Oleh: Wawan Kuswandi
Kepala SMPN 3 Lembang/ Plt. Kepala SMPN 5 Lembang
Istilah “branding” berasal dari istilah dunia usaha atau dunia bisnis. “Branding” merupakan pencitraan agar suatu produk dapat menarik dan melekat di benak konsumen. Atau Branding itu adalah suatu usaha untuk menciptakan sebuah merek dengan karakteristik image yang unik dan spesifik.
Tujuan utama dari suatu branding adalah untuk mengenalkan “brand” perusahaan. Brand/merek adalah nama, istilah, desain, simbol, atau ciri-ciri lainnya dari sebuah produk atau jasa yang menjadi ciri khas dari produk/ jasa yang lain. Kita telah mengenal ribuan atau lebih merek/ brand dagangan, seperti nama-nama merek makanan-minuman, pakaian, bahan bangunan, obat-obatan, kendaraan, alat komunikasi, perlatan elektronik, dan sebagainya. Setiap merek dagangan biasanya memiliki ciri khas masing-masing sepert logonya, warna dominan, bentuk, rasa/ manfaatnya, dan karakteristik lainnya.
Istilah “branding” saat ini diadopsi dalam dunia persekolahan, sehingga muncul “School Branding” atau pencitraan sekolah yang betujuan untuk menciptakan “image” sekolah di masyarakat. Untuk pencitraan sekolah seperti halnya nama-nama merek produk, sekolah perlu menciptakan karakteristik-karakteristik visual yang mudah diingat dan dapat dibedakan dari sekolah lain. Selain karakteristik visual karena sekolah itu berkaitan dengan produk hasil pembelajaran yang berbeda dengan barang produksi, adalah mutu hasil pembelajarannya. Mutu hasil pembelajaran adalah siswa dan lulusannya yang memiliki nilai/value.
Berdasarkan uraian di atas, ada tiga hal yang dapat kita klasifikasikan dalam pencitraan sekolah (School Branding).
1. Karakteristik Visual Sekolah. Sekolah perlu memiliki ciri khas yang bisa dilihat dan bisa membedakan dari sekolah lain seperti design bangunan sekolah atau gerbang sekolah, warna khas sekolah, logo, seragam khas, dan publikasi-publikasi di berbagai kegiatan sekolah, prestasi sekolah baik di media cetak ataupun media sosial.
2. Visi dan “tagline” Sekolah yang menarik. Semua sekolah sudah memiliki visi. Visi merupakan harapan ke depan yang menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi bagi warga sekolah. Visi dibuat untuk jangka waktu empat atau lima tahun. Istilah Tagline merupakan kalimat pendek yang dipakai untuk mempromosikan sebuah merek dagang atau perusahaan, sekolah. Seorang penulis yang juga ahli dalam memberikan masukan tagline, Eric Swartzm menyebut bahwa tagline merupakan susunan kata yang tidak lebih dari tujuh kata yang ikut serta dalam logo atau merek brand untuk segmen audience tertentu dan untuk menarik minat publik. Jadi dapat disimpulkan bahwa tagline adalah frasa yang digunakan untuk sebuah bisnis guna menarik perhatian konsumen. Di Indonesia, tagline juga memiliki namanya sendiri seperti Jargon, Moto dan Semboyan. Kita mengenal beberapa tagline seperti “Yamaha Semakin di depan”,”Orang Pintar Minum Tolak Angin”. “Apapun makanannya, Minumnya Teh Botol Sosro”, “Bandung Barat Lumpaaat”. Contoh jargon/ tagline pendidikan seperti “Temukan kehebatan diri sendiri”, “Masa depan diawali dari sini”, “Berani menjadi yang terbaik”, “Sekolahku Masa depanku”, “Raih lebih tinggi, Lihat lebih Jauh”, dan sebagainya.
3. Para siswa dan Lulusan yang punya nilai/ value artinya lulusan yang memiliki kompetensi baik sikap, pengetahuan, atau keterampilan. Untuk menciptakan mutu siswa dan lulusan tentu tidak mudah karena banyaknya variable yang mempengaruhinya. Namun komitmen sekolah terhadap “core business” sekolah yakni pendidikan yang berorientasi pada siswa dan pembelajaran menjadi garapan utama sekolah. Merekalah sesungguhnya yang akan menyampaikan pesan-pesan utama sekolah kepada masyarakat luas. Mereka juga yang akan menyampaikan “testimony” dari mulut ke mulut kapada orang-orang lain.
Dari sekian unsur-unsur “branding” yang perlu diciptakan untuk memberikan brand sekolah, memerlukan kreativitas dan inovasi sekolah. Sekolah perlu berinovasi bagaimana membuat logo yang keren dan menarik, seragam khas yang elegen, dan ciri-ciri khas sekolah lainnya, memanfaatkan teknologi seperti website sekolah atau media sosial sekolah yang dapat dijadikan untuk mempublikasikan berbagai kegiatan, prestasi, dan testimoni tentang sekolah. Dalam berkreativitas dan berinovasi, kita dapat melakukan dengan cara berkreativitas sendiri atau dengan model ATM (Ambil, Tiru, Modifikasi).
