
“…rencana untuk memberdayakan siswa SMPN Satap Lembang Cililin untuk menjadi guide wisata ke Gunung Lumbung, tentu menjadi inovasi yang dapat meningkatkan kompetensi mereka agar memiliki kecerdasan majemuk.”
Gunung Lumbung
Cuaca cerah dengan warna langit biru dan sedikit goresan awan putih mengiringi perjalanan Penulis berliterasi wisata ke Gunung Lumbung, Muka Payung, Kabupaten Bandung Barat. Bukan hal mudah untuk sampai ke tempat ini. Jalan yang dilalui sangat terjal, sempit, tajam, dan berkelok-kelok. Bersama Kepala SMPN Satap Lembang, Agus Solihin, dan rengrengan guru perintis literasi, Penulis mengeksplor gunung ini, pada Senin (02/12/2019).
Jika kita berkunjung ke SMPN Satu Atap Lembang Cililin, maka letak Gunung Lumbung satu garis lurus horizontal, tepat di depan bangunan sekolah, dibatasi oleh persawahan dan pemukiman penduduk.. Perjalanan dari sini ke Gunung Lumbung, menghabiskan waktu satu jam dengan jalan santai. Kalau ingin lebih nyaman, penduduk sekitar biasanya mau mengantar sampai ke puncak Gunung Lumbung.
“Gunung Lumbung merupakan potensi wisata sejarah dengan cerita menarik tentang Dipati Ukur. Anak-anak kami, telah menerima cerita sejarah tersebut dari orangtua, guru, dan tokoh masyarakat. Mereka, kami anjurkan untuk mencari berbagai sumber informasi yang otentik tentang keberadaan Dipati Ukur dari berbagai sumber informasi, termasuk dari internet. Rencananya, siswa kami akan dipersiapkan untuk menjadi pemandu (guide) yang akan mengantar para wisatawan, terutama para peneliti sejarah yang ingin berkunjung ke Gunung Lumbung. Dengan kegiatan ini, kami berharap sikap mandiri dan kemampuan komunikasi, serta keterampilan sosial siswa berkembang,” papar Agus.
Legenda Dipati Ukur
Gunung Lumbung merupakan lokasi dimana Dipati Ukur (Wangsanata) dan pasukannya ditangkap oleh Pasukan Mataram. Dipati Ukur adalah seorang Bupati Wedana di Tatar Priangan yang diberi tugas menyerang VOC di Batavia atas perintah Sultan Agung dari Mataram tahun 1628. Perselisihan awal antara Dipati Ukur dan Mataram diakibatkan karena tidak lancarnya komunikasi. Andai saja, saat itu sudah ada gawai mungkin tidak terjadi hukuman mati untuk Dipati Ukur.
Sekilas kisah tentang perjuangan Dipati Ukur dimulai saat Sultan Agung memberi mandat kepada kedua orang kepercayaannya, yaitu Dipati Ukur dan Tumenggung Bahurekso (Bupati Kendal) untuk menyerang VOC. Dipati Ukur menggunakan jalan darat melewati Cikao, Purwakarta, dengan membawa 10.000 prajurit, yang sama besar dengan Bahurekso yang melalui jalur laut . Keduanya bersepakat untuk bertemu di Karawang.
Dipati Ukur dan pasukannya tiba lebih dulu di Karawang. Selama tujuh hari tujuh malam menunggu, namun tidak juga datang. Akhirnya Dipati Ukur berinisiatif untuk menyerang VOC tanpa Bahurekso. Karena kekuatan yang tidak seimbang, Dipati Ukur mengalami kekalahan, Kemudian mengungsi ke Gunung Pongporang, Bandung.
Sementara itu, Bahurekso yang baru sampai ke Karawang sangat murka, manakala Dipati Ukur tidak ada di tempat sesuai janji. Bahurekso pun menyusul menyerang Batavia. Hasinya pun sama, pasukannya mengalami kekalahan dan kembali ke Karawang. Setelah Bahurekso mencari tahu keberadaan Dipati Ukur, Bahurekso pun pulang Ke Mataram dan menceritakan apa yang terjadi. Tidak kembalinya Dipati Ukur ke Mataram dianggap pembangkangan oleh Sultan Agung.
