Oleh: Enung Hodijah, M.Pd
(Kepala SMPN 5 Lembang)
Sinyalemen saat ini media sosial dipenuhi serba serbi keresahan para pendidik dalam menyikapi berbagai aplikasi kinerja para pejuang pendidikan di tanah air ini. Bahkan, muncul seolah mereka sampai tidak bisa mengurus keluarga dan dikomplain oleh suami serta putra putrinya di rumah, karena pagi mengajar, siang mengerjakan topik di Platform Merdeka Mengajar (PMM), serta malam harinya masih disibukan dengan kegiatan webinar. Sehingga pemerintah dalam hal ini memandang perlu mengeluarkan klarifikasi dan bantahan, dengan dikeluarkan SE dj GTK No. 0559/B.B1/GT.02.00/2024 tentang Pengelolaan Kinerja Guru dan Kepala Sekolah untuk menjawab keresahan dan pelurusan miskonsepsi pelaksanaannya.
Semenjak diluncurkannya e-kinerja di aplikasi PMM yang mengharuskan seorang guru mengisi e-kinerja SKP di flatform PMM secara mandiri. Dalam e-kinerja tersebut guru dipandu untuk merencanakan capaian pekerjaanya selama satu semester kedepan. Baik dan tidaknya hasil capaian kinerja tersebut akan sangat bergantung pada guru tersebut. Bisa jadi kenaikan pangkatnya dimungkinkan lebih cepat atau bahkan lebih lambat.
Menurut hemat penulis, angka kredit yang harus dicapai dalam satu semester yang minimal 32 point, dengan mengikuti tiga kali kegiatan webinar atau workshop ditambah dengan kegiatan lain seperti tugas tambahan guru piket, pembina ekstrakurikuler maka sudah tercukupi point 32 jam. Hal ini tidaklah sulit karena jangka waktu selama enam bulan cukup lama untuk mengejar target tersebut.
Namun, kenapa baru- baru ini tersebar fenomena seolah guru sangat direpotkan oleh e-kinetrja dan ditambah dengan tuntutan PMM yang lain. Padahal jika dicermati para guru bisa menyiasati mengikuti webinar, mengisi e-kinerja dan mengerjakan topik – topik PMM di sela-sela istirahat atau waktu senggang setelah tugas utama mengajarnya tuntas. Bahkan yang jadi salah kaprah adalah berburu sertifikat saat ini menjadi tujuan utamanya.
Kualitas Kinerja dan Pengembangan Diri
Fenomena berburu sertifikat, yang saat ini menjamur harus menjadi tuntutan kelimuan dan tuntutan profesi serta berdasarkan panggilan jiwa, yang sudah seharusnya seorang guru menjadi seorang yang terus update ilmu pengetahuan dan informasi kekinian yang mana hal tersebut merupakan sebuah keniscayaaan.
Tuntutan e-kinerja serta capaian target selama 6 bulan bukan berarti target sertifikat yang harus dikejar, melainkan pengembangan diri pada aspek kinerja. Jika hanya berburu sertifikat dan tidak ada relevansinya dengan peningkatan kinerja sebagai guru yang professional dan kompetensi guru sebenarnya, penulis piker identik dengan membeli barang branded namun palsu. Apalah artinya sertifikat, yang hanya menunjukkan kehebatan namun sebenarnya tidak kompeten. Tentu tidak akan melahirkan kebanggaan, malah cenderung akan menunjukkan kualitas yang sangat buruk. Sepertinya memang terlihat keren seperti mereka yang kapasitas dan kapabilitasnya mumpuni, namun apa yang akan dirasa jika orang lain tahu bahwa sebenarnya, kita tidak mampu membelinya (tidak kompeten).
Guru yang profesional adalah kunci utama untuk menghadirkan peningkatan kualitas pembelajaran yang berdampak pada capaian belajar murid. Untuk mewujudkannya, Kemendikbudristek bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) melakukan Transformasi Pengelolaan Kinerja dengan menyediakan fitur Pengelolaan Kinerja di PMM yang lebih praktis, relevan, dan berdampak nyata.
Jika kita kembali pada kewajiban seorang guru adalah tuntutan profesi dan belajar sepanjang hayat. Maka tanpa adanya tuntutan e-kinerja ataupun kenaikan pangkat sudah seharusnya memang seoarng guru menjadi jiwa pemelajar. seperti yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara bahawa guru harus menjadi contoh atau teladan untuk muridnya. salah satu contohnya seorang guru menjadi seorang pemelajar agar menjadi contoh untuk siswanya.
Banyak di antara guru ditengarai kurang memenuhi kualifikasi mengajar dan kinerja kurang memadai, dimana dalam praktiknya masih tetap menerima pembayaran tunjangan fungsional yang sama dengan kualifikasi guru yang memenuhi kinerja yang memadai. Beragam fakta turut mewarnai argumen tersebut, faktanya banyak guru mengalami hambatan dalam menulis karya ilmiah tentu menyedihkan. Sebab, guru mestinya bisa menjadikan karya ilmiah sebagai media untuk mendialogkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Melalui publikasi ilmiah, diharapkan terjadi sharing yang memungkinkan para guru berbagi pengalaman.
