Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
“…spirit hijrah yang dicontohkan Rasulullah harus dimaknai dalam kerangka perjuangannya merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan. Inilah agama rahmatan lil ‘alamin yang di dalamnya ada semangat ikhtiar, pengorbanan, kebulatan tekad, keteguhan niat, kesabaran, dan keikhlasan.”
Waktu terus berlalu, dan masa berjalan tanpa terasa. Detik ke menit, jam berganti hari, bulan berjalan ke tahun, tak bisa ditahan. Sang Pengatur Ketentuan telah mengalirkan zaman ke zaman sesuai alur kepastian-Nya. Dari sanalah usia merambat bilangan angka. Dari sana pula sisa umur semakin menuju titik akhir. Pertanyaannya adalah: Semakin berkahkah usia kita? Sebuah pertanyaan singkat yang hanya bisa disikapi dengan refleksi dari sejarah panjang perjalanan hidup yang telah dilalui.
Fajar terang akan datang, membahagiakan kedatangan bulan mulia sebagai awal dimulainya penanggalan dalam Islam. Bulan al-asyhur al-hurum, yang diharamkan di dalamnya bertikai, berperang dan dipandang sebagai yang utama setelah Ramadhan. Tahun baru 1 Muharam 1441 H pun siap datang. Menyambut era perubahan insan yang siap berubah, dan melakukan perbaikan diri menuju kehidupan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Menarik untuk dikaji saat Muharam dipilih sebagai awal tahun kalender Islam. Bulan ini ditetapkan setelah melalui musyawarah para sahabat sepeninggal Rasulullah dan khalifah Abu Bakar. Disebutkan dalam Manaqib al Anshar, bahwa para sahabat tidak menghitung dan menjadikan awal penanggalan dari masa diutusnya Nabi Muhammad saw, dan tidak pula dari waktu wafatnya beliau. Suatu usulan yang rasional, mengingat bahwa Rasulullah adalah manusia luar biasa yang melakukan revolusi ke arah peradaban yang lebih baik. Akhirnya setelah berbagai usulan, Khalifah Umar berdasarkan persetujuan para sahabat, menghitungnya mulai dari masa sampainya Nabi di Madinah, hijrah. Kalifah berkata: Hijrah itu memisahkan antara yang hak (kebenaran) dan yang batil. Oleh karena itu jadikanlah hijrah itu untuk menandai kalender awal tahun Hijriah.
Pelajaran pertama yang dapat diambil adalah, Islam menjunjung tinggi asas musyawarah untuk mufakat. Hal ini seyogyanya menjadi semangat setiap diri untuk menempatkan kepentingan umat lebih utama daripada kepentingan pribadi maupun golongan.
Peristiwa hijriah yang diperingati setiap tahun mengadung nilai-nilai yang sangat relevan sepanjang zaman. Momen ini mengandung tekad yang bulat, semangat untuk berjuang, dan kegigihan kuat dalam beramal menuju tujuan yang jelas, yakni, terwujudnya baldatun toyyibatun warrabun ghafur. Negeri adil makmur yang senantiasa penuh rahmat dan ampunan Allah swt.
Menelusuri jejak sejarah perjalanan hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata yang pas. Perjalanan sejauh kurang lebih 320 km yang ditempuh penulis dan peziarah dengan kendaraan ber-AC dan jalan yang terbentang mulus, sangat berbanding terbalik dengan kejadian 14 abad silam. Baginda ditemani sayid Abu Bakar silih berganti saling menjaga dari kejaran kaum kuffar. Menempuh lautan pasir yang panasnya dapat mematangkan butiran telur, dan dinginnya malam yang dapat membekukan air. Kaki mulia sang Nabi harus dilangkahkan melewati terjalnya cadas di bukit-bukit batu tajam di sepanjang perjalanan agung ini. Sebentar beristirahat di Gua Tsur, dan sebentar bermalam di tengah samudera pasir dengan angin yang bertiup kencang. Siang malam ditempuh dengan tekad dan keyakinan kuat, bahwa Allah akan memberikan kemuliaan bagi umat Islam setibanya di negeri yang Dia janjikan, Yatsrib. Jika peziarah saat ini dapat menjangkau jarak sekira lima jam perjalanan, maka perjalanan suci Nabi memakan waktu 20 hari untuk tiba di tujuan. Suatu perjuangan yang berat dalam menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi. Hal ini memberikan pelajaran selanjutnya kepada manusia, bahwa setiap perjuangan selalu beriringan dengan pengorbanan. Tidak ada satu pun perjuangan tanpa diiringi dengan pengorbanan. Itulah keteladanan Nabi yang seharusnya dicontoh. Adalah perjuangan yang tidak instan, yang hanya mengandalkan ‘mukjizat’ dan keajaiban Tuhan. Proses adalah sesuatu yang harus ditempuh oleh siapapun dalam meraih tujuan. Samudera pasir, lautan batu terjal yang menggunung, yang sewaktu-waktu melukai kaki-kaki mulia, tidak menyurutkan tekad dan semangat perjuangan.
