Cerpen Guru: Andri Rahmansah
(SMPN 3 Ngamprah)
Mentari pagi mulai menggeliat, itu tandanya giat pagi siap dimulai. Seperti biasa, setiap pagi adalah jadwalku tatap muka dengan anak-anak. Hal yang memang sangat kusukai ketimbang ngagudrut[1] administrasi hehe.
Kamis itu, 12 Oktober 2017 jadwalku di kelas 9D, 9E, 9C, dan 9F. Setelah bel masuk bebunyi, aku pun meluncur ke kelas pertama, yaitu 9D. Saat pembelajaran dimulai, “tetangga sebelah” memang agak gaduh karena guru tidak hadir dengan satu alasan, sakit. Namun, sesekali sunyi barangkali mereka sedang mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh petugas piket. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, hingga bel pergantian jam berbunyi. Aku tutup pembelajaran dengan mengucapkan hamdallah bersama-sama siswa, “Alhamdulillah.”
Saat akan memasuki kelas berikutnya, 9E, mendadak kelas sepi, kutengok ke dalam ternyata tak berpenghuni, kecuali meja dan kursi yang menjadi saksi bisu kehidupan yang terjadi saat itu. Ternyata sebagian besar siswa sedang di lapang sembari menghormat bendera.
“Kenapa mereka?” tanyaku dalam hati.
Pikirku mereka mendapat hukuman karena tidak mengerjakan PR maklum jamkos (baca: jam kosong) merupakan “kemerdekaan” bagi mereka. Seusia mereka, memang rentan terkontaminasi oleh apapun, termasuk lingkungan. Pun memang masa-masa storm and stress. Just for having fun. Barangkali sangat identik dengan mereka hingga tugas yang harus mereka kerjakan malah dipakai untuk bermain atau boleh jadi mereka berulah hingga hukumanlah yang pantas mereka dapatkan.
“Arggghhhhhhhh, itu suudzonku saja,” kataku dalam hati.
Kusuruh beberapa anak yang melintas di depanku, yang saat itu akan berolahraga, untuk memanggil mereka masuk kembali ke kelas karena memang jadwalku dan akulah yang “berkuasa” saat itu. Saat menunggu itu, ada anak yang nampaknya ingin mengajakku ngobrol. Akhirnya aku ladeni barangkali dia mencari tempat untuk berbagi. Agak lama juga pembicaraan kami hingga beberapa anak yang konon katanya sedang dihukum itu masuk kelas.
“Kalian kenapa? Dihukum?” tanyaku. “Iyaaaa, Pak” jawab Ratih beserta temannya serentak. “Tugasnya belum selesai Pak, bikin naskah pidato pake Basa Sunda. Susah Pak, kan ga boleh sama juga,” lanjut Tri. “Yaaaa baguslah, emang ga usah sama juga kali,” kataku. “Ihhh meuni kitu, Pak,”[2] ketus mereka. “Coba panggil mereka,” kataku sambil menunjuk beberapa siswa yang nampak enggan masuk.
Salah satu di antara mereka keluar memanggil temannya. Tak lama kemudian datang kembali dengan nihil. “Ga mau masuk, Pak. Takut katanya,” kata Ayu.“Ohhhh yaaaa, takut kenapaaaa?” coba sekali lagi kataku. Nah, saat Ayu memanggil temannya, aku masih menggali informasi tentang kejadian yang sebenarnya karena memang terasa ada yang ganjil. Tiba-tiba mereka datang sambil bernyanyi, “Selamat ulang tahun kami ucapkan.”
Kelas berubah menjadi gegap-gempita sebagian bertepuk tangan sebagian lagi bersorak sorai persis konser musik.“Pak, ulang tahun kan?” tanya Gema. Aku pun bingung sambil berkata, “Ulang tahun? Siapa yang ulang tahun?” sejenak kelas terdiam kemudian ramai lagi sesekali terdengar, “Ahhhh bapak mah acting huhahahaha” Aku pun berusaha membuat mereka tenang.
Setelah itu, aku jelaskan bahwa hari itu memang tidak ada yang ulang tahun, tetapi mereka tetap tidak percaya. “Kita pengen yang pertama ngucapin, Pak,” kata mereka.
“Hmmmm so sweeet,” dalam hati haha.“Ehhhhhh, ini gimana kuenya, Pak?” celetuk salah satu di antara mereka. “Huahahahahahaha,” aku tak kuat menahan tawa dan membuat mereka hanya planga-plongo hehe.
Akhirnya aku panggil KM ke depan ehhhh tapi malah Diza, Yeni, Ami pun ikut ke depan. Aku tanya, “Kalian tahu dari mana kalo hari ini ulang tahun?” “Dari TU, Pak,” serentak mereka jawab. Akhirnya aku buka dompet dan kuperlihatkan identitasku dengan kutunjukkan SIM kepada mereka.
“Bahahahahahahhkkkk,” tetiba KM tertawa terbahak-bahak sambil melihat teman-temannya. Terdengar sayup-sayup, “Gimanaaaa bener nggak?” “Arggghhhhh salah, bukan sekarang,” ujar sang KM.
Tak lama berlalu, seperti biasa terjadi saling menyalahkan di antara mereka hingga terjadi riuh seperti saat konser musik. Kukondisikan lagi agar kelas tetap istiqomah dalam jalurnya walau terlihat sangat jelas mimik kecewa dan malu yang tak bisa mereka sembunyikan.
Sebagai apresiasi terhadap perhatian mereka terhadapku sebagai wali kelasnya, kuajak mereka memakan kue nanti saat istirahat. Sejatinya mengenang kelahiran hanyalah mengurangi kuota nafas yang telah Allah Swt. tetapkan, jauh sebelum kita berkelana di dunia. Karena itu, kupimpin do’a agar diberi keberkahan terutama istiqomah dalam kebaikan mengingat boleh jadi ada di antara mereka kelak menarikku ke surga-Mu di Yaumul Hisab, semoga! Aamiin.
Profil Penulis: Andri Rahmansah lahir di Cimahi, 17 Oktober 1987. Pria plegmatis itu berpofesi sebagai guru di SMPN 3 Ngamprah sejak 1 Januari 2011. Alumnus FPBS UPI itu sedang berjuang agar profesi yang sedang dijalaninya bukan hanya menggugurkan kewajiban, tetapi juga memenuhi kebutuhan.