[responsivevoice voice=”Indonesian Female” buttontext=”bacakan”]Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
(Guru bahasa Inggris SMPN 1 Cipongkor)
“Budaya baca yang sudah menjadi trademark negara maju bukan tanpa proses. Begitu panjang perjalanan sebuah negara untuk membuat kebiasaan baik ini menjadi rutinitas warganya. Tentu bukan hanya sekedar mengampanyekannya, tetapi juga menyiapkan seluruh fasilitas pendukungnya.”
Jendela Dunia
Banyak negara besar lahir dari budaya baca. Reading habit yang menjadi perilaku penduduknya, menjadikannya selalu terdepan dalam peradaban dunia. Mesir, China, India, Romawi, merupakan contoh bangsa yang dipertontonkan sejarah.
Idealisme yang dibangun pada awal abad pertengahan untuk berinteraksi dengan dunia luar, diyakini karena diilhami oleh buku yang dibaca. Coretan kisah perjalanan Marcopolo, dan Ibnu Batutah benar-benar mengusik rasa ingin tahu bangsa akan kehidupan dunia lain.
Dimulailah era ketika bangsa-bangsa di dunia mulai melakukan ekspansi ke luar wilayahnya. Tentu dengan sejumlah motif. Tetapi hal tersebut meyakinkan semua bahwa buku adalah memang jendelanya dunia yang membuka wawasan. Dengannya, setiap orang akan mampu menjelajah dunia, dan dapat menjadi sumber inspirasi dalam mengekspresikan pemikiran yang lebih luas. Sehingga akan terbentuk generasi bangsa unggul berwawasan luas yang sangat dibutuhkan negara dalam persaingan global.
Reading Habit
Di era modern, fakta menunjukkan begitu banyak negara maju dibentuk dari budaya baca. Mereka menempatkan buku sebagai kebutuhan utama layaknya pangan. Sehingga sering dijumpai sapaan di antara mereka saat berjumpa, berapa banyak buku yang kamu baca minggu ini?
Budaya baca yang sudah menjadi trademark negara maju bukan tanpa proses. Begitu panjang perjalanan sebuah negara untuk membuat kebiasaan baik ini menjadi rutinitas warganya. Tentu bukan hanya sekedar mengampanyekannya, tetapi juga menyiapkan seluruh fasilitas pendukungnya.
Di setiap pojok kota negara maju sangat mudah ditemukan sumber bacaan. Perpustakaan ditata sedemikian rupa sehingga setiap pengunjung yang berada di sana seakan berada di tempat rekreasi yang menyenangkan.
Pastinya diperlukan anggaran besar untuk mewujudkan perilaku budaya baca. Tetapi hasilnya sangat sepadan. Etos kerja yang dibangun darinya akan mendongkrak seluruh sektor kehidupan sebuah negara. Sehingga kualitas sumber daya manusianya menjadi yang terbaik dan siap menjadi competitor tangguh dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa.
Otokritik Hari Buku Nasional
Seperti diketahui, budaya baca di Indonesia relatif masih rendah. Bahkan tidak sedikit pakar pendidikan menyebutnya sebagai darurat literasi membaca. Menurut survey Unesco pada 2016 menyebutkan bahwa di antara 1000 penduduk Indonesia hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Ini berarti hanya 0,001 persen. Hal ini menempatkan Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvey.
Sesungguhnya upaya untuk menjadikan budaya baca sebagai bagian dari perilaku penduduk sudah dilakukan oleh pemerintah di awal tahun 2000-an. Bahkan, 17 Mei 2002 dicanangkan sebagai Hari Buku Nasional. Hal tersebut dilakukan sebagai pemacu agar minat baca masyarakat meningkat. Sehingga diharapkan setiap anak bangsa menempatkan buku sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Sejumlah program literasi disosialisasikan. Berbagai festival, forum, gerakan, dan komunitas penggerak literasi mulai dari daerah hingga pusat terus bermunculan. Terbitlah rasa optimis di setiap pemegang kebijakan bahwa peradaban baru di mulai di negeri ini. Hingga munculah release Unesco di atas.
Sejumlah kajian dilakukan. Diskusi, seminar, dan berbagai penelitian umumnya menyimpulkan bahwa terdapat permasalahan klasik ditemui. Pertama, sulitnya mendapatkan akses baca. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya sarana pendukung seperti perpustakaan dan pojok-pojok baca.
Selanjutnya, masih belum optimalnya sosialisasi tentang buku sebagai kebutuhan. Sehingga prosentase minat baca masih kalah dibandingkan prioritas kebutuhan lainnya.
Kemudian, mahalnya harga buku. Hal ini menjadi penyebab utama. Sehingga memaksa orang untuk menggunakan skala prioritas dalam memenuhi kebutuhan yang lebih mendesak. Akibatnya menempatkan buku sebagai pilihan terakhir.
Hal tersebut menujukkan bahwa keseriusan para pemangku kebijakan belum sejalan dengan program yang telah digulirkannya. Di satu sisi mendorong minat baca, di lain sisi kemampuan membeli sumber bacaan sangat terbatas.
Oleh karena itu, segencar apapun kampanye tentang Hari Buku Nasional tidaklah akan membuahkan hasil sesuai harapan, selama belum diatasinya permasalahan di atas.
Pemegang kebijakan seyogyanya menyadari bahwa akses sumber bacaan dapat ditempuh dengan berbagai cara. Jika gedung perpustakaan membutuhkan daya yang besar maka perpustakaan keliling dapat menjadi pilihan lain.
Begitupun dengan perpustakaan digital yang tidak membutuhkan banyak ruang, dapat menjadi alternatif solutif. Tinggal bagaimana keseriusan stakeholders dalam mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya. Tentu diperlukan biaya yang tidak murah. Tetapi jika pemerintah memberikan kemudahan dalam pelayanan internet, maka hal ini pun menjadi solusi terbaik. Bahkan akan berbanding lurus dengan cost yang telah dikeluarkan.
Seperti diketahui e-library sudah menjadi sarapan wajib di negara-negara maju. Maka tidak ada salahnya jika menirunya. Hal tersebut diperkuat bahwa orang Indonesia merupakan salah satu user media sosial terbesar.
Sering dijumpai banyak posting tulisan orang Indonesia menjadi trending topic di dunia maya. Artinya kemampuan literasi di bidang ini menjadi modal besar dalam meningkatkan kualitas literasi digital. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah peka dalam menangkap peluang ini. Tentunya dengan edukasi yang intens agar penggunaannya lebih bijak.
Simpulan
Akhirnya semangat untuk membuka jendela dunia melalui minat baca haruslah dimulai sejak dini. Bonus demografi yang dimiliki negeri ini merupakan potensi begitu besar yang harus diakomodasi dengan baik. Penyediaan sarana pendukung yang memadai. Political will yang serius dan pendampingan yang berkesinambungan diyakini akan meningkatkan kualitas literasi negeri ini. Sehingga pencanangan Hari Buku Nasional tidak hanya sekedar peringatan seremonial tetapi berdaya dan berhasil guna bagi kemajuan negeri tercinta.***
Profil Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun.
[/responsivevoice]