Popi Siti Ichsanniaty, M.Pd
(Fungsional pada Bidang PSD, Disdik Kab. Bandung Barat)
Kedengarannya menurut anak zaman sekarang “kudet” (kurang update) apabila melihat seseorang membaca buku melalui textbook (buku bacaan). Namun, inilah solusi dalam menumbuhkembangkan budaya membaca yang sesungguhnya terhadap peserta didik maupun pendidik dan tenaga kependidikan. Informasi yang diperoleh bukan hanya sekedar informasi sesaat namun ditindaklanjuti dengan diskusi dan boleh jadi bahan perdebatan yang panjang untuk memperoleh informasi yang akurat terhadap suatu informasi yang baru.
Bukannya mengenyampingkan jaringan internet atau media sosial yang semakin hari semakin cepat. Perkembangan gadget dan laptop terbaru pun sudah sulit terikuti saking cepatnya sebuah perubahan dan perkembangan teknologi. Namun, apalah artinya media komputer yang sudah mencapai generasi ke 8 apabila anak-anak kita tidak dibekali dasar yang cukup kuat dalam hal membaca.
Dari hasi penelitian, tahukah anda berapa lama otak kita bisa menyimpan informasi? Hanya sekitar 20 menit pertama manusia mampu mendengar dan menerima informasi secara utuh dan selanjutnya seorang pendidik diharapkan membuat strategi yang kreatif dalam menyampaikan informasi.
Untuk kalangan orang dewasa perolehan informasi dapat dimaknai secara cepat tetapi bagaimana dengan anak-anak? Di sinilah terletak perbedaan dalam pemaknaan sebuah informasi. Orang dewasa telah mempunyai kerangka berpikir yang kuat dalam menerima informasi yang tahapannya meliputi: membaca – memaknai – mencermati – menyimpulkan – analisis. Bagaimana dengan anak-anak? Hanya 1 langkah saja yaitu membaca. Maka tak heran apabila seorang guru memberikan informasi melalui media daring dan pada saat evaluasi dilakukan peserta didik tidak memahami apa-apa. Sungguh sangat disayangkan, rugi waktu dan materi, itu sudah pasti tapi kerugian yang mendasar yaitu hilangnya pemahaman yang akan terbawa kelak di tahapan selanjutnya. Dampaknya, kenaikan kelas seorang anak hanya dinilai bertambahnya ke tingkat yang lebih tinggi namun tidak dengan pemahamannya.
Literasi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan individu mengolah dan memahami informasi saat membaca dan menulis. Sebelumnya dikenal dengan istilah calistung (membaca, menulis dan berhitung). Namun, literasi lebih memberikan makna yang lebih luas, tidak sekedar membaca tetapi juga menulis yang membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat dengan cara membaca berbagai informasi bermanfaat.
Peranan pendidik dalam mengembangkan literasi di sekolah dapat dilakukan beberapa langkah yaitu; 1) gerakan literasi di sekolah hendaknya mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis yang sangat diperlukan dalam penerapan pembelajaran kreatif-produktif, 2) kemampuan literasi diperlukan dalam kegiatan eksplorasi pada pembelajaran kreatif-produktif yaitu dengan cara membaca dan menulis .Pengembangan langkah tersebut dapat diambil benang merahnya yaitu menulis menumbuhkembangkan sifat daya kritis siswa dan eksplorasi terhadap sebuah informasi baru.
Menurut penelitian, di negara maju otak bekerja lebih keras dan lebih baik dalam membaca. Proses membaca menimbulkan penambahan kosa kata baru, kalimat yang menarik sehingga menarik sel syaraf otak saat melihat informasi tersebut. Ada tahapan dalam membaca melalui buku bacaan yang sangat penting yaitu proses berpikir, (Maryanne Wolf). Sehingga otak dibiarkan melanglangbuana mengumpulkan potongan-potongan informasi menjadi bagian informasi yang utuh. Ada aspek otak manusia dibiarkan mengenal permasalahan dari berbagai sudut pandang.
