Cerpen dari: Dyah Relawanti
(SMPN 5 Padalarang)
“Guru itu kerjaan yang paling cocok buat perempuan, anak libur ikut libur, pulang tidak sampai malam, dan punya banyak waktu sama keluarga dibandingkan kerjaan yang lain!”. Itu adalah nasehat ibu yang selalu beliau ucapkan semenjak aku remaja. Dan itu yang benar-benar membawaku menjadi seorang guru seperti sekarang ini. Hal ini sangat aku syukuri begitu melihat beberapa teman dengan profesi lain yang kesulitan membagi waktu bersama anak-anak dan suaminya. Sebetulnya masih banyak nasehat dari ibu yang selalu beliau berikan kepada anak-anaknya. Namun ada satu pertanyaan yang mengganjal dihatiku kepada ibu yang sampai sekarang masih belum terjawab.
***
Saat itu sekitar tahun 2001, umur ibu baru 38 tahun, wajahnya yang aku ingat saat itu masih segar dan cantik. Sekarang sebagian besar rambut ibu sudah memutih, dengan potongan pendek yang selalu digerai. Tempat tinggal kami, kota Cilacap, merupakan daerah pinggiran pantai sehingga udaranya sangat panas. Itulah alasan ibu setiap kali bapak menyuruh beliau memanjangkan rambutnya. Namun ibu lebih cantik dengan rambut pendeknya, terlihat lebih muda bagiku. Waktu itu merupakan tahun terberat bagi kami.
Ibu yang biasanya sehat dan selalu aktif melakukan kegiatan dirumah menjadi sering masuk angin. Aku dimintanya untuk mengolesi minyak kayu putih karena perut beliau selalu kembung. Namun ajakan bapak untuk periksa ke rumah sakit selalu ditolaknya dengan halus, “Cuma masuk angin kok, dikerokin juga sembuh nanti!”.
Diagnosa tumor kandungan oleh dokter tidak membuat ibu terlihat panik ataupun sedih. Aku yang saat itu sudah paham tentang tumor sangat terkejut dan syok. Sedangkan bapak hanya terdiam tanpa berkata-kata, namun aku bisa membaca raut wajahnya yang terlihat sangat terpukul. Dokter menjelaskan bahwa tumor yang ibu derita masih termasuk tumor jinak, dan harus diambil lewat jalan operasi.
Tumor yang ibu derita adalah tumor jinak yang sering timbul pasca melahirkan. Tumor ini dikenal dengan istilah miomi uteri, leiomioma uteri atau fibroid uterus. Ukurannya bervariasi, dari ukuran yang sangat kecil yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi hingga yang ukurannya sangat besar sehingga menambah volume rahim.
Pada saat itu, kedokteran belum semaju saat ini sehingga bagi kami operasi adalah sesuatu yang sangat menakutkan dan berbahaya. Apalagi saat terdeteksi diameter tumor ibu sudah mencapai 5 cm. Namun akhirnya operasi berjalan dengan lancar. Setelah pemulihan pasca operasi di rumah sakit selama 3 hari, ibu diperbolehkan pulang kerumah lagi dengan pesan dokter harus kontrol seminggu sekali. Bekas operasi ibu awalnya terlihat seperti parut melintang berwarna kemerahan. Seiring berjalannya waktu warnanya berubah pucat dan pudar. Sekarang bekas operasi ibu hanya terlihat seperti garis tipis saja.
Tidak pernah membicarakan kesulitan dan keinginannya kepada kami anak-anaknya merupakan kebiasaan ibu. Hal ini yang melatih kepekaan kami untuk bisa memahami ibu. Garis tipis di perut ibu selalu kami jadikan pengingat besarnya pengorbanan beliau.
Profil Penulis
Penulis bernama lengkap Dyah Relawanti, lahir di Cilacap pada tanggal 10 November 1984. Ibu dua orang anak ini menyelesaikan pendidikan S1 nya di Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini bekerja sebagai guru di salah satu SMP negeri di Kabupaten Bandung Barat.