Dadang A. Sapardan
(Kabid Pengembangan Kurikulum, Disdik Kab. Bandung Barat)
Dalam satu waktu, sempat mengikuti sesi kegiatan diskusi kelompok terpumpun terkait dengan implementasi kurikulum. Dalam diskusi tersebut, narasumber yang menjadi pemantik bahan diskusi menyampaikan perihal perlunya pemahaman dan implementasi pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai sentral pembelajaran. Keterlaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru harus mengarah pada nuansa berpusat pada siswa. Nuansa pembelajaran seperti ini menampilkan pergerakan dan aktivitas siswa sebagai salah satu indikatornya. Dalam konteks ini, guru hanya sebatas sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah yang mendorong keberlangsungan pembelajaran.
Menilik terhadap arah kebijakan pendidikan, penerapan kebijakannya paling sedikit menuju pada dua ranah utama, yaitu ranah peningkatan aksesbilitas dan ranah peningkatan kualitas. Ranah aksesbilitas mengarah pada upaya fasilitasi terhadap setiap warga usia sekolah agar memiliki kemudahan dalam mengakses pendidikan sesuai usia mereka. Dengan demikian, capaian ranah ini merefleksikan peningkatan partisipasi belajar yang biasa dihitung dengan angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Sedangkan ranah kualitas mengarah pada capaian mutu dengan perhitungan indokator tertentu yang ditetapkan atau melalui perbandingan dengan mutu negara laing.
Kenyataan, memperlihatkan bahwa fenomena capaian aksesbilitas termasuk ranah yang cukup menggembirakan, dari tahun ke tahun, APK dan APM menunjukkan trend kenaikan. Kebijakan pendidikan yang diterapkan telah mendorong terjadinya peningkatan akses pendidikan dasar dan menengah, sehingga prosentase usia sekolah yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan terus mengalami peningkatan dengan cukup signifikan. Namun, kenyataan tersebut berbading terbalik dengan ranah kualitas pendidikan. Sampai saat ini, kualitas pendidikan berdasarkan berdasarkan indikator yang menjadi tautannya belum memuaskan berbagai pihak. Indikator yang nyata adalah capaian score Programme for International Student Assessment (PISA) dari para siswa yang menjadi sampelnya. Hasil survei PISA tahun 2018 yang diikuti oleh siswa Indonesia yang menjadi sampelnya, menggambarkan bahwa 60% sampai dengan 70% siswa masih berada di bawah standar kompetensi minimum pada bidang metematika, sains, dan literasi. Ketiga bidang tersebut menjadi objek penilaian dalam penetapan skor PISA.
Kebijakan pendidikan yang mendorong keterlaksanaan pembelajaran dengan nuansa berpusat pada siswa sudah lama didengungkan. Sejalan dengan fase perubahan kurikulum yang telah diimplementasikan selama ini, upaya untuk menyajikan pembelajaran dengan siswa sebagai porosnya, selalu menjadi isu utama yang harus diimplementasikan oleh setiap guru. Pembelajaran dengan menempatkan siswa sebagai pengeksplorasi pengetahuan menjadi isu utama pada setiap perubahan kurikulum.
Untuk lebih mendorong capaian kualitas seperti yang diharapkan, salah satu langkah yang harus dilakukan adalah mengampayeukan secara terus-menerus pola pembelajaran dengan nuansa berpusat pada siswa. Sasaran akhir dari langah ini adalah lahirnya pemahaman guru secara komprehensif, terkait pembelajaran dengan nuansa berpusat pada siswa. Dengan modal pemahaman komprehensif tersebut, setiap guru dimungkinkan dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran yang diselenggarakannya.
Berbagai pendekatan pembelajaran utama yang umumnya menyertai pemberlakukan kurikulum, pada substansinya mengarah pada upaya pelaksanaan pembelajaran dengan nuansa berpusat pada siswa. Beberapa pendekatan yang pernah diterapkan sejalan dengan pemberlakuan kurikulum—cara belajar siswa aktif (CBSA), keterampilan proses, contekstual teaching learning (CTL), dan pendekatan saintifik—merupakan berbagai pendekatan yang arahnya menstimulasi agar proses pembelajaran terlahir dengan nuansa berpusat pada siswa.
Barangkali, langkah untuk mendorong agar pelaksanaan pembelajaran mengarah pada nuansa yang berpusat pada siswa perlu terus-menerus dilakukan oleh seluruh stakeholder pendidikan pada tingkat pusat maupun daerah. Langkah ini pun tentunya harus dilakukan pula oleh seluruh stakeholder pendidikan pada level sekolah sebagai elemen teknis pendidikan. Peran sekolah sebagai pengimplementasi pembelajaran yang mengetengahkan nuansa berpusat pada siswa benar-benar sangat diharapkan. Kebijakan apapun yang diterapkan oleh pusat dan/atau daerah, hanya akan menjadi dokumen yang tak bermakna apa-apa, manakala respons atas kebijakan tersebut tidak diberikan oleh sekolah.
Pembelajaran dengan nuansa berpusat pada siswa mempersyaratkan peran aktif siswa dalam mengeksplorasi pengetahuan sesuai dengan tuntutan pada kurikulum yang berlaku. Penerapan pola ini dimungkinkan dapat mendorong lahirnya semangat belajar, motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspiratif, inovasi, dan kemandirian setiap siswa. Lahirnya kondisi demikian bisa terjadi karena terstimulasi oleh tantangan demi tantangan yang diberikan setiap guru dalam proses pembelajarannya. Dengan adanya tantangan tersebut siswa diberi dirangsang untuk mampu mencari solusi atau jawaban atas permasalahan yang disodorkan.
Terkait dengan konteks ini, guru memiliki peran strategis dalam memberi dukungan dan bimibingan selama pelaksanaan proses pembelajaran. Guru menjadi fasilitator, pembimbing, pelatih, pengarah, penasihat, dan perantara yang mendorong seluruh siswa untuk terus terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Guru tidak dapat terlepas begitu saja dari aktivitas siswa dalam mengeksplorasi pengetahuan. Guru harus menjadi sosok solutif dalam memecahkan berbagai kendala yang dihadapi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
Alhasil, pembelajaran dengan nuansa berpusat pada siswa harus terus dikampanyekan dan dimplementasikan, sehingga dapat dilaksanakan oleh sebagian besar guru dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya. ****Disdikkbb-DasARSS.