Dadang A. Sapardan
(Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kab. Bandung Barat)
Menjelang akhir tahun pelajaran ini ranah pendidikan disibukkan dengan berbagai persiapan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Persiapan tersebut sebagai respons atas keterlaksanaan vaksinasi terhadap para guru dan tenaga kependidikan yang ditindaklanjuti dengan pernyataan dari Kemendikbud untuk dapat secepatnya merealisasikan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri. Bahkan langkah yang sudah dilakukan oleh beberapa daerah, bukan saja persiapan dari sisi regulasi, tetapi sudah mulai melaksanakan uji coba pada sebagian kecil sekolah/madrasah.
Sejalan dengan perkembangan baik tentang penyebaran Covid-19, Kemendikbud telah mengambil kebijakan agar setiap daerah sudah mulai melakukan persiapan pelaksanaan PTM terbatas pada setiap sekolah/madrasah di bawah kewenangan daerah masing-masing. Rencana pelaksanaan PTM terbatas ini merupakan jawaban atas berbagai keluhan, berkenaan implementasi pendidikan pada sebagian besar sekolah/madrasah yang masih mengimplementasikan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Selain tentunya sebagai antisipasi atas timbulnya berbagai permasalahan—terutama permasalahan psikososial di kalangan siswa—sebagai imbas implementasi PJJ yang selama ini dilangsungkan.
Pelaksanaan PJJ yang dilakukan dengan rumah sebagai basis pembelajarannya telah menimbulkan berbagai permasalahan penyerta. Sampai sejauh ini, tidak sedikit ditemukan siswa yang mengalami putus sekolah/madrasah karena mereka dengan terpaksa harus membantu perekonomian keluarga yang terdampak pandemi Covid-19, selain tentunya dilatari oleh intensitas aktivitas siswa yang tidak se-masiv saat pembelajaran dilaksanakan dalam kondisi normal.
Terbangunnya persepsi masyarakat, terutama para orang tua siswa bahwa peran sekolah/madrasah belum dilakukan secara optimal dalam pelaksanaan PJJ, sehingga tampilan prestasi siswa tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan. Pelaksanaan PJJ semakin menambah jurang perbedaan capaian prestasi siswa—berkenaan dengan heterogenitas kondisi sosial ekonomi setiap siswa— sehingga prestasi hasil belajar siswa dari kalangan tertentu yang memiliki fasilitas PJJ moda daring berbeda cukup signifikan dengan siswa yang hanya melaksanakan PJJ moda luring. Pelaksanaan PJJ tidak seefektif pelaksanaan PTM—terutama terkait dengan kontrol guru terhadap pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan siswa—sehingga bisa berakibat pada lahirnya learning loss.
Karena kurangnya kontrol yang dilakukan oleh guru, bahkan oleh orang tua siswa sekalipun, terjadi berbagai penyimpangan perilaku siswa yang ditandai dengan peningkatan kuantitas pernikahan dini, eksploitasi anak perempuan, kehamilan remaja, dan kenakalan remaja. Bahkan, dalam situasi seperti ini, tidak sedikit siswa yang siswa terjebak pada kondisi kekerasan—fenomena yang tidak dengan mudah terdeteksi sekolah/madrasah—baik di rumah maupun di lingkungan sekitar kehidupan siswa.
Berkenaan dengan fenomena demikian, menuntut setiap penentu kebijakan untuk mengambil langkah strategis sehingga berbagai efek dari pelaksanaan belajar dari rumah (BdR) dengan pola PJJ tersebut tidak menjadi bola salju yang semakin hari akan semakin membesar. Langkah yang dilakukan adalah mengimplementasikan PTM terbatas pada setiap sekolah/madrasah.
