Prof. Dr. Dinn Wahyudin, MA
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia
SMP Negeri 2 Entikong, boleh jadi merupakan sekolah paling ujung utara di Entikong. Sekolah ini terletak di Dusun Kebak Raya, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat.
Seperti dituturkan salah seorang guru SMPN 2 Entikong, ibu Gaudia, ”Sekolah kami layaknya sekolah reguler pada umumnya, namun dengan beberapa hal yang disesuaikan mengingat kondisi sekolah dan masyarakatnya bermukim di wilayah perbatasan Indonesia Malaysia”.
Kegiatan Belajar Mengajar, dilaksanakan enam hari kerja, hari Senin – Sabtu dengan disertai ekstrakurikuler pramuka, olahraga, dan pertamanan. Implementasi Kurikulum Merdeka, kami laksanakan sepenuh hati untuk membimbing para murid. Walaupun kami jauh dari kota kecamatan, kami selalu berusaha memenuhi kebutuhan murid. Melayani mereka agar mereka bisa belajar dengan baik, kendati dengan sarana prasarana terbatas dengan jarak rumah murid dan sekolah relatif jauh.
Seperti dituturkan ibu Gaudia, dari segi infrastruktur jalan bisa dikatakan jauh dari kondisi nyaman untuk dilewati. Akses jalan utama, dari kecamatan Entikong menuju sekolah ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam 30 menit. Malah banyak murid yang rumahnya sangat jauh dengan medan jalan yang terjal dan becek, setelah perjalanan lebih dari 1 jam baru tiba ke sekolah. Jalan desa umumnya masih didominasi batu-batu yang hanya dihampar tanah begitu saja. Terdapat beberapa titik jalan yang sangat perlu ekstra hati-hati ketika melintas, karena jalan tersebut merupakan jalan tanah berlumpur yang becek.
Selain jalan utama (kec. Entikong – Desa Suruh Tembawang), fasilitas jalan yang menghubungkan sekolah dengan dusun-dusun di wilayah Tembawang juga jauh dari fasilitas jalan umum yang baik. Jalan masih berupah tanah kuning, yang hanya diratakan pada waktu tertentu. Bila musim hujan tiba, anak-anak kami pergi ke sekolah dan pulang ke rumah dengan kesulitan luar biasa. Terkadang mereka tergelincir dan tak jarang pula mereka sering terlambat datang ke sekolah atau tiba di rumah.
Banyak murid menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah sekitar 1-2 jam apabila jalan kering, dan bisa lebih dari itu jika pada musim hujan. Sebagian besar murid datang ke sekolah dengan berjalan kaki. Hanya beberapa orang tua yang latar belakang ekonomi menengah, bisa mengantar anaknya ke sekolah dengan motor. Selain akses jalan, fasilitas penerangan listrik juga belum merata di Desa Suruh Tembawang. Dari 10 Dusun yang ada, baru 2 desa yang merasakan listrik dari PLN. Untuk 8 dusun lainnya, belum ada fasilitas penerangan listrik. Mayoritas penduduk masih merasakan malam pekat gelap gulita sepanjang malam.
Guru Garis Depan
Salah satu program Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dalam memberikan pelayanan pada sekolah di daerah 3 T (daerah tertinggal, terpencil, dan terdepan), yaitu dengan program Guru Garis Depan. Beruntung di SMP Negeri 2 Entikong, ada bantuan dua orang Guru Garis Depan. Tantangan bagi mereka, selain terbatasnya fasilitas pendidikan, perbedaan budaya, hingga adaptasi dengan lingkungan yang baru.
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat pengalaman berharga yang sulit ditemukan sebagai guru di garis depan. Para Guru menjadi penginspirasi dan motor penggerak generasi muda di perbatasan. Mereka memiliki kesempatan unik untuk menjadi inspirasi bagi generasi muda di daerah terpencil, membuka mata mereka terhadap potensi yang mereka miliki. Pengalaman Mengajar di wilayah perbatasan, menawarkan pengalaman mengajar yang unik dan penuh tantangan. Mereka harus mampu beradaptasi dan menghadapi ketahanmalangan dalam menghadapi medan hutan dan wilayah yang masih terisolasi.
Sekolah di perbatasan
Sekolah di wilayah perbatasan, seperti di perbatasan wilayah Entikong, menarik untuk dikaji dengan dua alasan hal utama. Pertama, sekolah perbatasan adalah benteng paling depan negara (the guard of nation). Sekolah di perbatasan ini merupakan institusi formal pertama dan utama dalam membina generasi muda untuk cinta bangsa, cinta tanah air, dan bela negara. Oleh sebab itu, di tengah dinamika geopolitik antar bangsa yang dinamis, perhatian bagi masyarakat perbatasan menjadi sangat penting dan perlu menjadi urutan prioritas.
