Adhyatnika Geusan Ulun
(SMPN 1 Cipongkor)
Pendidikan yang diusung oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara (KHD), memiliki kekuatan dan kekhasan tersendiri. Gagasan KHD tentang pendidikan yang memunculkan kata kunci, yakni kemerdekaan, kebebasan, dan kemandirian, memunculkan suatu konsep mengenai nasionalisme dan kebudayaan. Hal di dikarenakan beliau sangat memahami bahwa persatuan dan kesatuan akan membawa bangsa Indonesia yang heterogen ini kepada keselarasan dan kekedamaian.
Ki Hadjar Dewantara mengusung konsep nasionalisme dan kebudayaan karena tidak ingin kelak generasi bangsa ini lupa akan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia yang beradab. Hal ini berdasarkan pengalaman saat diasingkan ke Negeri Belanda, dimana di sana beliau memahami bahwa bagaimanapun tingginya capaian pendidikan tidak boleh melepaskan diri dari sumber, dan akar, serta jati diri bangsanya. Menurutnya, sesorang yang sudah meraih tingkat pendidikan yang tinggi, tidak boleh melupakan akan adat, tata karma, etika, serta nilai-nilai dari sebuah masyarakat di sekelilingnya. Oleh karena itu, pendidikan harus diiringi oleh kebudayaan dalam perjalanan dan perkembangannya.
Fenomena tergerusnya kebudayaan daerah saat ini, seperti mulai tidak mengenalnya para murid akan lagu-lagu daerah. Termasuk, seolah-olah alat-alat kesenian daerah menjadi peninggalan sejarah yang hanya dipajang di museum saja, menunjukkan betapa generasi sekarang sudah kehilangan kebanggaan akan jati diri bangsanya. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari peran para pemegang kebijakan yang kurang menyosialisasikan dan melestarikan kebudayaan daerah. Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa kebudayaan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan nasional bangsa Indonesia.
Sementara itu, untuk pendidikan anak usia dini lebih diarahkan kepada tahapan melatih panca indera. Hal ini menujukkan mereka tidak diajarkan tentang pelajaran yang menyita keseriusan di ranah kognitif, namun lebih kepada akivitas panca indera yang sangat bermanfaat untuk penegenalan fungsi dan kegunannya, seperti memainkan permainan tradisonal, yang secara tidak langsung terdapat pendidikan kebudayaan yang sangat penting bagi kehidupan mereka di masa depan.
Peserta Didik –Subyek Pendidikan
Pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara, adalah menyangkut upaya memahami dan mengayomi kebutuhan peserta didik sebagai subyek pendidikan, sehingga makna pendidikan merupakan aktivitas ‘mengasuh’. Hal ini sesuai dengan pendidikan dalam konteks sesungguhnya. Dalam konteks tersebut, tugas pendidik adalah mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didik. Selain itu, menawarkan pengetahuan kepada mereka dalam suatu dialog. Semuanya bertujuan sebagai pemantik gagasan peserta didik tentang suatu topik tertentu sehingga pengetahuan tidak ditanamkan secara paksa, namun melalui prose penemuan, pengolahan, dan dipilih oleh peserta didik.
Di lain pihak, pendidikan yang diusung oleh bangsa asing yang bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman dan ketertiban), sangat tidak cocok dengan kultur bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan tersebut dalam praktiknya merupakan pemerkosaan atas kemerdekaan hakiki anak-anak. Dikhawatirkan akan berakibat rusaknya budi pekerti dikarenakan selalu hidup di bawah tekanan, dan keterpaksaan. Oleh karena itu, KHD mengemukakan bahwa pendidikan merupakan daya dan upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti yang bersumber dari kekuatan batin, karakter, pikiran (intelek) dan tubuh anak. Semuanya dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Sehingga diharapkan pendidikan akan membentuk manusia yang berbudi pekerti, pintar, cerdas dan bertubuh sehat.