Berkaitan dengan inovasi sekolah, saya terkesan dengan cerita berikut ini.
Beberapa tahun lalu, saya bertemu dengan salah seorang kepala sekolah sebuah yayasan Islam dari luar provinsi. Dia menceritakan bagaimana membangun sekolah yang hampir tutup karena jumlah siswanya tinggal 9 orang. Sang kepala sekolah adalah seorang sarjana teknik atau “tukang insinyur” (istilah Si Dul Anak Sekolahan). Dari 9 orang tersebut, datang ke sekolah seperti bergantian, hari Senin datang 5 orang, 4 orang absen, hari Selasa sebaliknya. Kemudian sang kepala sekolah mendata hobi anak-anak tersebut, dan dia memutuskan bahwa setiap hari anak-anak berlatih, belajar, mengerjakan hobinya masing-masing di sekolah dengan bimbingan pelatih atau guru sesuai hobinya. Ada yang hobinya bidang olahraga, seni, mata pelajaran yang disukai. Setelah itu kehadiran para siswa di sekolah menjadi 100% bahkan anak-anak tersebut juga kadang membawa teman-temannya yang memiliki hobi yang sama dan pindah dari sekolah lain ke sekolah tersebut. Tetapi ada yang harus diataati oleh semua siswa adalah mereka tetap harus “mengaji” belajar keagamaan dan melaksanakan sholat sesuai jadwal. Dan yang menarik bahwa hari Minggu pun anak-anak juga orang tuanya meminta supaya tidak libur, dan anak-anak tetap berlatih dan mengerjakan hobinya di sekolah, mereka mau membayar tambahan biaya untuk pembimbing dan lain-lainnya. Pada saat saya bertanya bagaimana dengan belajar mata pelajaran lain, dia membuat strategi bahwa untuk belajar mata pelajaran yang harus diajarkan, mereka diberikan kursus cepat menjelang Penilaian Akhir Semester atau Akhir Tahun, atau Ujian Sekolah. Hasil dari proses pembelajaran seperti itu, anak-anak diikutsertakan dalam berbagai lomba sesuai bidangnya masing-masing, dan anak-anak tersebut memperoleh kejuaraan di berbagai tingkat. Konsekwensinya, nilai anak-anak untuk mata pelajaran atau bidang lain tidak sebaik bidang yang mereka geluti bahkan nilainya “jeblok”, tetapi orang tua siswa memahami dan menerima kondisi tersebut karena adanya komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah. Tahun-tahun berikutnya, pendaftar ke sekolah tersebut mulai meningkat karena sekolah tersebut dikenal sebagai sekolah berprestasi di kotanya. Para calon siswa bukan hanya ditanya bakatnya tetapi dites bakatnya, bagi yang hobinya olahraga, dites dengan menggunakan alat untuk melihat kesesuaian anatominya. Dan sekarang sekolah tersebut merupakan sekolah yang terkenal di kota itu dengan biaya atau SPP yang cukup mahal.
Cerita yang kedua adalah cerita Pak Munif Khatib, sang pengarang buku “Sekolahnya Manusia” dan “Gurunya Manusia”. Keadaan awal sekolahnya hampir sama dengan cerita di atas. Sekolahnya hampir bangkrut dan bubar. Namun dia menggunakan model pembagian kelas/ kelompok belajar berdasarkan Kecerdasan Jamak atau “Multiple Intelligencies” dari teorinya Howard Gerdner.
Pak Munif melakukan tes kecerdasan setiap anak yang daftar di sekolahnya dengan instrument tertentu yang beliau susun, dan mengelompokkan para siswa sesuai jenis kecerdasannya. Kelompok kecerdasan terdiri dari kecerdasan linguistic, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musical, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Kemudian melayani pembelajaran sesuai dengan jenis kecerdasannya berdasarkan karakteristik jenis kecerdasan masing-masing. Guru-guru dilatih untuk membuat perencanaan dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan karakteristik tiap jenis kecerdasan. Tentu sekalohnya sekarang menjadi sekolah yang terkenal dan memiliki segmen pasar yang luar biasa.
Dari kedua cerita tersebut, sekolah-sekolah itu bukan sekolah dengan “Best Input”, tetapi sekolah-sekolah “Best Process”. Mereka tidak masalah dengan kualitas input siswa tetapi para siswa dilayani sesuai dengan potensinya untuk berkembang secara optimal. Inovasi-inovasi tersebut tentu menjadi “Branding” sekolah yang luar biasa. “Branding” Sekolah memerlukan inovasi sekolah baik dalam membuat berbagai ciri khas sekolah, maupun dalam melaksanakan proses pembelajaran. ***
cerita yang sangat bagus….., bisa diterapkan di ekolah yang siswanya antara hidup dan mati