Sudut pandang penulis tentu berbeda dengan sudut pandang pembaca. Penulis bisa menggiring otak pembaca dibiarkan mengenal dunia yang berbeda. Pembaca belum mengenal negara Turki misalnya, tapi bagaimana pembaca bisa tahu bahwa Turki adalah negara yang indah dengan peninggalan sejarahnya dan timbul dalam benak pembaca ingin sekali rasanya pergi ke negara Istambul tersebut. Dari manakah informasi ini hadir? Tentu saja dari informasi yang diperoleh dari penulis. Tahapan ini tidak ada apabila kita hanya sekedar menonton film ataupun mendengarkan musik.
Hasil observasi terhadap peserta didik yang mengerjakan Asessmen Nasional berbasis Kompetensi (ANBK), sebagian peserta didik bisa membaca dalam uraian soal tetapi ada tingkatan yang belum masuk yaitu pemahaman terhadap suatu cerita atau informasi. Makna ikhtisar sebuah paragraf belum bisa diambil intisarinya. Kemungkinan karena mereka tidak dibiasakan untuk menuangkan ide-ide pikiran dalam sebuah tulisan sehingga merasa kesulitan dalam memaknai informasi. Hal inilah yang harus ditindaklanjuti oleh pendidik dalam mengasah daya pikir anak dalam sebuah tulisan yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, istilah numerasi terjadi miskonsepsi atau kesalahpahaman yang diidentikkan dengan kemampuan berhitung yang kaitannya dengan pelajaran matematika. Numerasi lebih luas pengertiannya yaitu kegiatan yang bersifat praktis dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Numerasi bukan hanya tanggung jawab guru mata pelajaran matematika dan tidak sekedar belajar berhitung. Hitungan hanya matematika murni, namun numerasi menghubungkan hitungan tersebut dalam persoalan sehari-hari yang dapat dipecahkan oleh peserta didik. Meskipun memiliki dasar pengetahuan dan keterampilan yang sama tetapi perbedaannya terletak pada pengembangan dari keduanya (educasinfo). Seorang yang memiliki kemampuan matematika yang baik belum tentu memiliki tingkat kemampuan numerasi yang sejalan karena konsep berhitung merupakan konsep awal dari pengenalan numerasi yang berada di titik kelas rendah. Numerasi menghubungkan beberapa kumpulan konsep, fakta, prosedur, dan alat matematika dalam situasi nyata yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Numerasi menjawab solusi terhadap persoalan yang bersifat konkret, jadi tidak hanya milik mata pelajaran matematika tetapi semua mata pelajaran dapat berkontribusi dalam pengembangan numerasi. Konsep bilangan dijabarkan dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga perlu adanya kreatifitas pendidik yang tinggi untuk dapat memberdayakannya.
Melalui program Kejar Mutu yang dilaksanakan oleh pihak Kemdikbud bahwa hasil evaluasi pendampingan dalam proses learning loss nilai numerasi lebih baik dibandingkan dengan literasi. Mengapa bisa demikian? Bisa jadi, potensi peserta didik berkaitan dengan literasi numerasi (litnum) di wilayah Kabupaten Bandung Barat sudah cukup baik, tinggal upaya pendidik untuk memberikan wadah yang tepat dalam mengembangkan kegiatan litnum tersebut.
Kreativitas pendidik diperlukan dalam mengembangkan daya pikir anak baik, dalam proses pembelajaran maupun ektrakurikuler. Menurut para ahli, otak kiri melibatkan logika, bahasa dan pemikiran analitis, dan hitungan. Sedangkan otak kanan manusia cenderung menggunakan kreativitas untuk memecahkan masalah. Lebih mengandalkan intuisi dan memahami situasi keseluruhan dengan lebih cepat. Karena itu, otak kiri dan otak kanan seorang anak harus dapat berjalan seimbang. Dengan demikian peserta didik siap berkompetensi di era digital abad ke 21 tidak hanya mampu mengoperasikan komputer namun mampu berliterasi numerasi yang handal dalam aspek digitalisasi.***
Mendukung program kejar mutu kereen….. ambil bagian mulai dari diri sendiri melakukan aksi sesuai kapasitasnya…
Keren! Informatif! Terimakasih Bu!
Mantap terus berkarya Bu,
untuk anak bangsa
Keren,sungguh super
Keren,super