Ajaran Pendidikan KHD
Dari hal di atas, mendidik seorang anak haruslah dimulai dari pengakuan pada keunikan dan penghormatan pada potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Segala alat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan. Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adat-istiadat setiap rakyat. Semua proses pendidikan diarahkan menuju suatu kehidupan yang tertib-damai dan harmoni. Untuk itulah dunia pendidikan perlu membuka peluang bagi peserta didik untuk mengenal ‘garis hidup yang tetap dari suatu bangsa’, yakni tradisi masa lalu dan bagaimana ia menjelma menjadi zaman sekarang ini. Dengan berbekal tradisi tersebut, pada gilirannya mereka akan mampu pula membayangkan zaman yang akan datang.
Seperti diketahui, Ki Hadjar Dewantara mengedepankan tiga ajaran tentang pendidikan, yakni: Pertama, Tetep, Antep dan Mantep. Ajaran ini mengedepankan pendidikan harus bisa membentuk ketetapan pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan dalam prinsip hidup. Istilah tetep dapat dimaknai dalam kerangka yang prinsip, yakni memiliki ketetapan pikiran (untuk berkomitmen) yang selaras dengan nilai-nilai sosial. Pendidikan membentuk seseorang untuk mampu berpikir kritis dan memiliki ketetapan pikiran dalam khasanah nilai-nilai. Artinya, pikirannya tidak gampang terombang-ambingkan oleh tawaran-tawaran hidup yang tidak selaras dengan nilai-nilai.
Sementara Antep menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk memiliki “kepercayaan diri” dan keuletan diri untuk maju terus dalam mengatasi segala tantangan kehidupan secara kstria (bersahaja). Dalam praksis kehidupan, orang yang antep adalah yang memiliki keteguhan hati ke arah kwalitas diri sebagai manusia personal dan anggota komunitas sosial. Sedangkan Mantep menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk berkanjang atau tekun-tidak jemu-jemunya dalam kemajuan diri, memiliki orientasi yang jelas untuk menuju tujuan yang pasti, yakni kemerdekaan diri sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga dunia. Jadi, landasan operasinal pendidikan adalah upaya membentuk kualitas pribadi peserta didik sampai pada tingkat yang maksimal.
Kedua, Ngandel, Kandel, Kendel dan Bandel. Ngandel merupakan istilah Bahasa Jawa yang artinya ‘berpendirian tegak’. Hal ini bermakna bahwa pendidikan harus menghantar orang pada kondisi diri yang ngandel (berpendirian tegak/teguh). Orang yang berpendirian tegak adalah yang berprinsip dalam hidup.
Selanjutnya, Kendel adalah istilah yang menunjukkan keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk menjadi pribadi yang berani, berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan adalah orang yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan, matang dan dewasa dalam menghadapi segala cobaan. Sementara istilah bandel menunjukkan bahwa orang yang terdidik adalah yang ‘tahan uji’. Segala cobaan hidup dan dalam segala situasi hidup dihadapinya dengan sikap tawakal, tidak lekas ketakutan dan hilang nyali.
Ketiga, Neng, ning, nung dan nang. Ajaran ini menekan bahwa pendidikan pada tataran terdalam bercorak religius. Pendidikan itu menciptakan kesenangan perasaan (neng), keheningan (ning), ketenangan (nang), dan renungan (nung). Dalam dan melalui pendidikan, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin (nang). Menurut Ki Hadjar, kekuasaan akan datang manakala seseorang sudah mengalami kesucian pikiran, ketenangan batin dan hati.
Simpulan
Akhirnya, seperti yang KHD tegaskan dalam semboyan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri handayani, maka pendidikan nasional Indonesia haruslah berdasarkan citra dan nilai Indonesia juga. Sehingga tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia tersebut, dapat memperkuat pemahaman bahwa guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Selanjutnya, seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan ide-ide mereka untuk berkarya. Dan seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya.***
Sumber Bacaan
Modul 1 Calon Guru Penggerak Angkatan 4 tahun 2021
Profil Penulis
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Alumnus MQ ‘Nyantren di Madinah dan Makkah’ 2016, Pengasuh Majelis Taklim dan Dakwah Qolbun Salim Cimahi, Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan.
Adhyatnika.gu@gmail.com.,Channel Youtube: Adhyatnika Geusan Ulun, Ig.@adhyatnika geusan ulun.