Penulis diingatkan akan para tokoh penghias sejarah yang menjadikan hijrah sebagai suatu strategi perjuangannya. Begitulah yang dilakukan Nelson Mandela, Benazir Bhuto, Imam Khomeini, Fidel castro, hingga Bung Karno. Tokoh-tokoh dunia tersebut menjadikan hijrah sebagai upaya merubah nasib bangsanya menjadi jauh lebih baik. Diingatkan pula tentang strategi hijrahnya pasukan Siliwangi saat perang kemerdekaan. Jika dimaknai hijrah sebagai strategi perjuangan, maka tentu spirit nya adalah semangat untuk memperbaiki diri dan bangsa yang dipimpinnya. Itulah yang dilakukan Nabi dalam merubah dunia menjadi jauh lebih baik dan beradab.
Dalm konteks sebagai pendidik, hijrah menjadi bahan refleksi diri. Menciptakan generasi unggulan tidak seperti mudahnya membalikan tangan. Butuh perjuangan ekstra yang menguras pikiran dan tenaga. Diperlukan pula semangat perbaikan diri setiap saat. Perjuangan memang tidak selalu bertabur bunga dan berhamparkan karpet merah. Perjuangan bahkan selalu menemui tajamnya onak dan duri. Keikhlasan dan kesabaran adalah pengorbanannya.
Menarik juga untuk dikaji manakala Nabi tiba di Yatsrib yang kelak menjadi Madinah. Kegiatan pertama Baginda tidak mencari rumah untuk tempat tinggal diri dan keluarga. Tidak pula meminta fasilitas kelayakan hidup sebagai seorang pemimpin umat. Tetapi yang beliau lakukan adalah mendirikan masjid. Diyakininya bahwa masjid adalah pusat kegiatan yang dapat menjadi sentra perubahan dan perbaikan umat. Dari masjid itulah Islam memancarkan charisma kewibawaan sebagai agama ramatan lil ‘alamin.
Hal tersebut hendaknya menjadi renungan. Sebesar apapun keinginan untuk meraih dunia tidaklah harus mengalahkan kebutuhan akhirat, dan masjid adalah salah satunya. Segala riak perjuangan Islam bermula dari tempat ini. Dimulai dari merubah Yatsrib menjadi Madinah, hingga ditulisnya mitsaq al-madinah (Piagam Madinah), suatu konstitusi modern pertama di dunia yang menjadikan rujukan pola kerukunan umat. Piagam tersebut menjadi titik temu komunitas madinah yang majemuk menjadi prototype negeri yang rukun, damai, toleran dan beradab. Satu revolusi dakwah yang dilakukan Nabi yang menekan pada perbaikan umat dalam urusan ibadah dan muamalah, spiritual dan sosial. Nabi tidak membangun negara berdasarkan fanatisme kelompok atau suku. Rasulullah menginisasi terciptanya kesepakatan bersama kepada seluruh penduduk Yatsrib dalam menjamin kebasan beragama, keamanan, penegakan hukum, dan hak-hak individu. Sesungguhnya hal tersebut patut diteladani hingga sekarang. Dan Inilah makna hijrah yang sebenarnya. Tidak hanya bermakna secara harfiah, migrasi atau pindah tempat, melainkan juga pindah orentasi, berubah pola pikir, yakni berpindah dari keadaan buruk menjadi baik, dari kondisi baik menjadi jauh lebih baik. Itulah perubahan. Dan baginda Rasul memberikan contoh keteladanan bahwa semua perubahan tersebut tak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk umat secara kolektif.
Akhirnya, spirit hijrah yang dicontohkan Rasulullah harus dimaknai dalam kerangka perjuangannya merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan. Inilah agama rahmatan lil ‘alamin yang di dalamnya ada semangat ikhtiar, pengorbanan, kebulatan tekad, keteguhan niat, kesabaran, dan keikhlasan. Baginda menyatakan: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. Ketulusan niat luar biasa yang ditunjukkan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu berbuah eratnya persatuan, bertambahnya saudara, hingga kemuliaan dunia dan akhirat.
Semoga tahun baru Islam ini senantiasa membawa keberkahan bagi sisa usia kita semua. Aamiin.***
Biodata Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi.
Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun
Bagus sekali sbg pencerahan