Prof. Dr. Dinn Wahyudin
(Guru Besar Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia)
September 1919. Soewardi muda kembali ke Tanahair. Setelah mendekam di pengasingan yang dingin lebih dari 6 tahun di Negeri Belanda, ia kembali menghirup udara segar. Atmosfir kebebasan. Ada rasa gundah yang menyelimuti dirinya, ketika ia pulang dari pengasingan. Semangat juang untuk melawan penjajah Belanda tak pernah luntur. Sebagai wartawan muda yang kritis, ia sering membuat pemerintah Hindia Belanda murka. Artikel opini kritis menentang penjajah, banyak dimuat di Koran berbahasa Belanda dan bahasa Melayu antara lain De Expres, Midden Java, Oetoesan Hindia, dan Tjahaja Timoer.
Salah satu buah karya tulisannya bertajuk Seandainya Aku Seorang Belanda atau judul aslinya Als iik Een Nederlander was menjadi puncak kemarahan Sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Buah karya tulis itulah yang akhirnya mengantarkan dia ke tempat pengasingan di Belanda. Ia dan dua rekan yang lain yaitu Doewes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ditangkap. Mereka digelandang. Mereka dibuang ke pengasingan di Negeri Belanda.
Usai enam tahun pengasingan, Soewardi merasa perlu merubah strategi dalam melawan kaum kolonial penjajah Belanda. Ia merubah strategi pembangkanga n, tak melalui tulisan yang kritis tajam dan menggigit. Ia berganti arah dengan mendidik generasi muda kaum pribumi melalui jalur pendidikan. Ia dan kawan kawannya mendirikan Taman Siswa atau National Onderwijs Institute Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922.
Dalam suatu dokumen tertulis: Soewardi began to change his radical style in a movement. He chose education as his struggling epidemic, demikian tulis reportase VOI (2021) ketika menulis kilas balik sang Pahlawan Pendidikan – Soewardi atau Ki Hajar Dewantara.
Pedagogi Welas asih
Kisah Soewardi yang merubah strategi melawan Belanda melalui pendidikan sangat menginspirasi. Lewat tiga semboyan yang melegenda Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, sentuhan Soewardi atau Ki Hajar Dewantara telah membumi. Melalui Perguruan Taman siswa, secara bertahap semangat membangun generasi muda Indonesia melalui pendidikan terus dipompakan ke seluruh pelosok negeri.
Spirit “Di depan memberi contoh, di Tengah membangun semangat, dan di Belakang memberikan dorongan” adalah refleksi pentingnya pedagogi yang dibangun atas dasar kasih sayang yang tulus. Itulah pedagogi welas asih.
Merajut peradaban bangsa melalui metode asah, asih, asuh adalah esensi universal pembelajaran bermakna. Konsep pembelajaran yang bersendikan welas asih dengan dilandasi oleh semangat profesionalism, care and dedication based on love. Tiga aspek ini sangat universal dan membumi.
Kata asah atau memahirkan yaitu memberi makna bahwa dialog pembelajaran yang dibangun guru beserta peserta didik patut dilandasi atas hal yang esensial, substantif dan perlu, guna mengusung aspek perolehan pengalaman belajar yang bermakna. Meaningful learning experience.
Kata asih atau kasih sayang yaitu mengedepankan dialog pedagogis yang dibangun guru kepada peserta didik yang dilandasi atas dasar profesionalisme dan cinta kasih. Relasi empati dan simpati dalam dialog edukatif menjadi penciri pembelajaran yang welas asih. Profesionalisme dan kelemahlembutan pendidik dalam merawat peserta didik dengan segala keragamannya sangat dipertaruhkan. Profesional dalam menguasai keilmuan atau bidang masing masing tak cukup bagi seorang guru. Ia masih dituntut untuk mampu dan peduli dalam merawat peserta didiknya dengan sentuhan welas asih. Kasih sayang sepenuh hati dalam merawat peserta didik inilah sering disebut nurturing love. Kondisi ini lah yang tak boleh diabaikan.
Kata asuh atau membimbing lebih dimaknai bahwa kegiatan pembelajaran lebih bercirikan pada aspek bimbingan. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik ke arah yang lebih baik.
Kasih sayang & Toleransi
Seorang tokoh besar dan pahlawan nasional, KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mendirikan Muhammadiyah. Suatu organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pelayanan sosial dan pendidikan.
Di kalangan organisasi Muhammadiyah, salah satu gagasan inspiratif KH Ahmad Dahlan yang sampai sekarang diteladani adalah semangat kasih sayang dan toleransi adalah kartu identitas komunitas islam. Dua kata mujarab yaitu “kasih sayang” dan “toleransi” telah menjadi inspirasi oleh para pendidik di kalangan Muhammadiyah pada periode berikutnya.
Tokoh lain, seorang ulama besar yang telah dianugrahi Pahlawan Nasional, yaitu KH Hasyim Asari merupakan figur yang memberikan warna baru dalam sistem pendidiksn pesantren dan madrasah. Selain sebagai pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU), beliau tercatat sebagai pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Beliau dijuluki gelar sebagai Hadratussyaikh yang artinya Maha Guru.
Di kalangan lembaga pendidikan NU, salah satu gagasan pemikiran nya adalah Dakwah dengan cara memusuhi ibarat orang membangun Kota, tetapi merobohkan Istananya. Oleh sebab itu perlunya berdakwah dengan kasih sayang. Malahan bagi tokoh NU lainnya, KH Mustofa Bisri misalnya, ia berujar: Asal kita mendahulukan kasih sayang, kita bukan hanya akan masuk Surga, tetapi kita sudah di Surga itu sendiri. Itulah betapa dahsyatnya sentuhan kasih sayang dan pegagogis welas asih perlu diterapkan dalam sistem pendidikan, termasuk sistem pendidikan yang berbasis keagamaan dan pesantren.
Islam adalah agama yang menjunjung toleransi, cinta, dan kasih sayang. Bahkan Islam diturunkan dengan penuh kasih sayang kepada semua umat manusia. Sebagai agama rahmatan lil alamin, Islam mengajarkan bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar umat manusia. Tetapi ungkapan kasih, berlaku juga bagi hewan, tumbuhan dan alam sekitar.
Kata Ar Rahman dan Ar Rahim merupakan dua asma Allah yang bermakna pengasih dan penyayang.
Ditegaskan oleh Rasulullah SAW, tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai untuk saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. (HR Bukhari dan Muslim).
Begitu kuatnya kekuatan welas asih dalam pembelajaran, Bell Hooks (2003) dalam Teaching Community: A Pedagogy of Hope, berujar: When Teachers teach with love, combining care, commitment, knowledge, responsibility, respect, and trust, we are often able to enter the classroom and go straight to the heart of the matters, to create the best climate for learning.
Ketika guru mengajar dengan penuh rasa welas asih atau kasih sayang, yaitu menggabungkan aspek perhatian, komitmen, pengetahuan, tanggung jawab, rasa hormat, dan kepercayaan, sesungguhnya kita telah langsung ke inti masalah: menciptakan iklim terbaik untuk belajar.
Itulah hal yang sepatutnya kita ikhtiarkan dalam menyambut Hardiknas. Salah satu ikhtiar strategis dalam menguatkan sistem pendidikan nasional kita.***
Profil penulis
Prof. Dr. Dinn Wahyudin, M.Si merupakan ketua umum HIPKIN ( Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia) sekaligus dosen jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Email: dinn_wahyudin@upi.edu