Cerpen Karya: Indah Kirana Putri
Pada pertengahan juni di tahun 2019, aku telah menuntaskan pendidikan dasarku dengan nilai yang tidak begitu besar. Ini sangat sangat di luar planning-ku. “Menyebalkan sekali bukan tidak dapat masuk sekolah impian karena mendapatkan nilai yang kurang memuaskan?” gerutuku.
Tak terasa, satu bulan telah berlalu. Tepat di bulan juli 2019 aku masuk ke jenjang Pendidikan Menengah Pertama yang tentu saja bukan sekolah impianku. Sudah kucoba sedikit demi sedikit untuk berdamai dengan keadaan, tapi semua usahaku sepertinya sia-sia. Hingga saat memasuki sekolah itu, aku sama sekali tak punya semangat untuk memulai lembaran baru.
Hari berganti hari, kini kududuk di salah satu bangku kelas 7. Lama-kelamaan, aku sudah mulai bisa berdamai dengan keadaan, sedikit demi sedikit aku membuka hatiku untuk bisa menerima dan mau tak mau, siap tak siap aku akan menjalani hari hari ku selama 3 tahun lamanya di sekolah ini.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB, aku dan teman temanku tengah asyik-asyiknya menikmati jamkos (baca: jam kosong) tiba – tiba datang segerombolan kakak kelas yang agaknya berjalan ke arah kelasku dengan bibir merah merona, juga kerudung mereka yang sengaja memperlihatkan anak rambutnya. Diiringi gelak tawa mereka yang sengaja diperlihatkan agar terlihat menyeramkan di dahapan adik kelasnya.
“Duh ada kakel, ada masalah apa di kelas ini,” ucap Chelsea.
“Gak tau, udah we biarin aja,” balas Wulan.
“Brakkkkkk”
Pintu tiba tiba terbuka ketika kelas tengah sunyi-sunyinya karna ditinggal sebagian penghuninya ke kantin. Hanya tersisa aku dan 5 temanku di sana.
“Kalian punya masalah apa sama Irene?” tanya Angel dengan wajah yang sangat tidak bersahabat.
“Kurang tau, Teh” jawab Wulan.
“Udah lah ngaku aja! kita juga udah tau semuanya,” kata Angel.
Angel dan teman temannya hanya tersenyum kecut ke arah aku dan teman temanku.
“Da emang kita mah gatau apa-apa, Teh. Emang ada apa ya?” jawabku.
“Halahhhhh, gausah sok gatau lah! kita juga tau kalian ga pernah nemenin Irene kan di kelas? Itu teh termasuk pembullyan tau!” Angel mulai menaikan nada bicaranya.
“Hahhhh?” ucapku, Tasya, Wulan, Chelsea, Hanin dan Olive berbarengan.
“Irene kan udah dua minggu ngga masuk, Teh. Terus kapan kita nge-bully-nya?” tanya Wulan terheran heran.
“Iya dia ga mau sekolah teh gara gara kalian bully!” Agnes, teman Angel mulai menimpali.
Semua terdiam, termasuk aku. Angel dan teman temannya pun mulai meninggalkan kelas satu per satu dan hanya menyisakan aku dan 5 temanku yang masih terheran-heran.
“Sebenernya ada apa sih?” Chelsea memecah keheningan.
“Gatau, udah biarin aja. Nanti lagi kita bahasnya,” Olive akhirnya buka suara.
Bel pulang sekolah pun mulai menggema di seluruh penjuru sekolah. Aku dan teman-temanku langsung bergegas pulang kerumah masing masing. Seminggu berlalu, Angel dan teman-temannya sudah tak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi. Seminggu itu pula banyak sekali desas-desus yang tidak mengenakan tentang aku dan teman-temanku yang cepat beredar.
“Kringgggggg”
Bel istirahat yang ditunggu-tunggu semua siswa itu akhirnya terdengar juga. Semua siswa mulai berhamburan keluar kelas berbondong-bondong berjalan ke arah kantin. Termasuk aku dan teman temanku.
