Oleh : Budhi Slamet Saepudin, S.Sos
Suatu saat saya pernah menyaksikan sebuah video tentang anak-anak sekolah di Jepang sedang berlatih bagaimana mereka harus bersikap dan melindungi diri ketika bencana alam seperti gempa dan tsunami datang menerjang. Terlihat mereka begitu sigap dan cekatan ketika melakukan latihan. Negara Jepang Boleh dikata merupakan negara yang sangat rawan bencana. Seperti dikutip dari NHK News, sepanjang tahun 2017 saja Jepang diguncang lebih dari dua ribu gempa bumi dengan skala nol hingga tujuh. Skala tujuh adalah skala yang paling kuat yang dirasakan oleh manusia. Badan Meteorologi Jepang mengatakan terjadi 8 tremor dengan intensitas 5 minus atau lebih, termasuk gempa berskala 5,6 yang melanda Prefektur Nagano, Jepang tengah pada bulan Juni yang melukai 2 orang.
Berbeda jauh dengan apa yang terjadi ketika gempa melanda Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018 silam. Tampak masyarakat kita begitu rentan menjadi korban bencana, apalagi anak-anaknya yang begitu polos dan kurang pengetahuan akan bahaya bencana. Gempa yang diikuti tsunami dan fenomena likuifaksi tanah benar-benar mengejutkan masyarakat di sana. Ribuan orang baik dewasa maupun anak-anak terkubur hidup-hidup dan tewas digulung ombak tsunami. Betapa pendidikan untuk menghadapi bencana sangat diperlukan untuk masyarakat kita, apalagi Indonesia terkenal rawan dilanda berbagai macam bencana alam.
Bencana alam, apapun jenisnya secara langsung ataupun tidak akan berimbas pada kehidupan dunia pendidikan di wilayah yang dilanda bencana. Anak-anak sekolah merupakan objek yang sangat rentan menjadi korban bencana. Hal ini dikarenakan usia mereka yang masih kanak-kanak, belum memiliki kekuatan fisik yang sanggup menjaga dan melindungi diri mereka sendiri. Belum bisa survive dari kondisi buruk bencana serta posisi mereka yang terpisah dari orang tuanya karena berada dalam lingkungan pendidikan sekolah menjadikan mereka rawan menjadi korban.
Sebagaimana diketahui 98% bencana alam di Jawa Barat didominasi bencana hidrometeorologi (banjir, longsor dan puting beliung). Selain itu juga, Jawa Barat rentan dilanda bencana kekeringan, gempa bumi dan letusan gunung api. Sampai tahun 2017 telah terjadi 3.536 bencana alam di Jawa Barat yang berdampak pada 1.257.721 orang termasuk anak-anak di dalamnya. Dalam catatan Biro Pusat Statistik, terdapat 17,2jt anak yang tinggal di Jawa Barat atau 33 % dari jumlah anak yang mendiami Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut catatan beberapa komunitas penggiat peduli anak, untuk wilayah Jawa Barat terdapat tiga kabupaten prioritas yang perlu mendapat perhatian ekstra dalam mengantisipasi kerawanan bencana di sekolah. Ketiga kabupaten itu adalah Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Tasikmalaya. Untuk Bandung Barat sendiri terdapat tiga sekolah yang terletak pada lokasi yang rawan terjadi bencana karena berada di patahan Lembang yaitu SDN 03 Lembang, SD Merdeka dan SMPN 06 Lembang.
Pada tanggal 16 Juli 2018 saya mewakili Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat mendapat kehormatan mengikuti FGD (Forum Group Discusion) yang diselenggarakan oleh Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) di Bandung yang membahas tentang kapasitas sekolah dalam kesiapsiagaan bencana. Berbagai upaya mulai dari pencegahan, penanggulangan serta penanganan pasca bencana telah dirumuskan dan dikaji oleh badan dan instansi yang berwenang bila terjadi kontijensi pada ketiga spot tersebut
Dari hasil diskusi singkat itu diperoleh berbagai tindakan yang harus diambil ketika keadaan darurat sebagai berikut, khusus untuk sekolah yang dijadikan pilot project :
- Upaya Pencegahan (Sebelum bencana)
- Dilakukan sosialisasi dan pembelajaran terhadap anak didik tentang bagaimana melindungi diri dari keadaan darurat menggunakan metode E-learning, memanfaatakan media sosial internet
- Memberikan gambaran dan informasi tempat, lokasi dan area yang rawan terjadi bencana oleh para guru.
