahasa lokal atau bahasa daerah Kanum. Dikuatirkan bahasa lokal Papua akan punah, karena para penuturnya terus berkurang. Para generasi muda juga asal etnis Kanum juga, sangat terbatas menerima pengetahuan atau kosa kata dalam bahasa sesempat. Tetapi sebisa mungkin, kami berikan beberapa suku kata dalam bahasa Kanum yang kami ketahui, demikian dikatakan pa Guru Edmundus Yuali, guru SD setempat yang kebetulan etnis dari suku Kanum marga Yuali. Ia juga sempat memberikan beberapa contoh kosa kata Bahasa Kanum, ketika suatu malam kami melakukan perbincangan singkat di Bivak Rawa Baru Merauke, awal Juli 2024. Beberapa kosa kata bahasa Kanum tersebut antara lain:
Kotip = ikan; keri = buaya;
Sindo = burung; Tauri = Kanguru;
Koor = babi; Kumbili = ketem.
Ia juga sempat menyampaikan contoh tarian lokal suku Kanum, yang hampir punah dan jarang disampaikan kepada generasi muda suku Kanum. Contoh tarian Edor yang digunakan pada saat penerimaan tamu, ucapan selamat datang, dengan kostum khusus pakaan adat Kanum. Lirik/ ungkapan kata dalam Tarian Edor tsb adalah sebagai berikut.
Kula, kula, kula, kula, kula, kula
Yekitar oza kula, kula ye kitar oo ooo
Kula kula Yekiter ooo oo.. Kula, kula ….
Yekiter ooo ooo Watat oo Seninggara oo oo
Yeki yeki… Yeki.. Yeki Yekitar aaa … aaaa.
Seorang tokoh adat Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) Kampung Yanggandur, yaitu bapak Panggrasius Mayua pernah bertutur tentang lagu Pop suku Kanum yang hampir punah karena jarang dinyanyikan. Lagu itu disebut para Orangtua suku Kanum dengan nama Sakupiao Wemoo. Lagu ini biasanya digunakan orang tua di kampung ketika merayakan pesta adat atau ketika ada keramaian syukuran pernikahan atau bayi lahir.
Ungkapan liriknya sebagai berikut.
Sakupiao Wemoo
Sakupio wemoo ee aaa
Sakupiao Wemoo
Sakupio wemoo ee aaa
Oo Sakupioo Wemoo…
Terancam punah
Kebudayaan asli di Tanah Papua cenderung dalam keadaan terancam. Seperti dikemukakan Bank Dunia yang dikutip Wahyudin dan Sumule (2021) bahwa kepunahan budaya local tidak bisa dihindarkan dari kenyataan karena semakin intensifnya kontak masyarakat lokal dan interaksi dengan dunia luar. Hal ini dilakukan melalui berbagai kegiatan masyarakat melalui interaksi budaya, pendidikan, perdagangan, dan perpindahan penduduk yang membawa perubahan terhadap kebudayaan Masyarakat asli Papua secara mendalam dan permanen.
Banyak aspek kehidupan tradisional akan lenyap dalam satu atau dua generasi ke depan. Banyak bahasa lokal yang saat ini dipakai sebagai komunikasi oleh juga kemungkinan besar akan lenyap. (The Bank Dunia, 2009). Untuk meminimalkan proses perubahan yang mengikis kebudayaan asli di Papua, The Bank Dunia (2009) menyarankan perlu ikhtiar ke arah perkembangan dan kelangsungan budaya dalam konteks sejalan dengan budaya lokal Papua. Yaitu proses akulturasi yang memperhatikan dampak pembangunan terhadap penduduk asli Tanah Papua. Di satu sisi, memang tidak mungkin untuk melindungi semua aspek budaya lokal yang terancam punah, mengingat sebagian memang tidak dapat bertahan di Tengah masyarakat modern yang saling bergantung satu sama lain. Di sisi lain, perubahan budaya di Papua harus dilakukan dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang sangat perlu bagi masyarakat asli secara tepat waktu, dan bukan melalui suatu tsunami budaya. Pembangunan di Papua tidak boleh dipandang sebagai perubahan yang sekadar meningkatkan penghasilan, pendidikan, dan usia hidup rata-rata penduduk. Hal yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi Papua dalam arti luas.
Itulah sekilas tentang perkembangan bahasa lokal di Papua yang dikuatirkan semakin di ambang kepunahan, seperti fenomena yang terjadi atas etnis lokal Kanum di wilayah Merauke Papua Selatan. Perlu perhatian dan strategi yang tepat bagaimana melestarikan dan memelihara budaya lokal dan kearifan lokal, dengan tetap memperhatikan dinamika dan arus globalisasi yang semakin berkembang drastis.
Rayap dalam Al Quran
Dalam Al Quran , kata rayap disebutkan dalam Surah Saba’ atat 14 yang artinya : Maka takalla Kami telah menetapkan kematian Sulaeman, tidak ada yang menunjukkan kepada kematiannya itu kecuali Rayap yang memakan tongkatnya. Maka takalla ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.
Dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah SWT telah menetapkan kematian terhadap Nabi Sulaeman, wafat dalam keadaan berdiri dengan bertopang pada tongkatnya. Para jin nampaknya seperti terkejut akan wafatnya Nabi Sulaeman yang tak diketahui oleh seorangpun kecuali oleh Rayap yang menggerogoti tongkatnya, karena sebelumnya mereka hanya mengira jika nabi Sulaiman masih hidup.
Itulah rayap, salah satu mahluk hidup yang namanya diabadikan Allah SWT dalam Al Quran. ***