Prof. Dr. Dinn Wahyudin, MA
(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)
Awal 1960an di lembur wewengkon Priangan. Sarana prasarana jalan sangat terbatas. Jalan jalan masih taringgul berbatu dan tidak beraspal. Sarana mobilitas penduduk umumnya dengan menggunakan sepeda, jalan kaki, atau delman/sado. Sangat jarang ada kendaraan roda empat lewat ke jalan umum kecamatan apalagi ke desa. Sesekali oplet lewat kampung sungguh merupakan pengalaman langka. Anak anak sekampung nonton. Banyak di antara mereka mengejar dari belakang. Hanya sekedar ingin meraba oplet yang lewat.
Bagi anak anak di kampung pada waktu itu, kesempatan bisa meraba oplet sungguh suatu kebahagiaan tiada tara. Naik oplet belum pernah. Oleh sebab itu, kesempatan yang mungkin bisa diperoleh adalah mengejar oplet yang lewat di kampung, sampai berhasil meraba ketika oplet terus melaju.
Oplet
Oplet merupakan salah satu moda transportasi darat yang cukup popular. Pada era 950-an dan 1960-an, oplet mencapai masa jayanya karena menjadi kendaraan umum paling populer di kota kota, bahkan menjadi angkutan umum yang menghubungkan kota kabubaten ke kota kecamatan desa. Konon kata oplet berasal dari gabungan Opel Let atau Opel (merk pabrik yang memperoduksi kendaraan) dan Let (kecil). Jadi oplet artinya kendaraan kecil.
Untuk tertib berlalu lintas belok ke kiri atau ke kanan, oplet dilengkapi dengan lampu sein (sign lamp) yang bergerak ke atas ke bawah. Lampu sein ini yang sangat unik, berada di luar sisi kanan dan kiri. Klakson oplet juga unik karena terdapat di bagian luar. Memakainya harus dipencet karena terbuat dari karet.
Di kampungku, Kampung Sudimampir Kecamatan Tanjungkerta Sumedang. Oplet mulai dikenal masyarakat pada akhir 1950-an. Ada beberapa oplet yang mengambil rute kota Sumedang ke Cipadung/Tanjungkerta. Jumlah oplet yang lewat juga tak banyak. Dalam sehari, bisa dihitung dengan jumlah jari berapa oplet yang lewat.
Di Kota Sumedang, oplet berbagai rute, biasa mangkal di stanplat Ketib. Oplet tersebut ngetem, sampai beberapa jam, menunggu penumpang penuh. Demikian juga sebaliknya, masyarakat desa mau ke kota. Mereka menunggu beberapa jam sampai akhirnya ada oplet yang lewat. Jadi kehadiran opler lewat ke kampung kampung sangat terbataas.
Menjelang sore, tak da lagi oplet lewat. Apalagi pada malam hari. Selain terbatas penumpang yang bepergian, masyarakat dihantui ketakutan apabila malam akan tiba.
Hadirnya jasa layanan oplet pada awal tahun 1960an di kampungku, ternyata melahirkan pebisnis baru. Banyak warga etnis Tionghoa Sumedang atau warga lokal yang mulai merintis jasa layanan angkutan oplet ini. Umumnya oplet diberi nama. Misalnya dari etnis Tionghoa yang saya ingat antara lain : Oplet Dodge Sukmalaya, pemiliknya Kaseng, supir legendarisnya Mang Urip. Oplet Chechrolet Angkawijaya, pemiliknya Ko Otjun. Powerwagon Darawati (sejenis truk mini yang dimodifikasi menjadi kendaraan penumpang), pemiliknya Otjun.
Dari pengusaha lokal di kampung kami antara lain : Oplet Sri Waluya pemilik H Atma. Oplet Karangjaya, pemiliknya Apih H.Dahlan dengan supirnya kang Ayat. Oplet Layeut, pemiliknya Apih H.Parya. Dodge Sodara, pemiliknya H. Darya, dan oplet Sri Waluya, pemiliknya H. Atma. Itulah para joeragan Oplet di kampungku. Mereka berwiraswasta di bidang jasa angkutan darat yang memberi pengaruh juga pada perkembangan perekonomian, sosial, dan perkembangan kehidupan masyarakat pedesaan.
Gerombolan
Suasana di kampung kami di kaki Gunung Tampomas pada waktu itu, situasi sangat tidak aman. Suasana kampu menakutkan terutama menjelang malam. Gangguan gerombolan sering datang malam malam datang ke kampung. Mereka meneror. Mereka dengan senjata api di tangan, memaksa meminta uang, makanan ataupu perhiasan. Terkadang memaksa dengan kekerasan, malah berunjung dengan tembakan. Kematian bagi warga yang melawan atau tak memenuhi permintaan gerombolan tersebut.
