Dadang A. Sapardan
(Kabid Pengembangan Kurikulum, Disdik Kab. Bandung Barat)
Beberapa hari belakangan ini, seluruh energi rakyat Indonesia tercurah pada musibah hilangnya kapal selam KRI Nanggala 402 di perairan Bali. Energi begitu besar tercurah dengan harapan adanya mukjizat yang bisa menyelamatkan seluruh awak kapal yang berjumlah 53 orang. Namun, takdir menghendaki lain, KRI Nanggala 402 dinyatakan tenggelam dan seluruh awak kapalnya dinyatakan gugur. Keberlangsungan musibah yang melanda ini direaksi oleh seluruh masyarakat dengan ungkapan bela sungkawa sebagai bentuk empatinya. Ternyata, ditengah musibah yang melanda tersebut masih ada saja ungkapan dengan konten ‘nyeleneh dan nyinyir’ dari segelintir orang yang disampaikan melalui media sosial. Bukannya, mendapat support dari yang lainnya, pemroduksi ungkapan ‘nyeleneh dan nyinyir’ tersebut harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Seiring dengan perjalanan waktu, pranata kehidupan masyarakat mengalami perubahan yang cukup signifikan ke arah kemajuan. Perubahan tidak melanda pada satu atau dua ranah kehidupan saja, tetapi hampir menyeluruh pada seluruh ranah kehidupan. Perubahan tersebut menyentuh pula pada ranah tatanan budaya kehidupan masyarakat, sehingga secara perlahan tapi pasti perubahan akan terjadi dalam kehidupan mereka.
Perubahan demi perubahan dalam kehidupan manusia merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dan disangkal. Akan adanya perubahan ini, penyikapan yang patut dilakukan adalah pemberian direspons baik dan bijak. Respons yang memungkinkan dilakukan, di antaranya dengan mengikuti dinamika perubahan tersebut dengan tetap mengedepankan ketaatan terhadap pranata yang berlaku dan mengiringinya.
Saat ini kehidupan manusia sudah berada pada era revolusi industri 4.0 (computer/internet of things) dengan diwarnai oleh pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang mampu memobilisasikan entitas pengetahuan dan informasi secara cepat, murah, dan masiv. Era ini melahirkan pula fenomena disrupsi pada sebagian besar tata kehidupan masyarakat. Pada fenomena revolusi industri 4.0 ini terjadi lompatan teknologi dengan adanya symptom pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi secara masiv dan optimal oleh sebagian besar masyarakat.
Sejalan dengan masuknya kehidupan pada revolusi industri 4.0, media sosial sebagai produk yang menyertai era ini telah menjadi alat komunikasi dan informasi yang dimanfaatkan oleh masyarakat kebanyakan. Pemanfaatannya dilakukan karena berbagai pengetahuan dan informasi dapat disampaikan dan diperoleh dengan cepat, murah, dan masiv. Melalui media ini berbagai pemikiran dapat dengan serta-merta tersampaikan dengan tidak berbatas ruang dan waktu.
Kecepatan, menudahan, dan ke-masiv-an pemanfaatan media sosial sebagai alat pengungkapan perasaan, pendapat, gagasan, ide, atau sebangsanya tidak jarang menjadi bumerang yang menjerat pemroduksinya. Kenyataan tersebut, terakhir sekali terjadi pada mereka yang dengan tanpa saringan pertimbangan matang, mengungkapkan pendapat ‘nyeleneh dan nyinyir’ terkait dengan musibah yang melanda KRI Nanggala 402.
Beberapa orang yang dengan serta-merta mengungkapkan perasaan ‘nyeleneh dan nyinyir’ akan musibah tersebut tentunya harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena dianggap sebagai refleksi dari penyimpangan atas fenomena yang terjadi.
Dalam konteks ini, yang harus dipahami oleh masyarakat sebagai pemanfaat media sosial adalah kesadaran bahwa berbagai konten yang diproduksinya dan disebar melalui media sosial, akan menjadi konsumsi orang banyak dengan tidak berbatas ruang dan waktu. Setiap orang akan segera menangkap konten yang diproduksi dalam hitungan detik. Dengan demikian, setiap orang dapat melakukan kajian dan penilaian atas produksi konten yang tersebar tersebut.
Barangkali, kesadaran akan begitu terbukanya setiap orang untuk mengakses setiap produksi konten perlu terus diperkuat agar menjadi pemahaman setiap orang, sehingga tidak dengan mudah dan sembarangan seseorang memproduksi ungkapan dan manutkannya pada media sosial yang dimilikinya. Setiap pengguna perangkat digital harus dengan cermat mengkaji berbagai konten sebelum ditautkan pada media sosial, apalagi konten dengan nuansa sensitivitas tinggi.
Upaya ini harus ditekankankan—karena pemanfaatan media sosial yang telah berada pada genggaman—adalah pemahaman akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh produksi konten ketika disebar dengan tanpa pertimbangan matang. Kenyataan tersebut, mengingat lagi pada peribahasa lama the man behind the gun’. Media sosial yang dimilikinya berada dalam posisi netral, tetapi kesalahan langkah dalam memanfaatkannya akan berdampak negatif bagi setiap pengguna serta lingkungan sekitarnya.
Dalam pemikiran yang dangkal dimungkinkan bahwa konten atau postingan yang diproduksi itu baik atau bagus sebagai ungkapan perasaan, pendapat, ide, atau sebangsanya sehingga layak dikonsumsi oleh orang banyak. Namun, tidak semua orang memiliki pendapat dan pandangan yang sama. Tidak semua orang pula memiliki kepentingan dan minat yang sama denga konten yang diproduksi. Bahkan, bisa jadi konten yang diproduksi tersebut menyinggung perasaan orang kebanyakan sehingga memicu reaksi sebagai bentuk respons dari mereka yang tersinggung. Selanjutnya, pemroduksi konten harus barurusan dengan aparat penegak hukum sebagai konsekwensinya.
Karena itu, kehati-hatian dan kecermatan dalam memroduksi dan menyebarkan konten melalui media sosial perlu dikedepankan—bermedia sosial dengan sehat. Alih-alih mendapat simpati dari orang lain, yang terjadi adalah mendapat hujatan dan cacian dari banyak orang seperti halnya yang dialami oleh mereka yang membuat konten ‘nyeleneh dan nyinyir’ terkait dengan musibah yang dialami KRI Nanggala 402.
Jelas sekali, apa yang diperlihatkan mereka melalui ekspresi kontennya merupakan sebuah refleki ‘berpesta di tengah bencana’. ****Disdikkbb-DasARSS.