Achmad Jumaydi. S.Pd. Gr
(SMPN 4 Cipongkor)
Melesatnya pertumbuhan teknologi di era 4.0 ini, memberikan konsekuensi pada tantangan hidup masyarakat, terutama pada sektor mata pencaharian. Beberapa pekerjaan mulai hilang dan tergantikan eksistensinya, Contohnya tukang semir sepatu, tukang reparasi paying, dan tukang patri. Banyak orang tidak memerlukan lagi jasa mereka, sehingga orang yang menjalani profesi tersebut, jarang terlihat batang hidungnya.
Pekerjaan pada abad 21 ini, bersifat lebih fleksibel dan tampak menembus batas-batas serta kaidah-kaidah yang selama ini membelenggu. Pekerjaan yang tersedia umumnya lebih bersifat multicultural, multidimensi, dan multinasional. Kemajuan zaman ini didukung dengan semakin meningkatnya masyarakat yang konsumtif, sehingga tuntutan hidup praktis, mudah, murah dan cepat mendorong percepatan dari teknologi itu sendiri. Semua yang terjadi telah berorientasi pada sebuah tuntutan kerja otomatis, karenanya peran manusia mulai tersubtitute secara masif.
Era industri yang belakangan digaungkan, semakin mendikotomi peran manusia dengan mesin. Segala bentuk pembangunan yang dilakukan, akan sepenuhnya menitikberatkan pada mekanisme kerja dari mesin. Seperti halnya mesin manufaktur yang menggantikan kerja buruh, atau mesin ATM yang mengambil peran teller bank. Manusia akan mengambil pekerjaan dari sisanya. Pekerjaan-pekerjaan yang secara teknis membutuhkan pendekatan secara insaniah dan sulit digantikan oleh robot yang akan bertahan di zaman itu. Salah satunya profesi guru.
Pembentukan mental karakter serta penumbuhan budi pekerti, harus dilakukan oleh manusia yang disebut “guru”. Namun pekerjaan guru pun bukan pekerjaan yang aman dari zaman. Peran guru akan terancam, jika manusia yang menjalani profesi itu, lagi-lagi tidak adaptif mengaktualisasikan dirinya dengan kemajuan teknologi. Beberapa pengamat menilai bahwa, tidak ada industri yang tidak ada peran manusia. Kendati demikian, pada akhirnya pekerjaan yang mengandalkan peran manusia adalah pekerjaan “sisa” dan sangat terbatas. Perlu manusia unggul yang berada dalam posisi itu, karena sekali lagi, mesin telah mengendalikan hajat hidup orang banyak di masa depan.
Narasi tentang kemajuan teknologi yang akan mengendalikan peradaban mulai banyak digaungkan dengan cara-cara kreatif. Salah satunya yang dilakukan dalam industri film. Orang-orang krearif berpikir bahwa wacana ini akan lebih efektif jika dikampanyekan secara tidak langsung dan menyentuh alam bawah sadarnya. Salah satunya bisa dilihat dari film animasi Wall- E dari Pixar Studio. Film itu menggambarkan kondisi manusia ribuan tahun ke depan. Planet bumi dianggap tidak steril untuk dihuni, karena pola hidup manusia yang tidak memikirkan lingkungan.
Akhirnya manusia yang tersisa terbang meninggalkan bumi dan mereka hidup di dalam pesawat antariksa super besar yang segala aktivitasnya dilayani oleh robot. Manusia disana digambarkan bertubuh buntal, karena semua pekerjaan sudah diambil alih oleh robot. Gambaran hidup seperti itu merupakan sebuah keniscayaan dan mungkin saja terjadi suatu saat nanti, karena kemajuan teknologi tidak mungkin dihentikan bahkan dibendung. Perilaku manusialah yang harus mengimbangi kemajuan zaman, jika kita tidak mau tergerus oleh kemajuan zaman itu sendiri.
Kaitannya dengan pembelajaran di sekolah, abad ini menuntut peserta didik memiliki kecakapan dan kompetensi khusus dalam menghadapi tantangan zaman. Namun sayangnya, pembelajaran di banyak sekolah, belum sepenuhnya membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan zaman. Salah satunya dengan dihilangkannya mata pelajaran TIK, yang seharusnya semakin digalakan. Walaupun alasan mata pelajaran TIK dihilangkan, salah satunya karena IT harus terintegrasi dengan semua mata pelajaran.
