
Oleh: Dr. H. Rustiyana, ST., MT., M.Pd., M.AP
(Sekretaris Dinas Pendidikan Kab. Bandung Barat)
Sesar Lembang merupakan ancaman geologi yang signifikan bagi Provinsi Jawa Barat, yang secara struktural berada di zona aktif tektonik dan rentan terhadap berbagai bencana, termasuk gempa bumi dari sumber sesar darat. Sesar aktif ini membentang sepanjang 29 km dari Barat ke Timur, dengan mekanisme pergerakan geser sinistral (mengiri).
Keberadaan sesar ini terlihat jelas pada citra satelit dan topografi sebagai gawir yang memanjang di utara Kota Bandung. Sesar Lembang memiliki laju pergeseran (slip rate) sekitar 1.95-3.45~mm/th hingga ~3-14mm/th dan memiliki potensi memicu gempa bumi besar dengan Magnitudo momen (M) hingga 6.5–7.0. Wilayah yang dilaluinya meliputi Kabupaten Bandung Barat (Kecamatan Ngamprah, Cisarua, Parongpong, dan Lembang) serta Kabupaten Bandung (Kecamatan Cimenyan dan Cilengkrang).
Mengingat siklus gempa bumi berkisar antara 170 hingga 670 tahun, dan akumulasi stres geologi dari kejadian terakhir diperkirakan sudah mencapai 560-an tahun, hal ini mengindikasikan bahwa Sesar Lembang telah memasuki siklus perulangannya.
Dampak dari gempa Sesar Lembang sangat kompleks, meliputi tiga bahaya utama: Guncangan, Sesar Permukaan, dan Bahaya Ikutan (seperti likuefaksi dan retakan tanah). Skala kerusakan diperkirakan parah di pusat gempa; skenario gempa M 7.0 menunjukkan bahwa Kota Cimahi dapat mencapai intensitas VIII MMI, sementara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat berpotensi mencapai VII-VIII MMI.

Intensitas VII-VIII MMI tersebut dapat mengakibatkan kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat, namun menimbulkan retak-retak hingga lepasnya dinding dari rangka rumah pada bangunan berkonstruksi kurang baik. Kerentanan ini diperparah oleh faktor bangunan yang memiliki kerentanan struktur, seperti soft storey effect, kurangnya angkur pondasi, atau penggunaan tulangan utama yang terlalu minimal, yang semuanya berkontribusi pada keruntuhan dan tingginya korban jiwa, seperti terlihat pada Gempa Cianjur 2022.
Menghadapi ancaman ini, implementasi Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) menjadi krusial di sekolah, yang tergolong lokasi berisiko tinggi. SPAB dilaksanakan melalui tiga pilar: pengamanan fasilitas, manajemen bencana, dan pendidikan pengurangan risiko.
Kesiapsiagaan dimulai dengan tindakan sebelum gempa, yaitu memastikan bangunan kokoh, menyiapkan Tas Siaga Bencana, dan menetapkan jalur evakuasi/titik kumpul di tempat terbuka yang jauh dari bangunan tinggi. Saat guncangan terjadi, langkah krusial adalah menerapkan gerakan penyelamatan diri DROP! COVER! HOLD ON!, yang selaras dengan kampanye Pa Sekda Jabar, “Gerakan Menunduk Lindungi Kepala”.
Akhirnya, gerakan ini ditekankan karena saat guncangan (yang berlangsung singkat, 30-40 detik), tindakan terbaik adalah segera merunduk (DROP), melindungi kepala (COVER), dan berpegangan (HOLD ON) di bawah perabotan kuat seperti kolong meja, menghindari jendela dan kaca. Terakhir, setelah gempa, evakuasi harus dilakukan dengan tertib, melindungi kepala, dan berjalan melalui tangga darurat (tidak menggunakan lift) menuju Titik Kumpul untuk penghitungan dan penanganan korban. Sekolah juga harus membentuk Tim Siaga Bencana yang terlatih dalam P3K dan evakuasi untuk memastikan keselamatan seluruh warga sekolah. ***