- Membuat jalur evakuasi (evacuation route) dan titik kumpul (assembly point) di tiap bangunan pada sekolah yang diangap rawan bencana
- Melakukan latihan dan simulasi bila terjadi keadaan darurat
- Membuat early warning system bencana dengan memanfaatakan alat komunikasi dan media sosial.
- Melibatkan anak didik dalam upaya pencegahan dengan cara mengajarkan cara membuang sampah, memilah sampah, penghijauan dan pelopor dalam kebersihan.
- Membuat sengkedan, dan bronjong di sekitar sekolah yang dianggap rawan longsor.
- Upaya Penanggulangan (Ketika terjadi)
- Mengarahkan anak didik ke area titik kumpul (assembly point) bila terjadi keadaan darurat menggunakan jalur evakuasi (evacuation route) yang telah disepakati.
- Berusaha memberikan rasa tenang dan rasa aman kepada para anak didik ketika terjadi keadaan darurat.
- Tetap berkumpul sambil menunggu datangnya bantuan
- Upaya Pasca Bencana dan Pemulihan
- Melakukan pendataan jumlah siswa didik
- Membantu instansi yang berwenang melakukan evakuasi anak didik
- Memberikan trauma healing pasca bencana
- Tetap memperhatikan hak-hak anak terpenuhi ketika terjadi situasi darurat.
Beberapa catatan yang harus mendapat perhatian, manakala terjadi bencana pada wilayah tertentu, di antaranya, dalam kondisi darurat bencana terkadang pihak Dinas Pendidikan lewat sekolah harus meliburkan anak didik karena kondisi di lapangan. Pada kasus bencana banjir tahunan seperti yang terjadi di sepanjang bantaran Sungai Citarum di mana kejadiannya selalu berulang, mungkin perlu adanya Perda yang mengatur batas waktu terendam atau ketinggian air rendaman, yang menjadi dasar pihak Dinas Pendidikan mengeluarkan ijin meliburkan siswanya.
Ketika terjadi bencana seringkali banyak pihak yang ingin membantu, terlepas dari motivasinya apa, berbagai instansi dan ormas serta partai banyak berdatangan. Kebanyakan hanya datang begitu saja tanpa memikirkan kondisi dirinya, sehingga menjelang waktu makan semua bingung, harus makan di mana dan dari siapa. Di situlah harus ada pembagian wewenang yang tegas “siapa berbuat apa” agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan.
Terakhir, bila bercermin pada negara Jepang yang setiap tahun selalu diguncang ribuan kali gempa bumi dan bahaya tsunami yang setiap saat dapat mengancam, telah menjadikan mereka bangsa yang tangguh ketika menghadapi bencana. Bukan sebuah kebetulan, semua yang mereka miliki sekarang merupakan rangkaian panjang usaha mereka dalam mensiasati alam. Mulai dari alat early warning system, infrastruktur tahan gempa, sikap peduli masyarakat dan pihak otoritas Jepang yang sudah terbentuk karena latihan berkali-kali dan belajar dari banyak pengalaman. Anak-anak sekolah di sana yang cekatan merupakan hasil tempaan latihan dan campur tangan pihak sekolah dalam mensosialisasikan berbagai hal tentang upaya pencegahan bencana sehingga anak muridnya begitu sigap.
Kembali kepada keadaan di Bandung Barat, belumlah terlambat bila kita mulai merintis terbentuknya sekolah tangguh bencana, dimana semua elemen pendidikan yang ada di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot project bersatu padu menempa anak didiknya menjadi pribadi yang cekatan dan sigap bila menghadapi bencana. Semakin anak-anak didik ini paham tentang bahaya bencana maka semakin besar kemungkinan terselamatkan bila terjadi keadaan darurat. Seperti kata pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati”, tidak ada satupun manusia yang berharap akan datangnya bencana, kalau kita sudah melakukan pencegahan, sering berlatih menghadapi keadaan darurat maka ketika hal tidak diinginkan itu tiba, semua sudah tahu harus berbuat apa.
(Tulisan ini secara singkat pernah dimuat dalam rubrik gurusiana)