Mengacu para regulasi yang berlaku, PTM terbatas yang dilakukan tidak seperti halnya PTM dalam kondisi normal, tetapi dilakukan dengan berbagai pembatasan. Salah satu pembatasan yang harus dilakukan, terkait dengan jumlah siswa pada setiap kelas—untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, jumlah yang ditolelir sebanyak 18 siswa per kelas, sedangkan untuk PAUD, SDLB/MILB, SMPLB/MTsLB, SMLB/MALB, jumlah yang ditolelir sebanyak 5 siswa per kelas. Dengan ketentuan pada regulasi tersebut, sekolah/madrasah perlu menetapkan strategi penetapan kebijakan teknis karena melihat kenyataan yang ada dalam kondisi normal, jumlah siswa dalam setiap kelas, berada pada angka 32 siswa, bahkan bisa lebih dari 32 siswa.
Untuk memecahkan permasalahan tersebut, salah satu upaya yang harus dilakukan sekolah adalah melaksanakan pembelajaran dengan sistem pembelajaran hybrid. Sebuah sistem pembelajaran yang mengombinasikan dua pola atau moda pembelajaran.
Ada yang beranggapan bahwa sistem pembelajaran hybrid dipersamakan dengan sistem blended lerning—kombinasi antara pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran moda daring. Dalam anggapan demikian, terjadi pembagian shift siswa dengan rotasi pelaksanan pembelajaran. Satu kelompok siswa melaksanakan pembelajaran dengan tatap muka dan pada waktu yang sama kelompok siswa lainnya mengikuti pembelajaran dengan moda daring atau luring.
Dalam konteks PTM terbatas ini, sistem pembelajaran hybrid dapat dilakukan guru dengan mengombinasikan pembelajaran tatap muka langsung dan daring dalam satu waktu yang bersamaan tetapi dalam ruang yang berbeda. Dengan demikian, sistem pembelajaran hybrid dilakukan dengan tahapan yang sama seperti halnya pelaksanaan pembelajaran dalam kondisi normal, tetapi keberadaan siswa terbagi dalam dua situasi—bertatap muka langsung dan bertatap muka dengan moda daring.
Dengan sistem pembelajaran hybrid ini, sekolah membutuhkan kepemilikan perangkat digital sehingga proses yang berlangsung di dalam kelas dapat secara langsung diikuti oleh siswa yang mengikuti pembelajaran dengan moda daring. Tentunya, dibutuhkan pula kompetensi guru dalam mengoperasionalkan perangkat digital, ketika sekolah tidak memiliki operator untuk menjalankan perangkat digital tersebut.
Pola ini yang perlu dikembangkan sehingga energi guru tidak terkuras banyak untuk memfasilitasi siswa yang melaksanakan pembelajaran dalam dengan dua pola pembelajaran. Dalam satu waktu yang bersamaan—sekalipun dalam ruang yang berbeda—seluruh siswa dimungkinkan dapat mengikuti pembelajaran. Bila memunginkan, dalam pelaksanaan pembelajaran sistem hybrid ini, perlu pula didicari formulasi yang tepat terkait dengan penjadwalan, sehingga pembelajaran tatap muka dapat dilakukan dengan dihadiri oleh 5 atau 18 siswa tetapi moda daring dapat diikuti oleh siswa sebanyak-banyaknya.
Penerapan sistem ini dimungkinkan akan dapat memudahkan guru, terutama terkait dengan energi yang harus dikeluarkan dalam memfasilitasi setiap siswanya. Hal itu perlu disampaikan, bahwa dengan pembelajaran pola PJJ yang berlangsung lebih dari setahun ini, energi guru sangat terkuras untuk memfasilitasi siswa—terkait dengan fasilitasi siswa yang heterogen pada sisi keinginan, semangat belajar, dan kondisi sosial ekonomi.
Dengan demikian, perlunya sekolah melakukan kanjian mendalam tentang rencana penerapan pola pembelajaran yang akan dilakukan ketika PTM terbatas, sehingga kebijakan yang diambil benar-benar efektif dan efisien. ****Disdikkbb-DasARSS.
Manteps….