Namun, tidak semua guru mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam bidang IT. Masih banyak guru-guru yang menjalankan fungsi keguruannya secara tradisional, artinya pembelajaran yang dilakukan masih berkutat pada hapalan, transfer ilmu masih dengan metode ceramah serta indikator keberhasilan dalam pembelajaran masih menekankan pada ulangan tulis. Pendekatan tradisional seperti demikian kurang mampu mengasah dan merangsang keterampilan berpikir kritis atau kemandirian siswa dalam bersikap.
Institusi sekolah, dimana didalamnya terdapat peserta didik yang dipersiapkan untuk menghadapi tantangan zaman, masih mempertimbangkan aspek formalistis daripada ketercapaian peserta didik dalam pengembangan minat dan bakat. Pelajaran yang ditawarkan dalam kurikulum kurang mengakomodir kebutuhan bakatnya untuk berkembang. Jika peran guru di sana masih dilingkupi dengan aturan kaku, sehingga tidak memunculkan inovasi dalam pembelajaran untuk anak, maka tinggal menunggu bom waktu.
Pemikiran yang “Out Of The Box” harus dilestarikan dan harus meninggalkan gaya-gaya lama dalam belajar. Sekolah-sekolah yang secara akses pendidikan mengalami kendala dan lingkungan pendidikan yang kurang mendukung akan mengalami kesulitan dalam berkembang, dan jika ini dibiarkan akan terjadi Lost Generation. Kita tentu sudah sering mendengar bahwa Setiap individu terlahir unik, spesifik dan otentik, namun sayangnya tiga nilai kemandirian itu kurang dijunjung tinggi sebagai sebuah fitrah manusia. Pendidikan haruslah mampu mengintegrasikan dunia nilai-nilai dengan pribadi anak dan mensinergikan dunia anak dengan dunia nilai-nilai. Sayangnya hal mendasar semacam itu kurang dimaknai sebagai sebuah Konsensus Pendidikan.
Nilai-nilai kemandirian dalam si anak akan memunculkan aneka ragam kreativitas. Sudah sepantasnya pendidikan hari ini mampu mengelaborasi dan memfasilitasi bakat serta minat peserta didik. Tantangan zaman sekarang ini memaksa peserta didik untuk mendalami keterampilan khusus sebagai sebuah bekal hidup di alam modern saat ini. Peran sekolah tentu sangat berpengaruh dalam hal ini. Sekolah harus mengupayakan dan memfasilitasi agar Keterampilan itu dapat dimiliki peserta didik, sehingga peserta didik tersebut mampu bertahan dan tidak tergantikan oleh robot dalam pekerjaanya. Keterampilan itu sering dikenal dengan 4C, yakni, Critical Thingking, Collaboration, Communication, dan Creativity.
1.Critical Thinking
Berpikir kritis adalah berpikir mandiri tanpa adanya intervensi apapun. Berpikir kritis disini perlu dimiliki oleh peserta didik kita, karena mereka akan menghadapi berbagai permasalahan rumit, yang memerlukan pemahaman interkoneksi dalam informasi sebagai jalan penyelesaiannya. Mereka harus bisa memilah kebenaran dan kamuflase, membedakan fakta dengan opini, dan lain sebagainya. Beberapa hal perlu menjadi bahan evaluasi serius terkait cara guru dalam melaksanakan pengajaran. Menumbuhkan keterampilan berpikir kritis ini sering kali kurang terpriorotaskan bahkan pengajaran yang dilakukan malah menjadi dekontruksi. Ketika anak bertanya dianggap bodoh dan ketika anak menyanggah guru dianggap tidak sopan, maka hal itu akan mematikan daya kritis siswa. Peran guru harus bisa menyeting lingkungan agar dapat mendukung pada kemajuan belajar anak.
2.Collaboration
Berkolaborasi adalah sebuah bentuk tanggungjawab kolektif. Di zaman ini kolaborasi sangat dibutuhkan sebagai salah satu kecakapan abad 21. Setiap peserta didik yang terlahir dengan bakat dan minat yang berbeda-beda dituntut mampu bersinergi dengan pihak lain yang memiliki bakat yang beranekaragam. Mereka harus saling beradaptasi dalam peran dan tanggungjawabnya sehingga nantinya akan saling mengisi dan menyelesaikan tugas bersama.