“Eh, kemarin ada yang nge-chat aku, ngancem ngancem!” kata Olive sambil berjalan ke kantin.
“Siapaaa?” kataku.
“Ga tau da ga jelas, ya udah we aku bales teh seadanya. Hoream atuhh da,” balasnya. Sepanjang perjalanan, kami semua merasakan ada yang ganjil. Bukan hanya aku yang merasakan, ternyata semua teman-temanku pun sama adanya.
“Ini orang orang pada kenapa sih liatin kita gitu banget? kita ada salah ya sama mereka?” Hanin mulai tak nyaman.
“Teuing, baelah udah biarin” kata Tasya sebagai penenang.
Dua hari setelahnya, tepatnya pada hari jumat. Sekolahku mengadakan kegiatan rutinan, yakni literasi qur’an. Semua siswa kelas 7 dan 9 wajib mengikuti kegiatan di lapangan utama sekolah. Hampir semua siswa sudah memenuhi lapangan, hanya tinggal aku dan teman-temanku yang masih mencari tempat duduk yang nyaman.
“Mau dimana duduknya?” Tasya menunggu jawaban.
“Udah we di situ, enakeun agak teduh sedikit,” kata Chelsea.
Aku dan lima temanku lainnya mulai berjalan ke arah yang ditunjukkan Chelsea. Baru saja duduk, tiba-tiba datanglah Agnes beserta teman-temannya, tentu saja dengan tatapan tak sukanya yang ia tunjukkan padaku dan teman-temanku. Sambil melewati barisanku, dia bergumam dengan suara yang sengaja agak dinaikkan dan jelas masih sangat bisa kudengar “Ohh ini yang suka ngebully teh” tak ketinggalan tatapan sinisnya.
“Masih pagi, Teh,” gumamku dalam hati. Aku, Tasya, Hanin, Olive, Wulan, dan Chelsea hanya bisa saling berpandangan sambil tersenyum pedih yang tak dapat kami sembunyikan.
Rasanya literasi tak selambat biasanya, entah memang karna aku yang tak fokus karna masalah Kak Agnes tadi atau memang kegiatan literasi yang sengaja dipercepat. Aku dan teman-temanku mulai berjalan kembali ke arah kelas dan bergegas bertukar kelas dengan kelas tetangga. Masih tak habis pikir dengan kejadian sebelum literasi tadi. Aku dan teman-temanku akhirnya memutuskan untuk segera membicarakan masalah ini dengan serius.
“Nama aku kayaknya udah jelek karna masalah ini. Hampir semua kakak kelas juga kayaknya udah tau deh semua rumor ga bener yang disebarin teh Angel dkk,” suaraku pembuka percakapan.
“Kita juga di paskib sama, senior udah pada ngomongin. Udah gakan bener, asli,” timpal Tasya dan Olive dengan raut wajah khawatir.
“Kita semua gatau apa-apa, tiba tiba keseret aja. Jadi tersangka,” ucap Wulan. Kita semua mengangguk setuju. Di tengah tengah obrolan panas tersebut, tiba tiba anak-anak kelasku datang dengan sangat tergesa-gesa “Ada Pa James! masukkk!” Fawaz setengah berteriak. Semua siswa yang tadi berdiam diri di luar kini mulai memasuki ruangan kelas satu per satu. Benar yang dibicarakan Fawaz, kini pak James masuk ke kelasku dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. Beliau mulai berbicara dengan serius.
“Aduuuh perasaan aku ga enak,” gumam ku dan benar saja, satu menit setelahnya Pak James mulai menjelaskan maksud dan tujuan beliau datang di kelas.
“Nahhh, jadi gitu. Yang namanya bapak sebut ikut bapak ke ruang kepala sekolah ya! Olive, Chelsea, Indah, Tasya, Hanin dan Wulan ikut bapak sekarang!” ujar Pak James.
