Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu umat muslim Indonesia dikagetkan dengan berpulangnya kiai kharismatik asal Cilongok Tangerang Banten, K.H. Abuya Uci Turtusi. Kiai yang dalam sesi pengajiannya selalu menyelipkan penggalan cerita dengan kemasan humor segar, merupakan sosok yang sangat melekat di kalangan muslim, terutama masyarakat kebanyakan. Dengan menggunakan bahasa Sunda dialek Banten sebagai pengantarnya, berbagai kajian ke-Islaman-an disampaikan di depan jamaahnya dengan sangat bergizi karena dilandasi basis keilmuan yang kuat. Namun, yang paling menarik adalah pilihannya untuk tidak berada pada bayang-bayang pemerintah—lebih berpihak pada masyarakat, terutama masyarakat kecil. Semoga Almarhum ditempatkan di sisi Allah SWT. Aamiin…
Sesuai dengan fitrahnya, setiap manusia—dalam berbagai profesi atau kedudukan—disodorkan terhadap banyak pilihan untuk dapat berprinsip dalam menghadapi dan mengarungi fenomena kehidupan. Pilihan hidup yang diambil oleh seseorang bisa menjadi branding yang melekat, ketika pilihan tersebut dapat diimplementasikan secara konsisten dalam rentang waktu yang sangat lama dan ruang yang berbeda. Dengan demikian, konsistensi terhadap prinsip yang dianut merupakan dasar pem-branding-an yang dilekatkan oleh masyarakat terhadap seseorang dengan latar belakang profesi dan kedudukan yang berbeda-beda.
Melihat fenomena keberadaan ulama saat ini, sedikitnya terdapat tiga klasifikasi yang diambil dalam pemosisiannya. Pertama, mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan, bahkan masuk pada lingkar kekuasaan, dalam hal ini pemerintahan. Kedua, mereka yang dengan tegas menentang pemerintah, sehingga berbagai petuahnya mengarah untuk menentang setiap kebijakan pemerintah, bahkan berupaya mempengaruhi para jamaahnya guna menumbangkan kekuasan pemerintah. Ketiga, mereka yang kritis terhadap beberapa kebijakan pemerintah dengan didasari idealisme yang kuat dan tentunya tidak masuk dalam pusaran kekuasaan.
Akan halnya prinsip yang dipegang teguh dengan konsisten sampai akhir hanyatnya oleh KH. Abuya Uci Turtusi lebih cenderung berada pada posisi sebagai ulama yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dipandang sebagai bentuk penyimpangan, terutama pada sisi yang berkenaan dengan syariat Islam. Penempatan diri dalam posisi demikian—sekalpun merupaka sebuah pengambilan sikap yang tidak populis—dilakukan secara konsisten dengan membuang jauh-jauh keinginan dan harapan untuk dapat bersandar pada kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan material. Konsistensi dengan pilihannya tersebut tergambar jelas dari berbagai pengajiannya di depan ribuan jamaah yang bisa ditonton secara virtual pada kanal Youtube atau media sosial lainnya. Pilihan untuk bersebrangan dan berhadapan dengan dengan pemerintahan—dalam upaya mengkritisi bukan menghabisi—merupakan sebuah keberanian yang harus didasari dengan alasan dan basis keilmuan yang kuat.
Pemosisian diri agar tidak mem-beo menjadi langkah yang harus diambil di tengah begitu banyak pihak yang tidak mau dan tidak mampu berada pada posisi tersebut. Sekalipun dalam konteks ini tidak melakukan vis a vis dengan mereka yang melebur dengan pemerintah, sepanjang tidak bermuatan kepuasan material tetapi dalam upaya turut mewarnai kebijakan yang akan diambil pemerintah.
Prinsip yang dipegang teguh dan diterapkan oleh KH. Abuya Uci Turtusi benar-benar kuat, sehingga dalam pengajiannya yang tidak jarang menyentil berbagai penerapan kebijakan, dimungkinkan membuat merah telinga pemerintah, baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Sikap ini dilakukan secara konsisten dan disampaikan dengan bahasa vulgar dalam beberapa sesi pengajiannya.
Pilihan pemosisian diri yang ditetapkan dan dijalani oleh kiai kharismatik ini termasuk ketetapan yang sangat berani, di tengah tidak sedikitntanya mereka yang memiliki keberpihakan pada pemerintah dengan beragam motif, terutama motif material. Pilihan yang ditetapkannya tentu melahirkan berbagai resiko penyerta. Namun, keberaniannya tersebut bukannya mendapat nyinyiran dari banyak orang, malah melahirkan kekaguman dan banyak simpati karena pemosisiannya—terutama keberpihakan pada masyarakat kecil–benar-benar dijalankan secara konsisten. Barangkali inilah yang menjadi alasan sehingga siapapun, termasuk pemerintah sangat menghormatinya.
Dalam kehidupan, eksistensi pimpinan umat yang memiliki keberanian untuk ‘menggedor’ berbagai kebijakan pemerintah melalui ungkapan kritiknya, sangat dibutuhkan. Berbagai kritik yang sifatnya mengingatkan pemerintah—bukan untuk menumbangkan—merupakan suplemen energi yang dibutuhkan siapapun, termasuk dibutuhkan berbagai pihak yang berada pada pemerintahan, sehingga arah kebijakan yang diterapkan tidak terlalu jauh melenceng dan dapat segera diperbaiki.
Dalam konteks ini, KH. Abuya Uci Turtusi telah menjadi bandul penyeimbang—mengingatkan siapa saja yang berada pada pusaran pusat kekuasaan—untuk terus berada pada rel yang benar dalam menerapkan berbagai kebijakannya. Posisi seperti yang diambil oleh kiai kharismatik inilah yang benar-benar dibutuhkan untuk menjadi daya pengingat agar tidak mengalami ketersesatan.
Sepeninggalan kiai kharismatik ini, harapan besar menyeruak, mudah-mudahan bermunculan kiai lain yang memiliki basis keilmuan kuat dengan kemampuan memosisikan diri sebagai bandul penyeimbang yang konsisten dalam posisinya. Aamiin. ****Disdikkbb-DasARSS.