Mereka adalah kelompok masyarakat yang paling sering bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat negara tetangga, baik untuk kepentingan ekonomi, bisnis, budaya atau interaksi sosial antar etnis, bahkan dalam berjodoh sampai ke pelaminan. Untuk kasus di Entikong misalnya, banyak warga setempat yang berniaga dan menjual hasil pertanian mereka ke negeri jiran Serawak Malaysia dengan transaksi yang ilegal.
Kedua, sekolah di perbatasan juga berfungsi dan berperan sebagai garda terdepan pelestari dan penjaga budaya (the guard of culture). Sekolah melalui interaksi akademik, interaksi budaya dan sistem pembelajaran yang dilaksanakan telah memberikan pengalaman berharga bagi siswa di perbatasan. Mereka kelompok terdepan untuk tetap mencintai budaya lokal (genuine culture) dan budaya nasional (national culture), dalam kancah persentuhan budaya antarnegara.
Di tengah interaksi sosial antarbangsa yang secara geografis berdekatan, percampuran atau persilangan antar budaya tak terelakkan. Namun demikian, tradisi dan adat istiadat lokal dan nasional harus tetap terpelihara di tengah tergerusnya identitas nasional karena pengaruh global dan interaksi antar etnis dengan masyarakat negeri jiran. Hal ini lazim terjadi pada sekolah yang berbatasan dengan negara lain, Misalnya sekolah di Entikong yang berbatasan dengan Serawak Malaysia, sekolah di kabupaten Merauke Papua Selatan yang berbatasan dengan negara Papua Nugini, ataupun sekolah di Belu wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan dengan Timor Leste.
Garuda di Dadaku
Dalam suatu perbincangan, seorang sahabat, Bapak Taufik, Kepala SMPN 3 Entikong, berujar bahwa sekolah yang dipimpinnya berdiri sejak 2007. Sekolah ini melayani pendidikan formal bagi anak-anak di wilayah Entikong, dengan fokus utama pada penguatan literasi, numerasi, serta pembentukan karakter pada Kurikulum Merdeka. Ketika Pemerintah memperkenalkan pendekatan Pembelajaran Mendalam, kami pun berupaya untuk mencari tahu, bagaimana pendekatan pembelajaran mendalam tersebut diimplementasikan di sekolah.
Seperti umumnya, sekolah yang berada pada wilayah perbatasan, layanan kepada para murid agak sedikit berbeda dibanding dengan sekolah di perkotaan pada umumnya. Masyarakatnya pun berbeda. Masyarakat yang bermukim di perbatasan Entikong dan Serawak Malaysia, sering melakukan aktivitas bisnis dengan warga negara negeri jiran tersebut. Budaya dan adat istiadat pun berlangsung saling mempengaruhi.
Interaksi dan aktivitas bisnis antara WNI di Entikong dengan warga Serawak Malaysia sangat intensif dalam menopang kehidupan sehari hari. Malahan untuk transaksi bisnis, sering dua mata uang resmi kedua negara (Rupiah dan Ringgit) menjadi alat transaksi keuangan dan perdagangan yang lazim terjadi.
Dalam suatu perbincangan ringan, pak Taufik berujar dengan ekspresi bercanda, bahwa masyarakat perbatasan Entikong sering menyebut dirinya sebagai “Garuda di dadaku, Malaysia di perutku”. Maknanya, masyarakat perbatasan Entikong, kendati bermukim di wilayah perbatasan, terus berkomitmen untuk menjaga NKRI dengan menyatakan secara tegas “Garuda di dadaku”. Sedang dalam kaitan dengan perniagaan, jual beli hasil bumi, ataupun untuk menopang kehidupan mata pencaharian sehari hari, mereka sering berinteraksi dengan warga negeri jiran Serawak Malaysia. Sehingga ungkapan lengkapnya, “Garuda di dadaku, Malaysia di Perutku”.
Budaya unik
Entikong memiliki budaya unik. Masyarakat lokal Entikong dihuni oleh beragam suku dan etnis, antara lain Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Salah satunya suku Dayak Bidayuh. Budaya di Entikong kaya akan tradisi, termasuk bahasa, upacara adat, dan kesenian yang unik. Etnis lokal Entikong yaitu suku Dayak Bidayuh, yang terbagi lagi menjadi beberapa subsuku. Mereka umumnya mendiami daerah sepanjang aliran Sungai Sekayam. Masyarakat Melayu juga menjadi bagian dari Entikong dan berinteraksi secara rukun dengan suku Dayak. Bahasa masyarakat Entikong memiliki bahasa daerah yang unik, termasuk bahasa Dayak dan Melayu.
