Oleh: Prof. Dr. Dinn Wahyudin
(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)
Toean Opsener, atau school opzichter adalah sosok yang sangat disegani dalam dunia pendidikan tempo doeloe. Opsener adalah jabatan pengawas. Ia orang yang diberi tugas untuk mengawasi proses belajar mengajar di sekolah zaman penjajahan Belanda.
Secara hirarhis fungsi pengawasan di lingkungan sekolah zaman penjajahan, ada tiga kelompok. Pertama, opsener atau school opzihter yaitu pengawas sekolah yang bertugas mengawasi proses belajar mengajar pada satuan pendidikan di kecamatan/kabupaten. Kedua, kepala sekolah atau mantri goeroe.
Jabatan mantri goeroe merupakan jabatan prestisius di suatu kampung atau desa. Ia merupakan pribadi yang berwibawa. Selain ilmu yang masagi, ia juga berprilaku baik dan menjadi panutan dan contoh masyarakat. Ia tokoh yang sangat disegani masyarakat termasuk para guru dan siswa di sekolah yang dipimpinnya. Ketiga, guru atau joeragan goeroe. Ia merupakan sosok yang sangat dihormati dan disegani murid muridnya. Ia sosok terdepan yang mengajarkan ilmu, budi perkerti, adab, sopan santun, etika, dan keterampilan bagi murid di kelasnya.
Kehadiran seorang opsener ke sekolah pada zaman doeloe, sangat ditakuti oleh mantri goeroe, guru atau pun para siswa. Opsener sesuai dengan tugasnya melakukan inspeksi dan cenderung mencari kesalahan atau kekurangan yang dilakukan guru atau mantri guru.
Begitu “ditakutinya” toean opsiner, sering kehadirannya di sekolah, membuat para guru dan kepala sekolah merasa tidak nyaman. Gaya inspeksi opsener cenderung mencari kesalahan. Opsener dengan teliti memeriksa apakah semua proses sudah dikerjakan sesuai dengan semestinya. Manajemen sekolah zaman kolonial berbeda dengan manajemen sekolah masa kini. Manajemen sekolah tempo dulu lebih bercirikan feodalistik dn otokratif. Sedangkan manajemen sekolah saat ini menerapkan prinsip supervisi yang lebih demokratis dan kolaboratif untuk memecahkan masalah yang terjadi.
Joeragan Goeroe
Joeragan goeroe, atau goeroe zaman tempo doeloe sering menjadi panutan. Ia sangat dihormati dan disegani. Guru jebolan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijern atau Sekolah Guru bagi kaum pribumi, tampil disegani oleh para muridnya. Atau pada beberapa dekade berikutnya, guru muda jebolan Sekolah Guru Bagian B (SGB) tampil prima mendidik anak pribumi di bangku Sekolah Rakyat (SR).
Ungkapan akronim Guru sebagai “orang yang digugu dan ditiru” saat itu sangat dirasakan. Guru merupakan sosok yang sangat dihormati dan disegani. Mereka tak hanya mengajar bidang ilmu tetapi juga mendidik moral, integritas, karakter dan sopan santun. Pola manajemen sekolahpun dilakukan dengan sistem inspeksi. Ada Mantri Goeroe istilah populer untuk kepala sekolah. Sedangkan untuk Pengawas Sekolah dikenal dengan nama School Opzichter atau sering disebut Opsiner.
Sistem pendidikan gurupun secara terus menerus ditata ulang. Sistem regulasi, penggajian, remunerasi dan karir guru juga berdampak pada profesi guru semakin membaik. Sertifikasi guru dan calon guru terus dibenahi melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan ataupun PPG Prajabatan. Kehidupan guru menjadi semakin cerah. Mereka mendedikasikan kemampuan profesionalnya secara penuh, dan hak kesejahteraannya secara bertahap bisa terpenuhi.
