
Dr. H. Rustiyana, ST., MT., M.Pd., M.A.P
(Sekretaris Dinas Pendidikan Kab. Bandung Barat)
Pendidikan dasar di Indonesia saat ini tengah berada di persimpangan jalan yang krusial. Latar belakang kebijakan digitalisasi ini bermula dari tantangan nyata yang dihadapi dunia pendidikan kita, di mana tren hasil PISA dari tahun 2015 hingga 2022 menunjukkan skor literasi, numerasi, dan sains yang cenderung stagnan, bahkan menurun dibandingkan rata-rata negara lain.
Terdapat ketimpangan akses infrastruktur teknologi yang mencolok antara sekolah di perkotaan dengan sekolah di daerah terpencil yang masih terkendala listrik dan jaringan. Kondisi ini diperparah oleh indeks modal manusia (Human Capital Index) Indonesia yang masih perlu ditingkatkan agar mampu bersaing di kancah global. Oleh karena itu, transformasi pendidikan melalui digitalisasi bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
Urgensi digitalisasi pembelajaran ini semakin tak terbendung karena didorong oleh amanat kebijakan negara yang kuat, termasuk Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang percepatan digitalisasi dan Peta Jalan Pendidikan 2020–2035. Langkah ini sangat mendesak demi mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul menuju Visi Indonesia Emas 2045. Di tengah arus globalisasi, teknologi menawarkan peluang luas untuk akses ilmu pengetahuan, meski juga membawa risiko. Oleh sebab itu, sistem pendidikan harus segera beradaptasi untuk membekali siswa dengan kemampuan yang relevan, memastikan mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi pemain kunci di masa depan.
Merespons tantangan tersebut, Direktorat Sekolah Dasar telah melakukan berbagai upaya komprehensif dan nyata. Pemerintah tidak hanya berdiam diri, melainkan turun tangan memberikan bantuan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang disesuaikan dengan kondisi sekolah. Bantuan ini mencakup Papan Interaktif Digital (PID), laptop, hingga solusi energi terbarukan seperti panel surya dan internet satelit bagi sekolah-sekolah di daerah pelosok yang belum teraliri listrik atau internet (Sekolah Tipe II dan III). Selain penyediaan fisik, Direktorat SD juga fokus pada peningkatan kompetensi guru melalui bimbingan teknis dan webinar, serta menyusun regulasi berupa petunjuk teknis agar bantuan tersebut tepat sasaran dan berdaya guna.
Namun, keberadaan perangkat canggih semata tidak akan berarti tanpa adanya ekosistem pembelajaran berbasis digital yang matang. Membangun ekosistem ini berarti menyelaraskan tiga pilar utama, yaitu teknologi (perangkat keras dan lunak), lingkungan belajar yang fleksibel, dan proses pembelajaran yang interaktif. Tujuan utamanya adalah menciptakan suasana belajar di mana teknologi bukan sekadar alat pajangan, melainkan instrumen yang mengubah cara siswa berpikir dan berinteraksi dengan materi pelajaran. Ekosistem ini dirancang untuk menciptakan pengalaman belajar yang berpusat pada peserta didik, membuat materi yang abstrak menjadi lebih konkret dan menarik.
Agar ekosistem tersebut berjalan optimal, diperlukan elemen-elemen pendukung yang disebut sebagai Smart Elements. Elemen ini meliputi konten pembelajaran cerdas (Smart Content) yang berbasis multimedia, interaksi yang melibatkan keterlibatan aktif siswa (Smart Interaction), sistem evaluasi digital yang terukur (Smart Evaluation), serta lingkungan fisik kelas yang mendukung mobilitas dan kolaborasi (Smart Physical Surroundings). Keempat elemen ini harus saling terintegrasi untuk menciptakan suasana akademik yang modern, di mana siswa dapat mengakses materi visual yang kaya dan guru dapat memantau perkembangan siswa secara real-time.
Keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada apa yang dilakukan oleh satuan pendidikan secara kolektif. Kepala sekolah memegang peran sentral sebagai manajer yang menerbitkan kebijakan, prosedur operasional standar (SOP), dan mengalokasikan anggaran sekolah untuk pemeliharaan perangkat.
Di sisi lain, guru dituntut untuk berinovasi dengan mengintegrasikan teknologi ke dalam metode pengajaran sehari-hari, bukan sekadar memindahkan materi buku ke layar. Tenaga kependidikan berperan dalam digitalisasi administrasi, sementara orang tua dan siswa harus bersinergi dalam memanfaatkan teknologi secara etis dan bertanggung jawab untuk mendukung proses belajar.
Harapan ke depan dari kebijakan ini sangatlah besar. Digitalisasi pembelajaran diharapkan tidak berhenti sebagai tren sesaat, melainkan menjadi fondasi budaya belajar baru yang berkelanjutan. Melalui langkah-langkah ini, kita optimis dapat melahirkan generasi pelajar Pancasila yang memiliki literasi digital tinggi, kemampuan berpikir kritis, dan kreativitas tanpa batas. Dengan demikian, anak-anak Indonesia akan memiliki kecakapan adaptasi yang tangguh dalam menghadapi gelombang perubahan teknologi yang terus berkembang pesat di masa mendatang. ***