Oleh: Dadang A. Sapardan
(Plt. Sekretaris Dinas Pendidkan KBB)
Ucapan lirih dalam bahasa Sunda yang terus terngiang di telinga. Keluar dari mulut yang penuh ketulusan. Ucapan itu terlontar dibarengi palingan muka untuk menyembunyikan kesedihan di raut mukanya. Padahal, sejurus terlihat jelas linangan air mata penanda kesedihan.
Itulah ungkapan terakhir yang terdengar saat menengok untuk memberinya semangat menjelang masuk ke rumah sakit. Roman muka yang selalu memperlihatkan pancaran keceriaan, seolah sirna karena digerogoti penyakit yang diidapnya.
Saat pertama melihat dia terbaring lemah di kasur dengan bantuan oksigen, diri ini seakan tak percaya begitu saja. Dia yang selama ini penuh dengan keceriaan, telah benar-benar tak berdaya menahan sakit yang amat sangat.
Mendengar ungkapan tulusnya dalam bahasa Sunda tersebut, membuat dahi mengernyit dan bertanya-tanya. Mengapa ungkapan itu harus keluar, padahal selama bersama-sama berkegiatan dalam mewarnai keberlangsungan pendidikan di Bandung Barat, hasil kerjanya sangat memuaskan. Dengan totalitas kerja dan militansi yang diperlihatkannya tak pernah melahirkan kekecewaan. Semuanya selalu berujung pada happy ending.
Masih tetingat beberapa waktu sebelum jatuh sakit, sempat bersama dengan teman-teman Newsroom bertandang ke rumah. Barangkali dan sangat yakin dia datang dengan memaksakan diri. Dia datang untuk bercengkrama dengan teman-temannya. Padahal waktu itu, suaranya sedang serak sehingga bicaranya lirih dan harus dikeluarkan dengan sekuat tenaga. Ternyata, suara serak itu sebagai penanda penyakitnya sedang berbiak. Saat itu, kami tidak menyadari bahwa itu menjadi indikator berbiaknya penyakit ganas itu.
Saat bertandang untuk menengok ke rumahnyalah disampaikan bahwa hilangnya suara ceria saat itu sebagai penanda gerogotan penyakitnya.
Tegar juga kau, Dian.
Di tengah kecamuk kesakitan, kau masih tetap memperlihatkan keceriaan untuk menyenangkan kami.
Kembali lagi pada ungkapan terakhirnya, “Hapunten, can tiasa ngabahagiakeun Akang”. Itu merupakan ungkapan yang merefleksikan kepribadian yang benar-benar sulit tertandingi. Ungkapan itu menjadi penanda bahwa setiap langkah yang dilakukannya menjadi sebuah perjuangan untuk dapat membahagiakan orang lain, dalam situasi dan kondisi apapun. Bahkan dalam kondisi sakit sekalipun.
Barangkali, tak ada kata lain dalam hidupnya, kecuali berupaya sekuat mungkin untuk membahagiakan orang lain. Setiap jengkal langkahnya menjadi ladang amal untuk selalu berbuat kebaikan dengan membahagiakan orang-orang di sekelilingmu.
Selamat jalan, Dian.
Selamat bersua kembali dengan Sang Khalik.
Allohumaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fuanha.
Cihampelas, 21 November 2022. ****
Penulis adalah Redaktur Newsroom, wadah almarhumah berkiprah mengembangkan potensi jurnalistiknya.
Pewarta: Adhyatnika Geusan Ulun-Newsroom Tim Peliput Berita Pendidikan Bandung Barat.