Saya baru tahu, ketika ayah kami Almarhum H Asmo Djajawisatra berkata lirih, “Jang, sebenarnya gorombolan itu, banyak saudara kita. Mereka bergabung pada kelompok Darul Islam (DI) Tentara Islam Indonesia (TII). Mereka tidak puas dengan kebijakan Pemerintahan. Jadi akhirnya mereka mengganggu”. Oleh sebab itu, di akhir tahun 1950-an awal 1960 an, banyak warga Priangan di Pedesaan, sehabis waktu Isha, secara diam diam “mengungsi” ke luar rumah. Mereka keluar rumah di kegelapan malam, bersembunyi di pinggir kali, semak semak, atau di tempat lain yang sepi dan aman. Mereka kuatir dan takut bertemu dengan gerombolan DI TII.
Belakangan diketahui,sejarah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat dapat ditelusuri sejak 7 Agustus 1949. Pada hari itu, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Latar belakang pemberontakan DI/TII di Jawa Barat adalah ketidakpuasan Kartosoewirjo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia, yang kala itu masih dibayang-bayangi oleh kehadiran Belanda. Tantara kolonial Belanda ditakutkan akan datang lagi dan menguasai wilayah Indonesia.
Perundingan Renville pada 7 Januari 1948 antara pihak Indonesia dan Belanda juga menimbulkan masalah baru. Kubu Kartosoewirjo menganggap, keputusan terkait pemberian wilayah Jawa Barat sebagai bagian dari Belanda tidak mencerminkan arti kemerdekaan sebenarnya. Bahkan, kebijakan tersebut membuat Kartosoewirjo mengklaim Jawa Barat sebagai wilayah independen, bukan bagian Indonesia lagi. NII bertahan belasan tahun dengan cara gerilya di hutan-hutan di tanah Sunda untuk mempertahankan diri dari kejaran militer Republik Indonesia. Namun, gerakan NII ternyata juga meresahkan masyarakat. Masyarakat Priangan diteror dan sering berujung tragis dengan kematian warga yang dipergasa. Inna lilahi waina illahi rojiun.
Pager Betis
Operasi Pager Betis sukses. Pager Betis merupakan operasi penumpasan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Operasi ini melibatkan ribu warga sipil dan pasukan TNI untuk mengepung wilayah yang menjadi basis pemberontak. Nama “Pagar Betis” berasal dari taktik pengepungan yang digunakan.
Pasukan TNI dan masyarakat bekerja sama untuk membatasi pergerakan pasukan DI/TII, seperti pagar betis yang melindungi sebuah wilayah. Operasi itu dinamakan Pagar Betis, singkatan dari Pasukan Garnisun Berantas Tentara Islam yang melibatkan ratusan ribu rakyat untuk mengepung tempat-tempat persembunyian anggota DI/TII. Kolonel AH Nasution adalah perancang dan pemimpin Operasi Pagar Betis, yang digunakan untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Operasi ini melibatkan pengepungan wilayah-wilayah yang menjadi basis pemberontak.
Dalam kajian milter internasional, pager betis merupakan salah satu strategi operasi militer yang efektif dan telah dilakukan Indonesia. It occurred when Indonesia faced the Darul Islam forces in West Java, when the military applied the ‘fence of legs’ (pagar betis) tactic involving the police, civil defense (pertahanan sipil), as well as members of the Village Security Organization. (Indonesian Law Review, 2017).
Mulung Tanjung
Bagi para seniman, pengalaman partisipasi Masyarakat dalam operasi militer Pager Betis, ternyata menjadi inspirasi kawih atau nyanyian. Mang Koko Koswara menciptakan syair lagu Mulung Tanjung Panineungan. Lagu ini mengisahkan seorang pejuang yang gugur dan meninggalkan istri yang sedang hamil tua. Suaminya ikut berjuang dalam operasi pager betis dan pulang sudah tidak bernyawa lagi. Seorang perempuan yang sedang hamil memungut bunga tanjung yang berserakan di pekarangan rumah di waktu pagi. Simak cuplikan lagunya. Sang istri larut dalam kesedihan. Mengingat jabang bayi yang dalam kandungan, sudah tak punya ayah lagi.
Anaking jimat awaking
Basa ema mulung tanjung rebun-rebun
di pakarangan nu reumis kénéh
Harita keur kakandungan ku hidep
Geus opat taun ka tukang
Ema nyipta mulung béntang
Nu marurag peuting tadi
Béntang seungit ditiiran pangangguran
Anaking jimat awaking
Basa ema mulung tanjung reujeung hidep
Bet henteu sangka, aya nu datang
Ti gunung, rék ngabéjakeun bapa hidep
Nu opat poé teu mulang ngepung gunung pager bitis
Cenah tiwas peuting tadi
Layonna keur ka dieukeun, dipulangkeun
Harita waktu layonna geus datang
Ema ceurik ieuh balilihan
Ras ka hidep ieuh na kandungan
Utun inji budak yatim, deudeuh teuing
Harita waktu layon geus digotong
Ema inget ieuh kana tanjung
Dikalungkeun na pasaran
Kembang asih panganggeusan ieuh ti duaan.
Itulah sekilas suasana di kampungku pada awal tahun 1960an. Ketika pulang ka lembur, pengalaman masa lalu itu muncul. Mengingat kembali kejadian masa lalu di kampung. Salam. ***