Namun demikian, bagi kelompok guru tertentu, masih juga terhembus derita sendu. Mereka belum semua mendapat imbalan hak yang lebih baik. Oleh karena itu, sosok guru masih menjadi objek parodi karena nasibnya tak selalu berbanding lurus dengan tugas yang diembannya. Saat ini masih banyak guru yang mendedikasikan waktu dan pikirannya secara penuh, namun belum mendapat hak penghasilan yang memadai. Sebut saja sosok guru honor. Mereka bukan sebuah balada dalam aliran cerita, tetapi kondisi lebih pada fakta. Sisi lain realita kegetiran di negeri ini. Masih banyak guru honor yang hak kesejahteraannya sangat minim. Mereka harus survive dengan penghasilan yang jauh di bawah UMR.
Lagu Oemar Bakrie yang dinyanyikan Iwan Fals sangat melegenda pada tahun 1980-an. Lagu satir ini bertutur tentang sosok guru sederhana yang mengajar tanpa pamrih. Ia figur guru yang sepenuh hati berbakti. Simak penggalan liriknya. Satir lagu ini begitu mendalam sebagai kritik kehidupan sosial pada masa itu. Figur guru diilustrasikan sangat sederhana. Ia seorang pesepeda sejati dengan tas lusuh menelusuri jalan berlubang. Baktinya tak luntur. Ia tetap mengabdi agar anak didiknya bisa belajar keras untuk masa depan yang lebih baik.
Kisah Opsener
Alkisah, konon pada suatu hari, Toean Opsiner datang ke sekolah. Ia akan melakukan inspeksi mendadak. Sebelum melakukan tugasnya di kelas, ia pergi ke toilet dulu, dan menyimpan pakaian kebesarannya. Yaitu baju jas putih, lengkap dengan arloji saku berrantai logam dan topi bundar yang khas seperti helm. Baju dan topi kebesarannya di meja guru depan kelas.
Ketika siswa satu per satu masuk kelas, dengan rasa “hormat”, semua siswa membungkukkan kepala dan badannya. Para siswa begitu ajrih (bahasa Sunda) artinya hormat campur rasa segan. Semua siswa memberi hormat dengan membungkukkan badan dan kepalanya. Walaupun “hanya” kepada topi toean opsener yang disimpan. Itulah sisi lain pendidikan di zaman kolonial. Toean opsiner merupakan tokoh yang dihormati, disegani, dan sekaligus “ditakuti” oleh para murid sekolah rakyat.
Kisah lain, suatu hari toean opsener berkunjung ke sekolah. Seperti lazimnya menghormati tamu Istimewa, para guru sudah berderet di depan kantor sekolah. Satu persatu para guru dan kepala sekolah, menyalami toean opsener yang baru datang. Seorang guru menyalami toean opsener dengan penuh khidmat dan mencium tangannya.
Entah mengapa ketika seorang guru menyalami tangan kanan toean opsener, ia mencium tangannya lama sekali. Toean opsener berujar, “Sudah.. sudah cukup. Jangan terlalu lama”. Tetapi tetap saja sang guru memegang erat tangan toean opsener di depan mukanya. Ia tetap mencium tangannya sampai basah karena tetesan air mata. Toean opsener menyangka bahwa guru ini sangat rindu dan menanti kehadirannya. Ternyata cincin yang melekat di jari kanan tuan opsener menempel erat di kumis sang guru. Guru merasa kesulitan untuk melepaskan bulu kumis dari cincin opsener. Matanya mengeluarkan air mata karena kesakitan.
Itulah kisah toean opsener tempo doeloe. Kehadirannya di sekolah untuk memastikan proses belajar mengajar dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar. Ia sosok yang disegani, dihormati, namun juga “ditakuti” para guru. Pola pengawasan yang bercirikan inspeksi sangat berbeda dengan pengawasan yang menggunakan pendekatan supervisi yang dilakukan pada satuan pendidikan saat ini. Seperti dikatakan Penny Sturt (2024) bahwa supervision is supportive: a safe to talk through problems that are overwhelming. Supervisi merupakan hal yang membantu, diskusi jitu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. ***