Hilman Latief, M.Pd.
(SMPN 4 Padalarang)
Setiap orang tua pasti mendambakan anak keturunannya tumbuh menjadi manusia yang sempurna. Namun hal tesebut tidak seluruhnya menjadi kenyataan. Pada dasarnya pendidikan itu telah berlangsung sejak manusia itu lahir dan yang ada hanya orang tua, maka merekalah yang berperan utama dan terpenting dalam mendidik anaknya. Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya diartikan sebagai pengajaran yang dibatasi oleh ruang kelas, guru dan waktu yang formal. Tindakan yang sederhana dari orang tua kepada anaknya itu sudah diartikan sebagai pendidikan.
Pendidikan bukan hanya sekedar mentranfer ilmu semata, namun lebih luas, yaitu mentransfer nilai. Selain itu, pendidikan juga diartikan sebagai kebudayaan agar selalu menggali, memajukan potensi dan kreativitas yang dimiliki.
Tujuan pendidikan yang harus dicapai menurut Ki Hadjar Dewantara adalah terbentuknya generasi bangsa yang mandiri, penuh daya kreasi dan berbudi pekerti luhur. Pendidikan yang mengedepankan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Hal inilah yang dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu suatu pelaksanaan pendidikan yang dilakukan bersama-sama oleh keluarga, sekolah dan masyarakat untuk membentuk manusia yang unggul, berbudi pekerti dan cerdas.
Pemahaman Awal tentang Murid dan Pembelajaran di Kelas
Mengenai dasar jiwa yang dimiliki oleh anak-anak, pada awalnya penulis beranggapan bahwa anak tersebut ibarat kertas putih yang masih kosong sehingga gurulah yang yang boleh mengisi kertas itu sesuai dengan kehendaknya. Ternyata hal tersebut bukanlah satu-satunya teori dasar jiwa seorang anak. mengenai dasar jiwa yang dimiliki oleh anak-anak itu.
Terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya pendidikan, yakni:
Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidik berkuasa penuh untuk membentuk watak atau budi pekerti yang diinginkan. Teori ini dinamakan dengan “teori rasa” (lapisan llilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendekiawan.
Kedua, yaitu anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. teori ini dikenal dengan nama “aliran negative”. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruh-pengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. jadi menurut aliran negative menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruh-pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak di dalam jiwa anak tidak akan dapat diwujudkan.
Ketiga, yaitu anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Aliran yang terkenal dengan nama “Teori Konvergensi”. Lebih lanjut menurut aliran ini, Pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.
Dari ketiga teori dasar jiwa tersebut, terlihat jelas bahwa sejatinya guru sebagai unsur utama pendidikan haruslah menuntun. Ibarat tukang kebun kehidupan yang terus menyirami, memelihara dan menjaga tanamannya, berbudi pekerti luhur. Selain itu, permainan adalah taman pendidikan anak, dan pendidikan yang berpihak pada anak.
Perubahan Pemahaman setelah Mempelajari Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Setelah mengkaji pemikiran Ki Hadjar Dewantara, perubahan pemikiran penulis bahwa dalam proses membelajarkan siswa bukan hanya terfokus pada aspek kognitif semata, namun juga harus menyeimbangkan antara sikap religius, sikap sosial yang dalam hal ini adalah budi pekertinya dan juga aspek keterampilan yang dimiliki oleh seorang anak. Hal tersebut sangat sejalan dengan pedoman penilaian dalam Kurikulum 2013 yang mengintegrasikan ketiga aspek tersebut. Selain itu, proses pembelajaran hendaknya berpusat pada siswa, menfasilitasi siswa dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Menghadirkan proses pembelajaran yang menyenangkan adalah suatu bentuk tindakan nyata dari buah pemikiran Ki Hajar Dewantara. Memahami kodrat yang dimiliki oleh seorang anak sehingga perlakuan untuk anak tersebut berbeda-beda sesuai dengan karakter dan gaya belajar yang dimilikinya tanpa harus merampas haknya sebagai seorang anak yang butuh bermain dalam proses pembelajarannya.***
Dari berbagai sumber
Profil Penulis
Hilman Latief, M.Pd. Lahir di Bandung, 2 Mei 1972, tinggal di Banjaran Kab. Bandung, Guru IPS di SMPN 4 Padalarang, Ketua FKG IPS Kab. Bandung Barat, Sie Perencanaan dan Pelaksanaan Program MGMP IPS Kab. Bandung Barat, Bid. Humas dan Hubungan Antar Lembaga IGI Kab. Bandung Barat, Bidang Litbang & Sport Science PASI Provinsi Jawa Barat.
Bagus sekali pemaparannya Pak. Semoga menjadi pencerahan bagi banyak orang. Mari terus bergerak, demi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Lanjutkan pa doktor