Kami semua tertunduk lesu, masalah apalagi yang kami hadapi saat ini? Kami berenam mulai membuntuti Pak James ke ruang kepala sekolah. Kami menjadi sorotan saat itu. Ada yang tatapan matanya memancarkan rasa kepuasan, ada yang kasihan dan ada juga yang hanya sekedar ingin tahu gosip harian. Kami hanya bisa pasrah dan hanya bisa berharap semuanya baik-baik saja. Saat sudah sampai di ruang kepala sekolah, ternyata sudah ada beberapa orang yang menunggu kami.
“Apakah kalian bener teman sekelasnya Irene?” tanya Pak Iman. Kami hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Jadi gini, Irene udah seminggu yang lalu kabur dari rumah, katanya punya masalah sama kalian. Apakah benar?” tanya Pak Iman lagi.
“Kurang tau, Pak. Soalnya dari pas masih sering sekolah aja, Irene suka mainnya sama Teteh-Teteh terus,” kata Wulan mewakili.
Obrolan itu berlanjut hingga lima hari ke depannya. Setelah obrolan di ruangan kepala sekolah kala itu dan karna belum mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan besar, akhirnya kami putuskan untuk membicarakan ini dengan wali kelas di ruang guru.
“Kalian sebenernya ada masalah apa?” tanya Bu Wati dengan penuh kesabaran.
“Kita diomongin yang ngga-ngga, Bu sama Teh Angel sama temen-temennya, mana difitnah ngebully lagi, Bu,” Wulan tersulut emosi. Angel yang tak terima langsung membalas ucapan Wulan.
“Mana ada maling ngaku! Da emang bener kalian mah tukang bully! 3 angkatan aja ngga ada yang suka sama kalian!” Angel tak kalah memanas.
“Sudah sudah, selesaikan semuanya dengan kepala dingin, jangan ada emosi,” lerai Bu Wati. Setelah berbincang sekitar 2 jam lamanya, akhirnya kita menemukan titik terang. Bu Wati meminta kita untuk saling berjabat tangan dan saling memaafkan.
Tak mudah memang memaafkan seseorang yang jelas-jelas sudah melukai hati kita. Ingat kata pepatah mulutmu harimaumu dan seribu kebaikan akan kalah dengan satu kesalahan. Jadi, pandai-pandailah membatasi diri dari orang yang sering kali memanipulasi. Setelah kejadian itu, Angel dan teman-temannya sudah jarang sekali menunjukkan eksistensinya seperti sedia kala dan sudah tak pernah mengganggu aku dan teman-temanku. Setelah ribuan cacian keluar dari mulutnya, akhirnya aku bisa membuktikan pada mereka bahwa aku tak seperti apa yang mereka kira. Kini, aku dan teman-temanku mulai berbenah menjadi seseorang yang selalu bersosialisasi, baik organisasi maupun memperluas relasi. Akan aku buktikan betapa sampahnya omongan mereka kala itu yang berhasil membuatku jatuh. Ingat! karna kita ngga pernah tau hari ini kalo saat itu kita udah nyerah!
Editor: Andri Rahmansah, S. Pd.
Profil Penulis:
Indah Kirana Putri lahir di Bandung, 26 Juli 2007. Sekertaris 2 OSIS di SMPN 3 Ngamprah itu memiliki cita-cita sebagai seorang diplomat dan penulis. Hobi yang sering dilakukan anak sulung itu adalah membaca hingga sering meluangkan waktu untuk sekedar membaca cerita-cerita penulis ternama yang agaknya dia pun ingin menjadi tokoh utama seperti yang ada di dalam cerita itu. Salah satu buku ternyata menginspirasinya. Di dalam buku itu ditulis jangan sakiti hati penulis, atau kau akan abadi dalam karyanya. Cita citanya sejak lama ia harapkan hingga selalu ia panjatkan dalam setiap solat 5 waktu. Pemegang teguh motto hidup tetaplah berjalan meskipun sang waktu tak mengizinkan untuk terus berjalan beriringan itu aktif juga di ekstrakulikuler literasi dan kini menjabat sebagai ketua jurnalis.