
Dr. H. Rustiyana, ST., MT., M.Pd., M.A.P
(Sekretaris Dinas Pendidikan Kab. Bandung Barat)
Lingkungan sekolah seharusnya menjadi rumah kedua, tempat tumbuhnya potensi dan cita-cita, bukan arena ketakutan. Sayangnya, fenomena bullying atau perundungan masih menjadi hantu yang menghantui koridor-koridor pendidikan kita. Bentuknya beragam, mulai dari ejekan verbal, pengucilan sosial, hingga kekerasan fisik, yang semuanya meninggalkan luka mendalam pada korban, menghambat proses belajar, dan merusak iklim akademik secara keseluruhan. Menghadapi masalah yang kompleks dan berakar dalam budaya seperti ini, diperlukan solusi yang terstruktur dan menyeluruh. Jawabannya terletak pada implementasi serius Sekolah Ramah Anak (SRA), sebuah konsep yang berupaya merekonstruksi fondasi sekolah dari tempat yang berpotensi melahirkan kekerasan menjadi sarana penanaman empati dan penghormatan hak anak.
Filosofi SRA: Pencegahan Kultural
SRA tidak hanya fokus pada penanganan kasus setelah terjadi; filosofi utamanya adalah pencegahan kultural. Program ini mewajibkan sekolah untuk memiliki sistem perlindungan yang jelas, dimulai dari pembuatan tata tertib yang tegas melarang segala bentuk kekerasan dan perundungan, hingga pembentukan tim khusus yang sigap menerima laporan dan melakukan intervensi. Namun, inti dari SRA adalah mengubah budaya. Sekolah didorong untuk mengadakan program penanaman karakter secara masif, seperti pelatihan empati, keterampilan resolusi konflik tanpa kekerasan, dan edukasi hak-hak anak. Ketika siswa diajarkan untuk memahami perasaan orang lain dan menghargai perbedaan sebagai kekayaan, bukan kelemahan, benih-benih bullying akan sulit tumbuh.
Tiga Pilar Kunci SRA: Kolaborasi Menyeluruh
Implementasi SRA yang efektif menuntut keterlibatan tiga pilar utama: siswa, guru, dan orang tua. Siswa diberdayakan sebagai Agen Perubahan atau Duta Anti-Bullying yang bertugas menyebarkan nilai-nilai persahabatan dan saling menghargai. Guru berperan sebagai teladan dan mentor, yang tidak hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga menjadi sahabat yang mampu mendeteksi dini tanda-tanda perundungan dan memberikan dukungan psikologis. Sementara itu, orang tua diundang untuk aktif berpartisipasi, memastikan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah selaras dengan pendidikan di rumah. Kolaborasi ini menciptakan jaring pengaman sosial yang kuat, menjamin bahwa setiap anak merasa aman, dihargai, dan memiliki tempat untuk bersuara tanpa takut dihakimi.
Komitmen Abadi: Merawat Ekosistem Aman
Langkah selanjutnya adalah konsistensi dan komitmen berkelanjutan. Sekolah Ramah Anak bukan sekadar label atau sertifikasi yang digantung di dinding, melainkan sebuah ekosistem yang harus dijaga dan dirawat setiap hari. Diperlukan audit rutin, pelatihan guru yang berkelanjutan mengenai penanganan kasus yang sensitif, serta dukungan psikososial bagi korban dan pelaku. Ketika setiap warga sekolah, dari kepala sekolah hingga petugas kebersihan, berkomitmen menjadikan SRA sebagai nafas institusi, kita akan benar-benar menciptakan ruang aman yang memungkinkan setiap potensi anak Indonesia mekar tanpa dibayangi rasa ketakutan. ***