Cerpen Karya: Marcella Cheryl
Hahaha …
Tawa kami memecahkan keheningan di sore hari kala itu. Aku dan papa sedang duduk di atas kursi kayu. Aku tepat berada di pangkuannya. Kami melihat beberapa foto mobil yang terjual dari layar ponsel milik papa karena papa berencana akan membeli mobil pribadi untuk keluarga kecil kami.
“ Yang ini bagus, Pa,” ucapku sambil menunjuk salah satu mobil dari layar handphone dengan jari-jari kecilku.
“ Bagusan ini,” papa menunjukkan foto mobil dengan model yang berbeda. “Yang ini matanya sipit,” lanjutnya sambil memperbesar gambar di bagian lampu kecil mobil. Setelah lama berbincang, tak terasa esoknya adalah hari minggu. Iya, papa harus kembali ke Bogor. Kota hujan itulah tempatnya bekerja. Kulambaikan tangan tanda salam perpisahan kami.
Selang beberapa minggu kemudian, waktu menunjukkan 03.00 AM.
DRRTT DRRRTTT
Handphone yang sedang diisi kembali tenaganya di atas meja makan berbunyi, aku dan mama terbangun karena mendengar suara dari handphone pertanda ada yang panggilan masuk. Mama beranjak dari tempat tidur dengan mata yang masih mengantuk dengan nyawa yang kuyakini berkumpul sepenuhnya.
“Ga mungkin,” ucapnya kepada seseorang di seberang telepon. Aku kebingungan dengan nada bicara dan mimik wajah mama saat menerima telepon itu. Tak lama, akhirnya mama menutup teleponnya dan melontarkan pernyataan yang mampu membuat mataku yang tadinya mengantuk menjadi terbuka lebar dan membuat isi pikiranku jadi tak menentu.
“ Papa meninggal,” kata-kata itulah yang baru saja kudengar dan berhasil membuat keributan hingga membuat kakak laki-lakiku terbangun.
“ Bantu mama cari buku notebook papa!” suara mama satu oktaf karena tidak bisa mengontrol emosinya. Buku notebook yang dimaksud adalah buku yang diberikan oleh pihak kantor dan di dalamnya juga tercantum beberapa nomer telepon yang bisa membantu kami memastikan apakah tadi hanya telepon iseng di pagi buta atau memang benar begitu adanya.
Setelah lama mencari, kami pun menemukan buku yang sedari tadi kami cari. Mama langsung berlari menuruni anak tangga dan menuju telepon genggam rumah lalu menekan tombol angka yang akan di tuju satu persatu. Setelah mencari tau, kebenaran pun kami dapatkan. Apakah berubah menjadi lebih baik? Tidak sama sekali, kabar yang kami terima membuat seluruh tubuh kami seperti tidak berdaya, air mata mulai mengalir membasahi pipi.
Hari itu mama langsung jatuh sakit. Tak lama berselang beberapa warga mulai berdatangan membantu kami. Dari sekian banyaknya warga, ada salah satu tetangga kami yang membantu mencarikan 5 pesawat penerbangan tercepat dari Bandung – Mojokerto. Pesan terakhir dari papa adalah ia ingin dimakamkan di tempat kelahirannya sekaligus dekat dengan rumah ibunya (nenekku). Kami semua menyiapkan pakaian seperlunya dan segera berangkat menuju bandara. Kami tiba di rumah nenek sudah lumayan malam. Di sana sudah ramai oleh orang-orang yang sibuk ke sana-ke mari. Aku turun dari mobil yang disusul oleh kakakku dan ia berlari ke dalam pelukan sepupu tertua dari keluarga papa (cucu kedua) dan aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Bu’de (kakak perempuan papa). Aku dituntun ke dalam rumah. Ditawarkan segelas air putih saat aku sudah terduduk di atas kasur lipat. Aku tetap menangis tanpa memedulikan ucapan orang-orang di sekitarku yang memintaku untuk berhenti menangis. “Apa bisa aku berhenti menangis setelah aku kehilangan laki-laki yang pertama aku temui dan aku cintai selama hidupku?” ujarku dalam hati.
Aku kembali dituntun ke ruang tamu. Saat berjalan menuju ruang tamu, anak pertama Bu’de berbisik di telingaku agar jangan menangis. Aku bahkan tidak boleh memeluk papa untuk terakhir kalinya karena mereka percaya bahwa setetes air mata yang jatuh ke kain kafan ataupun tubuh orang yang sudah tiada dapat menghalangi perjalanannya menuju tempat yang seharusnya. Jadi, saat peti itu dibuka, aku melihat papa di dalam sana. Terbaring kaku dengan wajah pucat, itulah hari terakhir aku melihatnya.
Tiga hari berselang, kami pulang ke Bandung naik kereta, sedangkan tetangga kami yang mengantar kami hanya bermalam lalu pulang lebih dulu. Saat di dalam kereta, aku memulai perbincangan dengan mama yang duduk di sampingku.
“Maaa, boleh ga aku ga sekolah dulu?” ujarku.
“Kenapa gitu?” jawab mama.
“Takut diejek,” jawabku.
“Mama anter nanti sampe kelas,” jawaban mama membuatku terdiam sambil kembali membayangkan bagaimana jika aku dijauhi dan diejek.
Tibalah hari aku kembali bersekolah. Kakiku berjalan langkah demi langkah hingga tiba di dalam kelas. Aku menolak tawaran mama untuk mengantarkanku hingga kelas. Dugaanku salah, teman-temanku berlari ke arahku, memelukku, dan memberikanku semangat. Hari-hariku berjalan dengan lancar sampai hari ini aku bisa kembali percaya diri berkat keluarga dan teman-temanku.
Aku menyayangi keluarga kecilku, yaitu mama dan kakak-kakakku walaupun terkadang mereka membuatku marah, kesal, dan sedih. Namun, di balik itu semua kami berjuang bersama hingga detik ini. Kami pun berjuang agar bahagia dengan cara yang sederhana.
Waktu tidak bisa berputar berbalik arah dan hari pun tidak bisa bergerak mundur. Gunakan setiap detik waktumu yang singkat bersama orang yang berharga dalam hidupmu. Jangan sampai orang yang kamu sayangi pergi, bahkan pergi dan tak bisa kembali kau genggam. Ingatlah bahwa penyesalan tak akan datang di awal namun di akhir, di saat kamu tak bisa memperbaiki apapun yang sudah terjadi. Penyesalan adalah nerakanya dunia.
Editor: Andri Rahmansah, S. Pd.
Profil Penulis:
Marcella Cheryl lahir di Bandung, 7 Juli 2007. Bendahara 1 OSIS di SMPN 3 Ngamprah itu menyukai menulis dan membaca novel. Anak bungsu dari 3 bersaudara itu sering mendengarkan lagu saat waktu senggang, baik di rumah maupun di luar rumah.