Satu hal yang sangat disayangkan dalam penerapan di dalam kelas, Alih-alih berkolaborasi, yang terjadi di dalam kelas adalah berkompetisi. Ini secara tidak sadar terjadi melalui mekanisme perankingan dalam raport. Sistem perankingan itu gagal dalam menjadi alat evaluasi dan motivasi diri karena yang terjadi adalah hasrat saling bersaing dan membuktikan siapa yang lebih unggul. Hal itu akan semakin mendikotomi anak pintar dan anak bodoh. Anak yang masuk 10 besar akan menganggap diri mereka istimewa dan diluar itu akan menganggap diri mereka bodoh. Guru harus merubah mindset anak seperti itu.
Anak harus ditumbuhkan kesadaran hidup simbiosis, tidak ada lagi yang berpikir bahwa dirinya adalah produk gagal, karena setiap orang memiliki perannya masing-masing. Kolaborasi dalam pembelajaran kelas harus didukung dengan tugas-tugas yang bersifat kelompok. Guru harus mampu mendesain pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah, sehingga bakat dan skill dari setiap individu dalam kelompok itu dapat tersalurkan dan mencapai solusi bersama. Pembelajaran berkolaborasi ini memfokuskan pada pembentukan karakter peserta didik dalam mengambil sikap di tengah kelompoknya. Anak harus belajar tentang tanggungjawab dalam tim, belajar berdiskusi dalam kompromi untuk mencapai suatu tujuan, belajar dalam memahami tugas dan tanggung jawab setiap anggota kelompok, serta menghargai setiap kerja orang lain.
3.Communication
Secara sederhana, komunikasi ini dapat diartikan sebagai transaksi informasi. Saling menerima dan memberikan umpan balik. Komunikasi perlu mendapat perhatian lebih sebagai pembelajaran di dalam kelas. Karena di zaman Hyper realitas seperti sekarang ini akan mendistorsi setiap kebenaran. Komunikasi juga perlu ditekankan sebagai kemampuan dalam menyalurkan keterampilannya kepada khalayak. Komunikasi ini harus terus dilatih di dalam kelas karena berkaitan dengan soft skill dan etika. Komunikasi disini tidak hanya dalam arti, anak harus lancar dan fasih dalam berkata-kata, atau dapat menyusun kalimat dengan pembendaharaan kata yang banyak, tapi anak harus mampu menyampaikan informasi yang dapat dipahami oleh orang lain, sehingga tidak terjadi miss persepsi. Komunikasi yang terjadi dalam media sosial kadang kurang mampu mengakomodir gaya komunikasi di dunia nyata. Ketika seseorang berkomunikasi secara langsung, tidak hanya lisan yang berperan disiana, melainkan juga terkait dengan batin dan body language. Maka, perlu ada pembelajaran dalam komunikasi sehingga anak mampu bersikap yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat.
4.Creativity
“Imagination is more important than knowledge ” begitulah kurang lebih Albert Einstein yang seorang ilmuan mengungkapkan hasil kesimpulannya. Kreativitas mampu menembus sekat-sekat, melesat dengan kecepatan tinggi, dan dapat menjadi pondasi dalam membangun suatu peradaban. Di sekolah kreativitas harus ditumbuhkan pada setiap individu. Kreativitas merupakan sebuah kemampuan yang dapat dilatih selama lingkungannya dapat mendukung anak untuk berkembang dan mengasah kreativitasnya. Segala sesuatu yang berada disekitar peserta didik adalah bahan dalam mengembangkan suatu kreativitasnya. Referensi yang hadir dalam memori otaknya adalah kumpulan data yang terserap dari pengalamannya dalam kesehariannya, yang pada akhirnya individu terebut dapat memilah dan “mengawinkan” satu gagasan dengan gagasan yang lainnya dalam referensi otaknya, sehingga terjadilah sesuatu yang orisinal. Keaslian disini tidak bersifat sesuatu yang benar-benar baru, melainkan adanya suatu kemampuan dalam menggabungkan suatu informasi yang tidak saling berkaitan. Pentingnya kreativitas ditumbuhkan dalam pribadi peserta didik adalah sebagai bekal dalam memecahkan masalah dan menjawab tantangan dalam alam modern dewasa ini.
Dari apa yang telah diwacanakan di atas, haruslah menjadi otokritik bagi semua pihak, dan menjadi bahan evaluasi untuk sama-sama berbenah diri dalam menyambut perubahan zaman. Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat di abad 21 ini harusnya menjadi acuan dalam mengubah gaya pendidikan dan cara peserta didik dalam belajar, sehingga Kurikulum hari ini tidak ditertawakan oleh zaman. ***
Penulis adalah Guru Seni Budaya SMPN 4 Cipongkor
Editor: Dian Diana