Di lain sisi, Dipati Ukur yang sudah merasa dirinya dianggap menjadi pembangkang, menyusun kekuatan kembali untuk menyerang VOC. Rencana tersebut gagal, karena keempat pengikutnya, yaitu Umbul Sukakkerta, Sindangkasih, Cihaurbeuti, dan Indihiang Galunggung, tidak setuju,. Bahkan kempatnya ke Mataram dan mengadukan rencana tersebutr. Akhirnya Dipati Ukur menjadi orang yang paling dicari Mataram. Keempat umbul dijadikan petunjuk jalan untuk menangkap orang yang dulu pernah menjadi mitra Mataram.
Seperti diketahui, Bahurekso sempat mengirimkan utusan untuk menghadap Dipati Ukur dan menanyakan apakah akan menyerah atau melawan. Namun jawaban yang diterima membuat amarahnya naik, kemudian serangan pun dilakukan. Pasukan Dipati Ukur tersisih karena jumlah pasukannya lebih sedikit. Mereka pun melarikan diri ke Gunung Lumbung, Mukapayung. Di sinilah mereka membangun perkampungan dan bercocok tanam.
Setelah sekitar setahun tinggal di Gunung Lumbung dua serangan Mataram terjadi. Serangan pertama yang dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa, Pasukan Dpatii Ukur dapat memukul mundur dengan mudah. Namun serangan kedua, Narapaksa bersama Adipati Kawasen (Banjarsari-Ciamis), dengan bantuan salah seorang tokoh yang menguasai peta lokasi persembunyian, akhirnya Dipati Ukur pun tertangkap dan dihukum mati.
Misteri Situs
KIlasan cerita tersebut membuat Penulis bersemangat untuk mencari tahu situs bersejarah ini. Perjalanan agak terengah-engah manakala menemukan dinding batu breksi yang cukup tinggi. Koswara, salah satu guru SMPN Satap Lembang, menghentak-hentakkan kakinya percis di sisi jalan setapak sebelah kiri di batu breksi tersebut.
“Bu Dian, coba deh, lakukan seperti ini!” katanya sambil terus menghentak-hentakkan kakinya ke bagian atas batu itu.
Drung … drung … drung … Bunyi suaranya seperti ada ruang kosong di dalam batu tersebut. Konon katanya ada terowongan bawah tanah, yang sampai saat ini masyarakat pun tidak tahu di mana pintu masuk dan keluar terowongan yang pernah dibuat Dipati Ukur dan pasukannya.
“Dipati Ukur sempat menetap berlama-lama di sini. Beliau mendirikan semacam kerajaan kecil yang letaknya percis di depan Gunung Lumbung ini. Mau tau namanya? Namanya Pasir Nagara. Di Pasir inilah, para petani dan masyarakat sekitar menemukan banyak keramik/tembikar dengan motif yang tidak terlalu heboh seperti buatan China. Mereka menyimpan apik keramik yang bentuknya beraneka ini,” tutur Koswara.
Bagaimana dengan Gunung Lumbungnya? Gunung Lumbung digunakan sebagai tempat beribadahnya Dipati Ukur. Di sini ditemukan Arca Garudeya, menhir, dan dolmen. Sayangnya, Arca Garudeya, kepalanya sudah hilang. Ada orang iseng, membuangnya ke lembah. Alasannya karena dia tidak tahu, kalau itu peninggalan sejarah. Jika tempat ini dibersihkan dari semak, mungkin saja ditemukan. Di sini pun terdapat Punden Berundak. Tapi, saat Penulis berkunjung ke tempat ini tak terlihat bangunannya, kemungkinan tertutup semak yang cukup rapat.
Agent of Change
Akhirnya, rencana untuk memberdayakan siswa SMPN Satap Lembang Cililin untuk menjadi guide wisata ke Gunung Lumbung, tentu menjadi inovasi yang dapat meningkatkan kompetensi mereka agar memiliki kecerdasan majemuk. Mereka akan menjadi agen perubahan (agent of change) yang dapat memajukan potensi wilayah dengan tetap menjaga lingkungan dan kearifan lokal yang ada di masyarakat.
Bravo, SMPN Satap Lembang Cililin!
Oleh : Dian Diana, M.Pd.
Editor: Adhyatnika GU