Adhyatnika Geusan Ulun
(SMPN 1 Cipongkor)
Pembelajaran berharga dari sebuah peristiwa adalah menjadikan diri lebih dewasa untuk tidak segera memvonis sebuah kejadian. Salah satu kedewasaan ditunjukkan dengan tetap menjaga hati untuk terus berbaik sangka. Boleh jadi pernyataan sang pengamat di atas mendorong para guru untuk terus meningkatkan kompotensi diri, dan menjadi agen perubahan dalam mencetak generasi yang mandiri, berakhlak mulia, dan berkebhinekaan yang berwawasan global
Dari bincang-bincang ringan dengan seorang teman, didapatlah sebuah ucapan yang mengelitik. Dikatakannya bahwa menurut seorang pengamat, tunjangan guru di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Finlandia. Tentu saja hal ini mengundang tawa semua yang mendengarnya. Bagaimana mungkin standar gaji guru di negeri ini melampaui sebuah penghasilan di negara yang terkenal akan kualitas pendidikannya.
Penasaran dengan obrolan di atas, penulis mencari informasi tentang hal tersebut. Ternyata memang benar! Memang statemen pernah diungkapkan oleh seorang pengamat yang mengupas keprihatinan atas masih rendahnya capaian PISA (Programme for International Assessment) dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dalam 10-15 tahun terakhir, Indonesia cenderung berada pada posisi stagnan dengan menempati peringkat 72 dari 78 negara peserta tes PISA. Sementara itu, menurut sang pengamat, seharusnya tingginya penghasilan guru akan berbanding lurus dengan prestasi anak didiknya.
Tentu saja penulis tidak sependapat dengan hal tersebut, walaupun, masih menurut pengamat di atas, alokasi 20 persen dana pendidikan yang dianggarkan pemerintah, lebih dari 3/4 nya ‘terkuras’ untuk kesejahteraan guru, bahkan di sebuah daerah ada yang mengalokasikan 95 persen. Sementara sisanya untuk pendidikan dan pelatihan, bimbingan teknis dan peningkatan kualitas guru.
Penulis berkeyakinan bahwa terlalu premature orang yang menyatakan bahwa penghasilan guru Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, terlebih Finlandia. Standarisasi penghasilan guru Indonesia masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga sekalipun. Sebagai perbandingan, gaji guru PNS di Indonesia dengan pengalaman 0 (nol) tahun akan memperoleh penghasilan sekira 30 juta rupiah setahun, sedangkan di Malaysia sekitar 137 jutaan rupiah setahun. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara berperingkat kedua terbawah yang menggaji guru di antara negara di dunia. Peringkat pertama diraih oleh Luxemburg yang menggaji guru nya lebih dari 1,6 miliar rupiah. Sementara di Finlandia, yang menjadi bahan perbandingan diskusi di atas, para guru rata-rata berpenghasilan 370 jutaan setahun.
Lagi-lagi tidak untuk membuat polemik berkepanjangan penulis menyatakan bahwa pernyataan pengamat tersebut sungguh tidak berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Dengan menyodorkan besaran prosentase alokasi dengan tidak menyajikan data yang riil sungguh, kalau tidak mau dikatakan menyakiti hati, sungguh tidak memperhatikan perasaan para guru yang telah berjuang dengan penuh tanggung jawa. Terlebih dengan perjuangan para guru honorer yang berpenghasilan di bawah UMR dan harus menyambi dengan pekerjaan lainnya.
Namun, penulis tersadar bahwa ‘kegaduhan’ ini terjadi di bulan April. Boleh jadi inilah yang sering dilontarkan sejumlah orang dengan apa yang disebut April Mop. Sebuah ‘praktik mengerjai orang’ yang dikenal dalam budaya barat sebagai all fool’s day. Boleh jadi ini adalah guyonan yang, mohon maaf, garing dan tidak bermutu. Tapi itulah April Mop yang kegiatannya berisikan humor dengan konten yang tidak benar dan tidak mendasar.
Akhirnya, pembelajaran berharga dari sebuah peristiwa adalah menjadikan diri lebih dewasa untuk tidak segera memvonis sebuah kejadian. Salah satu kedewasaan ditunjukkan dengan tetap menjaga hati untuk terus berbaik sangka. Boleh jadi pernyataan sang pengamat di atas mendorong para guru untuk terus meningkatkan kompotensi diri, dan menjadi agen perubahan dalam mencetak generasi yang mandiri, berakhlak mulia, bernalar kritis, kreatif, gotong royong.dan berkebhinekaan yang berwawasan global. ***
Profil Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Alumnus MQ ‘Nyantren di Madinah dan Makkah’ 2016, Pengasuh Majelis Taklim dan Dakwah Qolbun Salim Cimahi, Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan.
(Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnika geusan ulun.