Beberapa tradisi yang masih dijaga di Entikong antara lain ritual Ngumpan Manok, yaitu upacara ritul memohon petunjuk dari leluhur sebelum menanam padi, dan ritual lainnya yang berkaitan dengan kehidupan pertanian. Kesenian tradisional seperti alat musik Silotuang juga dapat ditemukan di Entikong, yang merupakan bagian dari kekayaan budaya Dayak. Entikong juga memiliki kampung adat yang disebut Tembawang, yang merupakan kampung asal atau kerabat bagi masyarakat Dayak lainnya, seperti Bidayuh Entubuh di Malaysia. Dengan demikian, Entikong merupakan wilayah perbatasan yang memiliki sejarah panjang dalam interaksi warga lokal dengan wilayah Serawak Malaysia.
Akulturasi Budaya
Warga Entikong Multietnis. Etnis dominan yaitu: etnis lokal Melayu, etnis Dayak, dan etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa Entikong bisa disebut sebagai bagian dari sejarah panjang migrasi orang Tionghoa di Kalimantan. Mereka telah berinteraksi dan berbaur dengan masyarakat lokal, membentuk identitas unik yang mencerminkan perpaduan budaya.
Meskipun ada perbedaan etnis, hubungan antar kelompok masyarakat di Entikong umumnya harmonis, dengan toleransi dan kerjasama yang baik. Nyaris hampir tak pernah ada konflik antar etnis. Akulturasi budaya masyarakat lokal dan pendatang telah melahirkan perpaduan budaya yang rukun dan harmonis.
Entikong dapat dipandang sebagai salah satu gerbang lintas batas antarbudaya negara serumpun. Entitas Entikong tak hanya berperan menyatukan umat sebangsa dan se-Tanah air dalam bingkai NKRI, namun juga berperan merajut tali persaudaraan lintas batas negara: Indonesia dan Malaysia.
Dalam momen tertentu, Entikong sebagai gerbang perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, sering menggelar event budaya sebagai ajang untuk mempererat hubungan antara dua bangsa, mulai dari sajian kuliner, penampilan kesenian lokal, termasuk bazar menjelang acara tertentu semisal menjelang Ramadan dan Idul Fitri.
Entikong menjadi simbol harmoni antara dua bangsa serumpun. Wilayah ini juga menunjukkan dinamika sosial yang unik, hampir 40% penduduk WNI perbatasan Entikong bekerja di Serawak (Malaysia) dan pulang kampung menjelang Ramadan atau Idul Fitri (data BPS Kalimantan Barat 2024).
Kuliner Unik
Di wilayah perbatasan Entikong, perpaduan kuliner lokal dan kuliner Melayu Malaysia sangat terasa. Banyak kedai menjual barang barang, makanan minuman produk Malaysia. Di tempat tertentu, banyak juga pedagang yang menjual makanan dengan menu unik khas Dayak, makanan khas Serawak, ataupun makanan khas Tionghoa Entikong.
Bila teman teman berkunjung ke datang Entikong, rasakan sensasi menu unik yang dijajakan oleh penjual lokal. Ada sejenis lemang atau ketan bambu dan juhu singkah sejenis sayur pakis khas Dayak. Atau makanan khas Tionghoa Entikong yaitu Choi pan sejenis makanan yang terbuat dari tepung kanji dan diisi dengan berbagai isian seperti bengkuang, rebung, atau kucai. Juga tersedia Kwetiau, bubur pedas dan pengkang yang terbuat dari ketan dan ebi (udang kering), dibungkus daun pisang berbentuk segitiga. Di sudut tertentu, tersedia juga pedagang yang menjajakan menu fusion seperti ayam pansuh ala Serawak yang diadaptasi dengan bumbu lokal, menjadikan semarak rasa gurih yang memanjakan lidah.
Dalam dimensi lain, warga Melayu dan Dayak muslim Entikong yang berdampingan dengan wilayah melayu Serawak, kehidupan religius juga begitu terasa. Ketika waktunya sholat fardu, suara adzan berkumandang. Hampir serempak terdengar di surau atau masjid penduduk di kedua sisi perbatasan. Warga dua negara yang berbeda, namun memiliki kesamaan dalam Aqidah menciptakan suasana harmonis dan atmosfir religius yang mendalam. Demikian juga toleransi dan kolaborasi warga seagama ataupun antaragama pada dua negara yang berbeda sangat terasa di wilayah perbatasan Entikong dan Serawak.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS Al Hujurat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Itulah Entikong. Gerbang budaya antarbangsa. Indonesia dan negeri jiran Malaysia. ***