Temuan Sembiring (2007) mungkin sangat mengejutkan bagi insan guru, karena ketidakmampuan menulis karya ilmiah di kalangan guru mencapai 99,37%, hal tersebut disebabkan oleh masalah yang kompleks, baik yang bersifat politis, ekonomi, sosial, di samping faktor internal guru sendiri. Masalah-masalah tersebut memiliki korelasi timbal-balik yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan.
Masalah-masalah tersebut, antara lain: (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya; rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah; (3) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh atau total. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga kurang waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri; (4) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi, tanpa memperhitungkan output-nya kelak di lapangan, sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (5) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru “tidak dituntut” untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi; (6) kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan
Kebijakan baru yang sepenggal-sepenggal, temporer, tidak ada kepastian, mendadak, tidak fokus dan sistematis, mengakibatkan kebingungan di lapangan terutama para pendidik. Kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi mutu menyebabkan infrastruktur pendidikan jauh dari memadai (gedung sekolah tidak terawat, fasilitasi perpustakaan belum maksimal, guru yang tidak kompeten mengajar), yang semuanya itu justru menimbulkan kerugian yang tidak sebanding (tidak kompeten).
Ketidaksiapan semua menjadi pemantik kaum pendidik sangat tidak siap dengan perubahan apapun, ditanggapi dengan keluh kesah dan dicari pembenaran atas ketidakmampuannya, ketimbang dinikamti proses dan disyukuri dengan lebih memaksimalkan potensi dan layanan belajar terhaadap para siswanya.
Sikap positif terhaadap perilisan fitur Pengelolaan Kinerja Guru di Platform Merdeka Mengajar akan dapat membantu guru dalam meningkatkan kinerjanya, sehingga dampaknya terasa nyata pada pembelajaran dan capaian belajar murid tanpa terbebani administrasi yang selalu menjadi alasan dunia Pendidikan di lapangan. Pengelolaan Kinerja bagi Guru dan Kepala Sekolah melalui PMM guna transformasi pembelajaran dan kinerja yang lebih baik
Pengelolaan Kinerja yang sekarang disodorkan dilakukan dalam dua siklus setiap tahunnya, dengan satu siklus berlangsung selama periode 6 bulan, bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan. Keuntungan utama adanya dua siklus dalam satu tahun adalah memberikan kesempatan untuk evaluasi berkala, pemantauan, dan peningkatan kinerja, baik bagi Guru maupun Kepala Sekolah.
Tujuan yang ingin dicapai dari Pengelolaan Kinerja adalah mendukung Guru dan Kepala Sekolah melakukan peningkatan kinerja dengan lebih terfokus pada 1 indikator kinerja yang telah dipilih pada setiap siklusnya.
Adapun detail Siklus Peningkatan Kinerja yaitu,
- Diskusi Persiapan: Upaya merumuskan fokus perilaku, upaya mempelajari, dan menentukan jadwal observasi kinerja.
- Observasi Kinerja: Observasi Kinerja bertujuan menetapkan batas dasar kinerja (baseline) berdasarkan upaya yang telah dirumuskan pada siklus Diskusi Persiapan antara Guru dan Kepala Sekolah. Observasi kinerja dilakukan bukan untuk melakukan penilaian.
- Diskusi Tindak Lanjut: Upaya merefleksikan hasil observasi kinerja dan upaya menentukan tindak lanjut yang akan dilakukan dan kebutuhan dukungan untuk peningkatan kinerja. Diskusi ini juga dilakukan antara Guru dan Kepala Sekolah.
- Upaya Tindak Lanjut: Upaya melakukan pengembangan kompetensi yang dibutuhkan untuk peningkatan kinerja sesuai dengan hasil diskusi tindak lanjut sebelumnya.
- Refleksi Tindak Lanjut: Upaya merefleksikan tindak lanjut termasuk identifikasi capaian, tantangan, dan rencana perbaikan.
Manfaat Pengelolaan Kinerja
Bagi Guru dan Kepala Sekolah yang memenuhi ketentuan yang dapat mengakses pengelolaan kinerja, Guru dan Kepala Sekolah akan mendapatkan manfaat yang signifikan ketika melibatkan diri dalam kegiatan Pengelolaan Kinerja. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh oleh Kepala Sekolah dan Guru, meliputi:
- Memfasilitasi pegawai (guru dan kepala sekolah) melakukan pengembangan kompetensi dan peningkatan kinerja secara berkelanjutan.
- Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi pegawai (guru dan kepala sekolah) terhadap peningkatan kualitas pembelajaran.
- Memberikan penguatan dan dukungan terhadap peningkatan karier pegawai (guru dan kepala sekolah) berdasarkan kualitas kinerjanya.
Simpulan
Mari sikapi hadirnya Platform Merdeka Mengajar (PMM) dengan bijak dan peka terhadap dampak dan tujuan yang akan difokuskannya. Bukan hanya sekedar pemenuhan tagihan dan tuntutannya saja. Peningkatan kualiotas pembelajaran dan bermuara terhadap peningkatan Pendidikan pada umumnya adalah kesadaran penuh yang harus menjadi tumpuan di satuan Pendidikan. Bukan hanya sekedar mengejar dan berburu sertifikat saja, tanpa jelas berdampak pada kualitas dan kompetensi guru tersebut. ***